Keesokan paginya, Hannan terbangun lebih awal dari biasanya. Suasana kamar masih redup, bahkan di luar pun masih tampak gelap. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Saat kepalanya menoleh ke arah sofa, matanya langsung melebar.
Lila tidur dengan posisi miring, rambutnya berantakan, dan….
Astaghfirullah!
Lingerie merahnya terangkat ke atas, dan hampir mengekspos seluruh tubuhnya. Dengan cepat, Hannan meraih selimut dan menutupi seluruh tubuh Lila, bahkan sampai ke kepalanya.
Hannan mengusap wajahnya yang terasa panas. "Istri macam apa ini?" gumamnya kesal.
Tanpa pikir panjang, ia segera melangkah masuk ke kamar mandi. Azan subuh berkumandang, menandakan sudah waktunya ia berangkat ke masjid bersama ayah dan kakak iparnya.
Setelah pulang dari masjid, Hannan langsung masuk ke kamarnya. Begitu pintu terbuka, ia disambut dengan tatapan tajam dari Lila, yang kini sudah berdiri di depan pintu dengan wajah garangnya.
"Kamu ngapain sih berdiri di situ kayak kuntilanak? Mana rambut berantakannya lagi," sindir Hannan sambil memalingkan muka. Ia baru sadar kalau Lila masih mengenakan lingerie merah semalam.
Lila melotot. "Om itu yang apa-apaan! Ngapain tubuh aku dibungkus selimut kayak lontong gitu?! Gara-gara Om aku jadi kepanasan!" bentaknya ikut marah.
Hannan menghela napas panjang. "Makanya kalau tidur pakai baju yang sopan. Itu yang kamu pakai, baju atau saringan tahu sih? Kenapa tipis banget?" balasnya sinis, lalu melangkah masuk.
Lila mendengus. "Dasar sok alim!" gumamnya, menghentakkan kakinya. Lalu melangkah keluar kamar.
Saat sampai di ambang pintu, tiba-tiba Hannan menarik lengannya dengan kasar. "Mau ke mana kamu?" tanyanya dengan tatapan tajam.
"Mau ambil minum, haus," jawab Lila judes.
"Kamu mau ke bawah dengan penampilan begini?" Hannan menunjuk lingerie merah yang dikenakan Lila.
Lila mengangkat bahu santai. "Iya, emangnya kenapa? Aku masih pake baju kok, meskipun tipis."
"Saya nggak peduli kalau di kamar kamu mau pakai baju seperti apa. Tapi begitu keluar dari kamar ini, jangan pernah pakai baju kurang bahan begitu. Di rumah ini ada orang tua saya, ada oma saya, ada kakak ipar, ada om dan tante juga. Saya tahu kamu itu bodoh, tapi setidaknya tolong sopan sedikit saja di depan keluarga saya!" kata Hanan dengan nada tajam.
Lila merengut, lalu berjalan menuju kopernya dengan wajah kesal. Ia mengambil cardigan panjang berwarna abu-abu lalu memakainya.
Tapi Hannan masih belum puas. "Kamu pikir pakai cardigan itu cukup untuk menutupi badan triplekmu itu? Sama aja bohong. Masih kelihatan semua!"
Lila melotot. "Enak aja! Body seksi kayak gitar Spanyol gini dibilang tripek! Om buta ya?!" teriaknya tak terima.
"Cepat ganti baju!" perintah Hannan tegas.
Lila mendengus, tapi akhirnya menurut. "Yaelah, Om! Mau ambil minum aja ribet banget! Keburu tenggorokan aku kering!" sungutnya sebal.
Hannan menghela napas dalam-dalam, mencoba memupuk kesabaran. Masih pagi tapi kesabarannya harus diuji dengan sikap menyebalkan Lila.
"Kalau begitu kamu tunggu di sini, biar saya saja yang ambilkan ke bawah," katanya dengan datar lalu melangkah keluar pintu. Setelahnya pintu kamar ditutup dengan rapat.
Lila berdecak kesal lalu berjalan menuju ranjang. Kemudian menjatuhkan bobot tubuhnya di sana dengan kasar. Dadanya terlihat naik turun karena menahan amarah. Suaminya itu benar-benar menyebalkan.
Di saat yang bersamaan Hp Lila berdering, ada panggilan masuk dari sahabatnya.
“Halo Mel, ada apa? Ngapain pagi-pagi nelpon gue?” tanya Lila dengan suara malas.
“Ya mau tanya malam pertama elo lah. Gimana dokter Hannan, gacor gak?” tanya Melly tertawa renyah.
Lila mendengus. “Gacor banget. Saking gacornya gue disuruh tidur di sofa. Mana digulung pake selimut lagi. Sampe gue gak bisa nafas!” sungutnya mencebikkan bibir.
“Kok bisa? Berarti kalian gak tidur bareng dong?” serunya terdengar kecewa.
“Ya lo pikir aja deh, Mel. Mana mungkin Om Hannan mau tidur sama orang yang udah jebak dia,” kata Lila dengan cepat.
“Iya juga sih,” gumam Melly. “BTW setelah gue cari tau, ternyata dokter Hannan itu bukan dari keluarga sembarangan loh. Dari buyut, kakek, ayah, sampai kakak-kakaknya, semuanya orang sukses. Lo gak takut mereka bakal balas perbuatan lo, La?” tanya Melly dengan khawatir.
“Justru itu Mel… gue pilih Om Hannan karena mereka punya kekuasaan. Jadi gue bisa pinjam tangan mereka untuk menyelidiki kematian Adiba,” kata Lila sedikit berbisik, khawatir kedengaran orang lain.
“Tapi gimana caranya lo minta bantuan mereka, Lila? Sedangkan dokter Hannan aja benci banget sama lo,” tanya Melly.
Lila menarik nafas berat. “Gak ada hasil yang instan, Mel. Semuanya butuh proses. Untuk sekarang gue masih fokus dekati Om Hannan, buat dia suka sama gue. Supaya gue bisa minta bantuan dia.”
Terdengan helaan nafas panjang dari Melly. “Terserah lo deh, La. Tapi lo jangan larut urusan cinta. Ingat tujuan lo datang ke Jakarta,” ujarnya mengingatkan.
“Hemm. Lo tenang aja Mel, gue gak akan lupa dengan tujuan awal,” sahut Lila cepat.
Lila cepat-cepat mengakhiri obrolan, khawatir jika Hannan akan segera kembali dan mengetahui rencananya.
Saat Hannan turun ke bawah untuk mengambil air minum, Letta yang sedang berada di dapur menatapnya dengan alis terangkat. "Loh Hannan, Lila mana? Kok kamu turun sendirian?" tanyanya menatap ke lantai dua.
"Lila lagi mandi, Mom," jawab Hannan asal.
"Kamu ngapain pagi-pagi udah ke dapur? Butuh sesuatu? Harusya panggil aja biar nanti diantarkan sama Bik Sumi," tanya Billa, tante Hannan—yang memang sejak awal tinggal bersama di sana. Sesuai dengan permintaan mendiang Omanya Hannan.
"Cuma mau ambil air minum kok, Tan," jawab Hannan, ia segera mengambil gelas dan menuangkan air ke dalamnya.
Letta tersenyum kecil. "Kamu mau naik lagi? Kalau gitu sekalian bawa kue ini ya. Barangkali Lila lapar, tapi malu mau turun," katanya, menyerahkan sepiring kue.
Hannan tersenyum sinis mendengarnya. Apa katanya? Malu? Mana mungkin Lila punya malu. Wanita seperti itu, urat malunya pasti sudah putus. Jika tak dicegah pasti Lila sudah berlarian ke dapur dengan hanya memakai pakaian tipis. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Hannan ngeri.
"Kok malah bengong? Cepat sana bawa ke kamar," tegur Letta membuyarkan lamunan Hannan.
Hanan menghela napas, lalu kembali ke kamar dengan membawa air minum dan kue.
Begitu masuk kamar, ia langsung disambut dengan tatapan judes dari Lila.
"Nih minumnya," kata Hannan ketus, meletakkan gelas dan piring di meja.
Lila langsung berlarian kecil menuju sofa. Lalu mengambil gelas dan meneguknya hingga tandas. "Ah, akhirnya minum juga!" katanya dengan lega.
Hannan hanya bisa menggelengkan kepala. Ia berjalan menuju lemari untuk mengambil pakaian ganti, lalu masuk ke kamar mandi.
Saat keluar, ia melihat Lila sedang tiduran di sofa, sambil makan kue dengan santainya.
"Makan itu duduk, Lila! Jangan tiduran gitu, kayak anak kecil aja!" tegurnya tajam.
Lila menoleh dengan ekspresi malas. "Om ini ribet banget sih!"
"Kamu itu menantu di rumah ini. Kalau pagi, harusnya mandi, lalu turun ke bawah bantu Mommy dan Tante Billa di dapur, bukannya malah santai makan kue di kamar!" kata Hannan dengan tatapan tajam.
Lila mencibir. "Om sendiri yang larang aku turun! Giliran aku diam di kamar, malah disuruh turun. Maunya Om tuh apa sih?!" Ia akhirnya beranjak duduk.
"Saya tidak pernah melarang kamu untuk keluar dari kamar ini, tapi dengan syarat kamu harus memakai pakaian yang sopan. Bukan yang kurang bahan seperti ini!" kata Hannan membuang muka. Ia merasa matanya terus-terusan ternodai karena penampilan Lila.
Lila mencebikkan bibirnya lalu kembali tiduran di sofa lagi.
Hannan yang melihat itu tentu saja langsung melotot marah.
"Lila cepat mandi sana! Habis itu turun, jangan malah enak-enak kan makan kue!" teriaknya.
Lila menarik nafas kasar, lalu bangkit duduk lagi. Ia mengorek telinganya yang terasa pengang karena mendengar teriakan suaminya.
"Bisa nggak sih Om ngomongnya santai aja, nggak usah teriak-teriak terus. Aku nggak tuli loh," protesnya dengan wajah kesal.
"Kalau begitu cepat mandi sekarang. Kamu yang menjebak saya untuk menikah. Jadi kamu harus mengikuti semua yang ada di rumah ini," kata Hannan penuh penekanan.
Lila berdecak kesal, lalu bergegas menuju kamar mandi.
Hannan menarik nafas dalam-dalam untuk memupuk kesabarannya. Entah sampai kapan ia harus hidup satu atap dengan wanita menyebalkan ini. Rasanya baru satu malam saja dia ingin menyerah. Hannan sudah melambaikan tangan, tak kuat menghadapi tingkah gila Lila.
Hannan bergegas merapikan kamarnya, terutama bagian sofa yang terlihat berantakan. Lila tak mau melipat selimut dan justru menggunakannya tiduran sambil makan kue. Benar-benar wanita yang jorok.
Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Hannan spontan menoleh, lalu buru-buru memalingkan wajahnya lagi.
Lila keluar hanya mengenakan handuk pendek.
Astaghfirullah!
"Lila! Cepat pakai baju kamu!" bentak Hannan, wajahnya merah padam.
Bukannya menurut, Lila malah berjalan mendekati suaminya. Hannan tersentak kaget saat merasakan bahunya disentuh. Ia pun membuka matanya dan menoleh. Alangkah terkejutnya ia melihat Lila sudah berdiri tepat di hadapannya, bahkan wajahnya begitu dekat, hanya berjarak beberapa senti saja.
Hannan langsung memalingkan muka dengan mata terkejam lagi. "Ngapain kamu ke sini? Buruan pakai baju sana!"
Lila terkikik geli. "Muka Om kok merah sih? Aku seksi ya?" godanya.
"Cepat pakai baju atau saya lempar kamu keluar jendela!" ancam Hannan dengan geram.
Lila terkikik. "Iya, iya. Dasar Om ini nggak asik!" katanya, lalu berjalan ke kopernya.
Seketika suasana menjadi hening. Hannan membuka matanya perlahan, memastikan jika Lila tak ada di dekatnya lagi. Namun, laki-laki itu semakin dibuat terkejut, Lila dengan santainya duduk di lantai dengan posisi membelakanginya. Ia tak sungkan berganti baju di sana.
Wajah Hannan semakin merah padam. Ia langsung memalingkan wajahnya dan pura-pura sedang melihat keluar jendela.
"Apa susahnya ganti baju ke kamar mandi?" tegur Hannan pelan, tanpa melihat ke arah Lila.
Lila menoleh dengan kening berkerut. "Maksud Om? Om ngintip aku ganti baju?" tanyanya melotot.
"Siapa juga yang ngintip? Salah kamu sendiri ganti baju di situ," jawab Hannan dengan ketus.
"Kalau pengen bilang aja, Om. Gak usah sok-sokan nolak. Aku pasti akan melayani Om dengan senang hati kok," kata Lila terkikik.
Hannan mendengus. "Sudah belum pakai bajunya? Ayo kita turun sekarang!"
"Udah kok, Om," kata Lila.
"Yakin sudah?" tanya Hannan memastikan. Ia tak mau matanya terus-terusan tern0dai.
"Lihat aja sendiri kalau nggak percaya," sahut Lila.
Hannan perlahan menoleh ke belakang. Ia menghela nafas lega melihat Lila sudah menggunakan kaos putih lengan pendek dan terlihat kedodoran di tubuhnya. Juga dengan bawahan celana warna denim.