Ngafe Bareng Yuk!

1252 Words
Baby ... _ __ ___ Sudah lama aku nggak makan di luar bareng sama semua sahabat aku, pulang kuliah aku mengajak mereka semua untuk ngafe bareng di Gold Club. Sekarang sih agak susah mau ngumpul berlima, soalnya ... udah ada cowok - cowok yang siap ngebuntutin kita, Dika, Robert, dan sepupu aku Patrick. Kecuali aku dan Kania yang sudah nggak pacaran dengan anak kuliahan lagi, jadi pacar kami berdua nggak punya cukup waktu untuk selalu ngikutin ke mana pun kami pergi. Butuh waktu khusus untuk makan bareng pacar atau sekadar untuk ikut ngumpul gini. Yah ..., yang jelas inilah saat kami benar - benar butuh saling menguatkan. Oh ya, Patrick yang sekarang sudah jadi sepupu aku itu orangnya diam tapi menyenangkan, wajahnya sangat bule melebihi Daddy, dan masih kental dengan logat asingnya yang kadang itu menjadi bahan bercandaan kami, dia atlet basket. Dan karena semua pacar kami suka bermain basket mereka jadi buat satu tim basket. Di tengah - tengah obrolan kami tiga cowok keren dengan gaya dan karakter berbeda itu melihat ke arah belakang kami para cewek. Tapi kami hanya berpikir mereka sedang melihat pengunjung lain. "Hai, cantik." Aku nyengir tapi nggak menoleh hanya memandang tiga cowok di depan aku secara bergantian. Aku tahu persis suara siapa di belakang aku ini. "Ehm!" mulai para cewek di samping pada berdeham bergatian. "Ayah kamu ... nama belakangnya Santoso ya?" Tawa aku pun hampir meledak, suaranya tepat di telingaku. Menatap mata mereka yang tertuju padaku bergantian. "Aku juga Santoso, pasti kita jodoh, Baby Biancha Novrisa Santoso. I love you, Baby!" mengambil kursi lalu duduk di hadapanku, di samping Patrick. Mereka tertawa, sementara aku nyengir saja menahan ledakan tawa di dadaku, "Apa - an sih, basik deh!" menopang dagu bertumpu pada meja. "Tau dari mana aku di sini?" "Apa gunanya ada bro ganteng ini kalo aku nggak tau ke mana bidadariku pergi!" jawabnya memeluk pundak sepupunya itu. "Dan aku juga bisa tanya ke Mommy di kantor, bidadari aku hari ini izin terbang ke mana aja." Ikut menopang dagu. "Haduh ..., mulai deh, dunia milik berdua!" canda Kania. Aku refleks menoleh ke sisi kiri, "Cie ... yang nggak punya pasangan, berasa jomblo tuh! Rasya, bisa bantu?" canda aku dengan sambil menggerakkan kepala ke arah Kania. "Okey, tenang aja, sebentar lagi sepupu gue yang keren itu pasti muncul di hadapan kita!" jawab Rasya merangkul pacar sepupunya itu. "Udah pada mesen belom nih, nanti gue yang bayar deh!" kata Marco menawarkan. "Ciah nawarin kita ..., gue pesen yang paling spesial deh!" sambut Davina menepuk tangan satu kali dengan penuh semangat. "Pesen semua menu yang spesial di sini, Mas!" Marco memanggil pelayan. Suasana kafe sangat ramai, itu sebabnya semua pelayan masih tampak sibuk belum menghampiri kami. "Tuh Randy lo datang!" aku menatap ke satu arah dan langsung diikuti Kania. "Sayang ...!" kata Kania melambaikan tangan kepada Randy. Randy membalas lambaian tangan kekasihnya. Mempercepat langkah tak sabar untuk segera menyambut tangan Kania yang sudah terjulur, lalu memeluknya sesaat sebelum duduk di samping Robert. "Hei bro, kapan kita jalan - jalan nih, jangan ngajakin pacar main basket doang, ajak juga dong jalan ...!" "Iya sih, tapi kitakan baru mulai kuliah, masih susah ngatur waktu." Balas Robert, sambil menatap Rasya. "Oke, begitu ada waktu ... kita langsung jalan - jalan deh, nggak usah jauh - jauh pulau seribu aja dulu!" imbuh Dika. Yang lain hanya mengangguk setuju saja. Marco mengambil tanganku. "Gimana, calon adik paling manis? Aku liat waktu live ** itu, lucu banget!" "Sumpah, lucu banget ... aku nggak sabar mau sentuh dia, ciumin dia ..." "Sabar dong kak ..., tiga bulan lagi! Tapi beneran gemes banget liatnya ...!" ucap Rasya. Aku langsung menoleh ke arahnya mengernyitkan senyum. "Iya dong ..., Kakaknya aja ngegemesin gini ...!" Mereka berempat kompak buang muka sengaja becandain aku. "Males banget sih By, bosen tauk liat muka lo!" Kata Kania. "Lagian, tiap hari bilang CALON KAKAK TERBAIK SEDUNIA ...!" Tania sampai mengangkat tinggi kedua tangannya, "tapi manjanya masih nggak ketulungan!" "Ih ... biarin, wkwk ...!" balas aku meledek. Aku tahu mereka hanya bercanda. Sambil menunggu pesanan tiba, kami mengobrol santai dan para cowok berencana akan main basket besok malam. Seperti biasa, kami para gadis akan jadi penonton setia. Siapa pun orangnya, ketika waktu sudah mengatur hidupnya untuk banyak mengurusi pekerjaan pastilah akan sulit mengambil waktu untuk saling bertemu dan berkumpul bersama seperti waktu dulu ketika masih tercatat sebagai seorang pelajar. *** Mom ... __ _ Malam Minggu ini kami berempat pergi belanja untuk keperluan Pinky, hitung - hitung jalan - jalan sama anak - anak. Mumpung aku masih bisa, kalau sudah jalan sembilan bulan sulit juga buat jalan lama. Baby adalah yang paling semangat untuk berbelanja, semua benda berwarna pink dia ambil. "Sayang, beli boneka nggak usah banyak - banyak. Yang kecil - kecil aja dulu," kata aku pada Baby yang menarik Marco ke bagian boneka. "Iya Mom, aku pilih yang lucu aja!" teriaknya sangat bersemangat. "Sudah, biarkan saja mereka berdua, nanti kalau mereka kelamaan menghilang kita telepon," kata Martin dengan sambil merangkul pinggul aku menuju ke satu sisi. "Itu lihat, ranjang bayi - nya bagus - bagus semua. Apa kamu tertarik untuk memilihnya? Kita ke sana, honey?" kata Martin wajahnya semringah. Aku menyentuh dadanya dengan satu tangan, "Honey, aku ... masih simpen ranjang bayi yang kamu hadiahi buat Baby. Nanti aku suruh Pak Min bersihkan, dan mengecat ulang. Aku mau pakai itu aja, ya honey." Mengusap - usap lembut dadanya. Matanya menatap aku sangat dalam lalu tersenyum. Mengambil tanganku dari dadanya lalu mengecup lembut. "Terima kasih honey kamu masih menyimpannya," ucap Martin. "Tentu saja aku simpan." "Oke kalau gitu ..., jangan suruh Pak Min," katanya membimbing aku kembali berjalan. "Biar Daddy yang bersihin dan memperbaiki, aku harus jadi Daddy yang paaaaling hebat buat dua bidadari cantik kita." Dia mengecup pipi aku sekilas dan aku membalas tepat di pipinya juga. "Thank you Daddy! Jadi sekarang kita langsung aja cari pakaian dan yang terpenting popok bayinya." Aku berkata -kata kepada Martin dan selanjutnya kami berjalan sangat pelan karena harus mengimbangi langkah kaki aku yang sudah lumayan membawa beban berat. "Honey, kamu tahu nggak hal yang paling bikin aku penasaran," bisik Martin. "Ehhe, apa?" tanya aku yang ikut merasa penasaran. "Aku ... memang sudah sering gendong bayi, Marco, Patrick, Baby juga, kan. Tapi ... saat itu mereka sudah tidak bayi merah lagi. Dan nanti aku pasti akan menggendong bayi kita yang baru lahir, baru ... keluar dari rahimmu, membayangkan itu ... rasanya meneganggangkan sekali," tutur Martin. "Kalau gitu jangan terlalu dibayangkan dong, honey. Nanti ..., saat ada dalam proses itu kamu bukannya tegang, justru akan menangis karena bahagia. Oke Honey," kata aku untuk membuat dia tenang. Aku tidak ingin dia merasa tegang dari sekarang dan apa lagi nanti ketika saat persalinan anak kami tiba. "Tentu," balas Martin sambil mengusap - usap perut aku, "tentu saja Daddy merasa bahagia banget bisa sentuh kamu sayang!" tanpa ragu mencium perut besar aku walau pun mungkin banyak pengunjung lain yang sedang memperhatikan kami. Dan kami saat ini sudah memasuki sebuah outlet terbesar yang menjual segala jenis perlengkapan untuk bayi. Ini benar - benar sangat membuat aku bahagia sebagai seorang wanita, sebagai istri, dan juga yang lebih pasti lagi adalah sebagai ibu. Pertama, aku memiliki suami yang sangat mencintai dan perhatian kepada aku. Kedua aku akan memiliki seorang anak darinya. Dan ketiga aku senantiasa dijaga serta diperhatikan oleh dia. Suamiku. Ayah dari bayi aku. _ __ ___ - - - - - - - - - - - - - *** - - - - - - - - - - - -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD