I Love You Baby...

1409 Words
Baby ... ___ __ _ Menunggu memang bukanlah hal yang menyenangkan. Tapi, aku harus melalukan itu untuk kebaikan aku, dan juga tentu saja untuk kebaikan Marco juga. Kami berdua harus sudah benar - benar matang dalam berpikir ketika memutuskan untuk menikah. Sampai hingga saat ini, aku masih membiarkan dulu Marco mengucapkan kata Baby, I love you tanpa harus aku jawab. Sampai aku menjawabnya nanti, itu artinya ... dia sudah mendapat jawaban dari aku sepenuhnya. Maksud aku, kalau aku jawab berarti aku sudah siap untuk menikah dengannya. Membiarkannya seperti itu kadang membuat aku sampai tertawa. Dia lucu. Dia juga pandai mengambil hati Mommy. Terang aja, orang yang lebih dulu jatuh hati padanya bukan aku tapi Mom - my. Oke, aku juga suka dia yang memperlakukan Mommy seperti seorang Ratu, seperti ibunya sendiri. Itu nilai plus untuk dia. Yah ..., mungkin benar kata Mom, keturunan Opa Santoso semua pasti orang baik. Dan mungkin saja sifat Marco sedikit mirip dengan sifat Daddy. Kadang mereka juga kompak menghibur atau pun juga sekadar menggoda Mommy yang sedang mengandung. Yah, kadang Mommy tiba - tiba jadi pemarah, kadang cemburuan banget sama Daddy. Sensitif banget deh, pokoknya. Aku nggak ngerti deh, kenapa orang yang sedang hamil bisa seperti itu. Malam ini aku dan si Mbok sedang menyiapkan makan malam. Kemudian terdengar ada yang mengetuk pintu. "Assalamu'alaikum ...!" ucap seseorang di sana yang suaranya sudah sangat bisa aku kenali itu. "Wa'alaikummusalam ...!" aku menjawab dari dalam, "biar Baby aja yang buka, Mbok." Aku tahu suara siapa itu. "Sebentar ...!" teriak aku sambil berlari kecil, pintu sudah aku buka dengan lebar, aku bersandar di pinggir pintu, melipat kedua tangan di d**a. "Ada perlu apa ya?" tanya aku sambil senyum. "Mau menghibur yang punya rumah ini. Ee ... maksud aku, anak yang punya rumah ini, atau ... lebih tepatnya lagi ... calon penghuni rumah aku nanti," dia menjawab dengan seenak lidahnya saja. "O ya? Caranya gimana kalau boleh aku tahu?" tanya aku, hanya berniat untuk menggoda aku saja. "Bernyanyi. Dengerin ya. Ehm! I love you Baby ... trust in me when i say ..." "Stop! Udah ah, cukup nyanyinya, suara kamu bikin telinga aku sakit. Ayo masuk, aku lagi bantuin si Mbok untuk siapin makan malam. Yuk, sekalian kamu juga ikut makan malam bareng kita," kata aku sambil menarik tangan Marco. "Sip ..., memang niatnya mau ikut makan juga sih, sama calon istri dan calon Mommy mertua! Nih, dengerin perut aku udah kriuk ... kriuk ... nggak sabar minta diisi," kata Marco. Aku menggeleng sambil tertawa kecil memperhatikan tingkah Marco yang kadang kala memang sedikit ajaib. "Patrick nggak diajak sekalian?" tanya aku. "Dia lagi sibuk video call sama Davina. Sama Mama Lala juga," jawab Marco santai saja sambil mengiringi langkah kakiku. "Makin dekat ya, hubungan Davina sama Mama Lala, aku juga seneng banget dengernya. Aku panggil Mommy sama Daddy dulu ya, mereka berdua masih di atas soalnya," kata aku kemudian beranjak untuk ke kamar Mom dan Dad. "Oke, biar aku yang bantu Mbok untuk siapin makan malam," balas Marco. Aku pun berlari ke kamar Mom. "Mom, Dad, makan malam sudah siap, nih." teriak aku dari tangga. "Oke sayang terima kasih, Daddy masih nungguin Mom di kamar mandi," sahut Daddy. "Daddy dengar seperti ada suara si Comar?" tanya Dad. "Oh, iya, dia baru aja dateng. Aku duluan ya Dad," pamit aku lalu menutup pintu kamar Mom kembali. "Iya sayang, Daddy sama Mommy akan segera menyusul," sahut Daddy. Aku turun sambil berlari kecil. Ketika sampai di bawah lariku makin cepat. "Doyan banget lari - lari, non! Kalo kepleset di tangga kan, nggak lucu tapi sakit!" dumal Marco. "Jatuh emang nggak lucu bang, tapi sakit!" sahut aku membuat si Mbok tersenyum geli. Aku menuangkan air minum ke dalam gelas yang sudah disiapkan. Tak lama kemudian Daddy turun sambil menuntun Mommy pelan - pelan karena perut Mom sudah semakin besar. Aku lihat bola mata Marco tak berkedip dan ketika Mommy hampir sampai dia berlari menunggu di sisi bawah tangga untuk menuntun Mom. Aku suka banget dengan sikapnya yang selalu tanggap seperti itu. "Om harusnya ... Tante pindah ke kamar bawah aja deh, bahaya!" kata Marco, wajah terlihat cemas. "Om juga maunya sih, gitu. Tapi biasa, Tante kamu masih beralasan repot harus mindahin barang segala. Tapi besok sudah nggak ada lagi alasan apa pun! Marco, besok kamu bantuin Om buat siapin kamar bawah untuk Tante." "Siap calon Daddy mertua!" seru Marco dengan penuh percaya diri. "Heh, memangnya siapa yang mau jadi mertua kamu?" sahut Daddy tak terima. Aku tertawa cukup keras mendengar kalimat penolakan dari Daddy tadi. "Iya Mommy ..., beban Mommy itu makin berat, aku juga nggak mau kalau sampai kenapa - napa sama Pinky Sweet ...!" kataku lagi. Marco menarik satu kursi untuk Mom. "Silakan duduk ibu ratu ...!" ucapnya. "Mommy nyerah deh, besok siapin kamar yang nyaman ya buat Mom," kata Mom akhirnya. "Tenang honey, Daddy akan siapkan yang senyaman mungkin!" sahut Daddy dengan semangat. "Daddy ikut Mommy tidur di kamar bawah, yah ... aku sendirian dong, di atas!" keluhku. Marco memasang senyum nggak jelas. "Ehm." "Heh, mikir apa kamu? Awas ya!" ancam Mommy. "Awas ya, kalau sampai berani manjat kamar anak gadis gue, tamat riwayat lo! Bukan cuma gue pecat jadi calon mantu, tapi juga gue pecat dari keluarga Santoso!" ancam Daddy setengah bercanda sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang dan mata yang membulat penuh, aku dan Mom sampai meledakkan tawa karena itu. Marco hanya cengar - cengir kayak kuda nil, dan selanjutnya kami pisahkan mulai makan malam. "Mbok ... ayo kita makan bareng," panggilku. Aku dan Mom nggak pernah memandang Mbok sebagai pembantu. "Sudah biar Mbok istirahat di kamar sayang. Belakangan ini Mbok nggak makan nasi malam - malam, katanya perutnya nggak enak, Mommy udah siapin roti dan buah di kamarnya kalau dia malam - malam merasa lapar." Kata Mom memberitahu padaku. "Kita bawa Mbok ke dokter, Mom," balas aku yang nggak ingin jika terjadi sesuatu pada si Mbok. "Mommy rasa hanya karena faktor usia," jawab Mom lagi. "Honey, kalau gitu kamu perlu cari tambahan satu orang asisten rumah tangga lagi untuk membantu kamu mengurus rumah dan juga mengurusi bayi kita nanti, kasian si Mbok kalau harus bekerja sendiri. Mbok Nah sudah tua, nggak boleh terlalu lelah bekerja. Belum lagi kamu sedang tidak bisa membantunya, dan nantinya kamu juga akan repot untuk mengurus bayi," imbuh Daddy menyarankan. "Iya, benar honey, nanti aku suruh Maria untuk cari, deh," sahut Mom. "Nanti aku bantu Maria untuk mencari satu asisten baru atau kalau perlu dua," ucap Marco. "Oke. Ayo makan, setelah itu kamu hanya punya waktu 30 menit untuk mengobrol dengan Baby!" kata Mom yang membuat aku tersenyum geli karena Marco pasti nggak akan suka hanya diberi waktu tiga puluh menit. "Tante Bian calon Mommy mertua aku yang cantik ... dan baik, nggak salah ngomong, masa bentar amat ngasih waktu cuma tiga puluh menit!" protes Marco, benar kan apa kata aku tadi. Aku hanya geleng - geleng kepala sambil senyum karena melihat tingkah Marco yang selalu berani becandain Mommy. Dan aku nggak pernah protes dengan apa yang Mom dan Dad ucapkan pada Marco. Justru hal itu malah membuat aku sampai tertawa geli seperti sekarang ini. "Jangan protes, mau dikurangin lagi jadi lima belas menit?! sambar Daddy membuat aku makin tertawa. "Kamu bukan bantuin aku, malah ngetawain aku!" protes Marco padaku dengan nada berbisik dan aku hanya menjulurkan lidah padanya. Aku tahu bahwa segala sesuatu memang butuh proses, segalanya tentu akan berubah seiring dengan berlalunya waktu yang terus berputar, seperti Mom yang kini sudah mengandung anak dari Daddy, semuanya butuh waktu hingga lahir menjadi sebuah kebahagiaan yang baru. Seperti itu pun juga dengan hubungan aku dan Marco yang awalnya memang sudah mendapat restu dari Mom, tapi kemudian karena Mom melarang aku untuk berpacaran sebelum aku mencapai usia tujuh belas tahun atau katakanlah saja sebelum aku melepas seragam putih abu - abu. Namun seiring dengan berlalunya waktu, usia aku pun bertambah dan kini aku sudah benar - benar mendapat restu untuk berpacaran serius. Dengan catatan, tidak boleh berlebihan, tidak boleh melebihi batas. Saat ini Marco bukan hanya sekadar seorang pacar saja bagi aku, melainkan juga seorang calon pendamping hidup aku. Hanya tinggal menunggu waktu saja kapan aku akan mengatakan satu kalimat paling mahal yang aku punya, 'I love you too,' maka aku siap untuk menikah dengan dia, dan untuk hidup bersama dengan dia, Marco Santoso. _ __ ___ - - - - - - - - - - - - - *** - - - - - - - - - - - -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD