Kegiatan di Rumah

2055 Words
Saat itu, aku memutuskan untuk bercerita ke Mbak Rohmah perihal anak yang kutemui tadi. Entah aku hanya terpesona atau aku suka juga tidak paham. Usiaku saat itu masih terlalu dini untuk mengetahui perihal percintaan. Tetapi aku tidak tahu, wajah anak itu selalu terbayang dalam ingatanku. "Non Cecyl, suka ya sama Reza itu?" tanya Mbak Rohmah. Aku yang mendengarnya tiba-tiba mataku terbelalak karena kaget. "Apaan sih, Mbak! Anak begejilan aja suka, ilfeel tau," ucapku. "Jangan gitu, Non. Tiba-tiba suka loh nantinya," ucap Mbak Rohmah mencoba mengejek. "Iih, Mbak Rohmah. Baru ketemu sekali aja nggak mungkin," ucapku sembari berlalu meninggalkannya. Aku berjalan menuju pintu kamarku, dan aku hendak turun ke lantai dasar. "Non Cecyl, mau diambilkan makanan?" tanya Mbak Rohmah yang sudah mengekor di belakangku. "Nggak usah. Oh, iya Mbak. Buat puding, yuk," ucapku sembari meraih tangannya. Saat itu aku mengikuti Mbak Rohmah pergi ke dapur untuk membuat puding. Aku menikmati kebersamaan ini. Aku ketawa bersama-sama karena aku tak pernah melakukan aktivitas seperti ini. "Cecyl," terdengar suara menggelegar dari belakang memanggilku. Aku menoleh ke belakang, dan di sana tampak papa sedang berdiri memperhatikan aku. "Iya, Pa," ucapku sembari berjalan melangkahkan kaki menuju ke arah papa. "Perlu makan tinggal panggil saja, ngapain ikut di dapur? Pergi ke tempat latihan sekarang," ucap Papa. "Iya, Pa," jawabku. Aku hanya mengikuti kemauan papa, setiap harinya aku seperti boneka. Yang hidup selalu diarahkan dengan kemauannya. Memang hidupku bergelimang harta, tapi kalau tak ada setitik kebahagiaan di hatiku, semua ini untuk apa. Aku berjalan menuju tempat latihan yang terletak di gedung belakang rumahku. Di sana aku habiskan waktuku untuk latihan bela diri dan latihan untuk menembak. Papa selalu menuntutku untuk melakukan itu semua, agar aku bisa berjaga diri nantinya. Tapi aku tak menyukainya, aku merasa itu bukan diriku sendiri. Aku terpaksa dengan semua ini, aku melawan pun tak bisa. aku merasa seperti tahanan, yang keluar kemana pun selalu pakai pengawal kecuali sekolah aku berani menentang itu. *** Satu tahun terlewat sejak pertemuanku dengan Reza. Saat itu juga aku tidak pernah bertemu dengannya lagi, bahkan aku sampai sengaja untuk pergi ke restoran itu hanya sekedar ingin berjumpa dengannya. Hari itu tepat aku masuk SMA. Aku sengaja daftar di SMK NEGERI 49 JAKARTA, tempat Reza bersekolah. Kala itu papa dan mamaku sempat tak menyetujuinya. Mereka menginginkan aku sekolah di international school, tetapi kali ini aku menolaknya. Semua kehidupanku di atur, aku harap masalah pendidikan aku sendiri yang menentukan. "Cecyl, Papa ingin kamu mengikuti kemauan Papa. Jangan jadi anak yang pembangkang!" ucap Papa dengan nada tinggi. Aku hanya menunduk tak menjawab perkataan papa, tetapi ternyata aku salah. Papa semakin murka, merasa aku tak menghargai ucapannya. "Cecyl, dengar kata Papa. Kamu harus nurut!" ucap Papaku. Memang baru kali ini, aku mendengar papaku menggunakan nada tinggi ketika berbicara denganku. Dan baru kali ini aku menolak kemauan papa. "Cecyl!" teriak papa lagi. "Apa?" ucapku dengan ketus. "Berani-beraninya kamu ngelunjak, jangan selalu menolak kemauan Papa. Itu semua demi kebaikanmu, sayang," ucap Papa dengan menurunkan nada bicaranya. "Apa kata Papa? Kebaikanku? Yang ada kebaikan Papa sendiri!" jawabku sembari berlalu pergi menuju kamarku. Aku menaiki anak tangga dengan berlari. Lalu memasuki kamarku. Braaaak! Suara pintu yang aku banting dengan kasar. Aku bersimpuh duduk di lantai, aku menangis merasa hidup ini tidak ada yang berpihak dengan diriku. Tok tok tok! "Non, ini Mbak Rohmah. Buka pintunya ya," ucap Mbak Rohmah dengan lembut. "Aku benci Papa, Mbak. Papa nggak sayang aku," ucapku. Aku mendengar suara dari luar selain Mbak Rohmah. "Gimana, Mbak?" tanya suara itu. "Nggak mau buka pintu, Nyonya," jawab Mbak Rohmah. "Cecyl, sayang. Buka pintunya ya, Nak," suara itu ternyata suara Mamaku. Aku pun membuka pintunya. Mama segera memelukku, sembari mengelus punggungku. Mama mengajakku untuk duduk di sofa di dalam kamar, Mbak Rohmah pun mengekor dibelakang kami. "Mama sudah bilang sama Papa, dia mengizinkan kamu sekolah di tempat pilihan kamu," ucap Mama. Aku yang mendengarnya sontak melihat ke arah mama. Aku lemparkan senyuman, dan mamaku membalas dengan anggukan di kepalanya. "Beneran, Ma?" tanyaku mencoba memastikan. "Iya," jawab Mama. Aku tak sadar loncat-loncat kegirangan. Mbak Rohmah dan Mama tersenyum kala melihatku. "Mbak," entah kenapa aku spontan memeluk Mbak Rohmah dari pada mamaku. Aku memeluknya seakan-akan satu-satunya orang yang mengerti hidupku adalah Mbak Rohmah. Aku merasa orang pertama kali harus melihatku bahagia ya Mbak Rohmah. "Cecyl, nggak pengen peluk Mama?" tanya Mama. Aku melepaskan pelukan Mbak Rohmah, saat itu aku pun segera memeluk Mama, tapi entah kenapa perasaanku menjadi beda. Perasaan bahagiaku seakan-akan tidak ingin dibagi kepadanya. Selama ini, hanya Mbak Rohmah temanku mengadu segala keluh kesahku, beliau juga yang menghiburku ketika aku merasa jenuh dengan hidupku. Mbak Rohmah juga yang selalu mengajarkan aku untuk berbakti dan menyemangati aku untuk segala hal. "Ma, Cecyl pengen istirahat. Mama keluar ya," ucapku dengan halus mengusir Mamaku. "Iya, kamu istirahat ya," ucap Mama. Mbak Rohmah mengekor di belakang mama. "Mbak, tolong pijitin aku ya," ucapku. "Baik, Non," jawabnya kembali ke arahku, lalu memijit kakiku. Mama pun segera pergi, beliau tak lupa menutup pintuku kembali. "Nggak usah, Mbak," ucapku sembari beranjak duduk kembali. "Tapi, Non," jawabnya. "Temani aku di sini," ucapku. Beliau hanya tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya secara perlahan. Aku ingin Mbak Rohmah pergi ke Mall, untuk membeli kacamata dan ikat rambut karet kecil-kecil. Dan tidak lupa aku menyuruh Mbak Rohmah membelikan aku kaos kaki panjang sekitar selutut, baju seragam yang baru. "Untuk apa, Non?" tanya Mbak Rohmah. "Sudahlah, ikutin aja mau ku," ucapku sembari memberikan uang kepadanya. "Saya beli sekarang ya, Non. Apa ada yang lain?" tanyanya lagi. "Itu aja dulu, Mbak. Kamu sekalian beli apa gitu, jangan sampai Mama dan Papa tahu kalau aku menyuruhmu membeli perlengkapan itu ya, Mbak," pesanku. "Baik, Non," ucapnya sembari berlalu pergi. Aku sudah menyiapkan yang aku perlukan untuk pergi ke sekolah esok hari. Aku ingin merubah semuanya, termasuk ingin merubah cara pandang orang lain ketika melihatku. Aku tak ingin diistimewakan lagi, sehingga aku tak mempunyai teman. Siang itu, aku hanya beristirahat di kamar sembari Mbak Rohmah datang. Hari ini rasanya terbebas dari jeratan rantai yang terbelenggu. Karena papa mengizinkan aku tidak latihan segala hal seperti latihan bela diri dan menembak. *** Sore pun tiba. Tok tok tok! "Non," suara Mbak Rohmah terdengar memanggilku. "Iya, Mbak," jawabku sembari beranjak menuju pintu. Aku membuka pintunya, melihat Mbak Rohmah menenteng satu tas plastik di tangannya. "Masuk," ucapku sembari menggandeng tangan Mbak Rohmah. Aku mengajaknya duduk di sofa. Mbak Rohmah memberikan kantong itu kepadaku, aku membukanya dan di dalamnya penuh dengan jajanan yang menutupi pesananku. "Lah, kok jajan semua?" tanyaku. "Iya, Non. Biar tidak ketahuan Nyonya," jawab Mbak Rohmah. Aku pun tersenyum ke arahnya, Mbak Rohmah sangat pandai akan segala hal. Tapi sayang, dia nggak bisa melanjutkan sekolahnya kala dia lulus dari SMP. Hari itu, aku lalui seperti biasa. Aku hanya menunggu hari esok yang aku harap bisa merubah hidupku. __________ Hari Esok.... Pagi pun tiba, hari ini hari pertama aku masuk sekolah di jenjang SMK. Aku bersemangat untuk menjalani, aku menyiapkan segala keperluan sekolah. Tidak lupa aku membawa barang yang aku pesan ke Mbak Rohmah kemarin. Aku memakai layaknya anak usia SMA. Aku memakai seragam berwarna putih dan rok abu-abu di atas lutut. Aku memakai sepatu kets berwana putih, di sekolahku tidak mengharuskan siswanya untuk memakai sepatu berwarna hitam, yang penting bertali. Tok-tok-tok! "Non, di tunggu Tuan dan Nyonya di meja makan," terdengar suara Bi Siti memberitahu. "Iya, Bi. Bentar lagi aku turun," ucapku. "Baik, Non," ucapnya lagi. Aku memakai tas ranselku, lalu aku turun menuju ruang makan. Dengan hati bergembira, aku sembari bernyanyi menuruni anak tangga. "Pagi Mama, Papa," ucapku sembari mengecup kening kedua orang tuaku satu persatu. "Anak kesayangan Papa sudah beranjak dewasa, sekolah yang bener," ucap Papa. "Siap Bos," jawabku. "Ndra, sini," Papa memanggil salah satu pengawalnya. "Iya, Tuan," ucapnya sembari berlari menuju kearah kami. "Nanti suruh salah satu anak buahmu, ikut antar Cecyl ke sekolah," ucap Papa sembari menunjuk ke arahku. Pengawalnya hanya mengangguk sembari berlalu pergi meninggalkan kami. "Jangan mulai, Pa. Mending Papa aja yang sekolah kalau pakai pengawal, aku malu!" ucapku ketus. "Cecyl, makan yuk Nak," sahut Mama. Aku tidak jadi melahap makananku, tiba-tiba moodku berubah. Aku segera meninggalkan tempat makan, lalu berjalan menuju pintu utama. "Cecyl," teriak Papa. Aku tak menghiraukannya, aku malas ribut pagi-pagi. Seperti biasa saat aku melangkah menuju pintu, pintu pun segera di buka sama pegawainya papa. Terlihat mobil yang akan mengantarkan aku sudah terparkir di depan. "Ayo, Pak," ajakku ke Pak Nadim yang sedang membukakan pintu mobilku. "Pak Indra Nggak perlu ngawal aku. Sampai berani ngawal, aku nggak akan sekolah," ucapku dengan nada mengancam. "Tapi, Non...," ucapnya. "Ini perintahku, aku yang sekolah jangan dengerin Papa," ucapku. "Ayo, Pak," ucapku ke Pak Nadim. Pak Nadim pun menuruti kemauanku, beliau segera melajukan mobilnya. "Non, belum sarapan?" tanya Pak Nadim. "Belum, nanti mampir ke swalayan ya Pak. Mau ke toilet sama beli roti, aku laper," ucapku. "Baik, Non," jawab Pak Nadim lagi. Tak begitu jauh, ada swalayan. Mobil pun di parkir, lalu aku masuk ke swalayan dengan langkah cepat. Tidak lupa sebelum turun aku memakai hoodie dan berkacamata. Aku pun segera menuju ke toilet, aku masuk lalu mengganti seragamku. Seragam awal yang terlalu minim, sekarang aku ganti dengan rok panjang di bawah lutut. Lalu memakai kaos kaki yang panjangnya selutut. Rambutku yang awal ku buat curly dan aku urai, sekarang aku kuncir kepang dua. Aku memakai kacamata, aku ingin berpenampilan seperti gadis culun. Selesainya berganti pakaian, aku segera membeli roti agar aku tidak telat masuk ke sekolah. Setelah itu, aku berjalan menuju mobil. "Non Cecyl," ucap Pak Nadim yang tampak bingung penampilanku. "Pak, jangan panggil Non ya. Aku nggak mau semua orang tahu siapa aku, aku ingin Bapak manggil aku Cecylia," ucapku dengan menekankan namaku. "Iya, Non. Eh, Cecyl," jawab Pak Nadim. Mobil pun kembali dilajukan menuju sekolahanku. Jalanan cukup lenggang sehingga lebih mau sampai sekolah. "Pak, jangan berhenti di depan gerbang. Antar aku sampai sini saja," ucapku. Pak Nadim pun mengikuti perintahku. Aku berjalan menuju pintu gerbang yang masih lumayan jauh. "Bapak, pulang saja. Nanti waktunya pulang jemput di sini saja, ya," ucapku. "Baik, Non," jawab Pak Nadim. Aku kembali melanjutkan jalanku, aku masuk gerbang sekolahan ini. Aku berharap bertemu Reza di sini. Aku melangkah masuk ke kelas di mana anak baru berkumpul. Hari pertama sekolah juga hari pertama pengenalan. Kami di sambut anggota Osis di sekolahan ini. Aku berkenalan dengan salah satu anak bernama Nadira, dia teman pertamaku. "Halo, aku Nadira," ucapnya ketika berada di dekatku. "Hai, aku Cecyl," jawabku. Saat itu, kami saling bertukar cerita dari mana asal kami sekolah. Tapi tetap aku tidak mau ada orang tahu latar belakangku. Saat aku duduk, banyak anak cewek-cewek berbicara sembari berbisik. Dia berbicara soal anak pemilik perusahaan terbesar di kotaku ini akan bersekolah di sini. Mereka nantinya ingin mencoba mendekatinya. Aku yang mendengarnya hanya diam, Nadira pun sama dia tak memberikan respon itu. "Kamu kok nggak ikut yang lain, ingin berteman sama anak orang terkaya di kota ini?" tanyaku ke Nadira. "Buat apa? Aku nggak ingin pilih-pilih teman, mana yang mau berteman denganku ya syukur," jawabnya. Aku merasa Nadira beda dengan yang lain, aku ingin bisa berteman dengan dia. Saat kami asyik mengobrol, tiba-tiba ketua Osis beserta anggotanya menyapa kami. "Pagi semua," ucap ketua Osis. Aku tak langsung melihat ke arahnya, aku hanya mendengar sembari menunduk. Aku termasuk anak yang pemalu, karena selama ini tidak pernah mempunyai teman. Suara ketua Osis itu, seperti suara yang pernah aku dengar, lalu aku melihatnya. "Reza," ucapku. "Ce, kamu kenal?" tanya Nadira. Nadira lebih mudah memanggilku dengan sebutan Cece. Karena dia akan merasa akrab dengan panggilan itu. "Aku tak mengenalnya," aku memberi alasan ke Nadira. "Kak Reza, ketua Osis di sini. Dia sifatnya dingin dan cuek aku dengar-dengar dari yang lain, dia pujaan para anak cewek di sekolahan ini," Nadira memberitahu. Aku terkejut mendengar ucapan Nadir. Dalam batinku berkata, hah cowok tengil dan resek itu bersifat dingin dan cuek? Aku nggak salah dengar ini? "Masa sih? Ceweknya banyak dong?" tanyaku. "Enggak, dia katanya beberapa kali menolak cewek yang mendekatinya," jawab Nadira. Memang dia cowok yang keren, idaman banget. Tapi entah kenapa aku lebih ilfeel saat bertemu pertama kali dengannya. Tapi nggak tahu kenapa, aku bisa masuk sekolah di sini hanya untuk tahu siapa dirinya. Aku semakin penasaran dengan ini cowok, kenapa sifat dia beda dengan yang aku kenal pertama kali? Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD