Cowok Tengil

1032 Words
Aku terus menanti jawaban dari pak sopir, tetapi ternyata pak sopir enggan untuk berbicara. "Pak, kenapa diam?" tanyaku. "Sa-saya tidak tahu, Non," jawab Pak sopir. "Nggak mungkin!" ucapku dengan nada ketus. "Beneran, Non," ucap Pak sopir lagi. Aku pun memutuskan untuk diam tak melanjutkan pertanyaanku. karena aku tahu pak sopir tidak akan pernah membocorkannya. Oh iya, perkenalkan sopirku bernama Pak Nadim. Beliau sudah bekerja di sini sejak belum ada aku. Beliau sudah cukup tua, kalau bisa di bilang umurnya sudah hampir enam puluh tahunan. Beliau orang penyabar, beliau selalu mengantarkan ke mana pun aku pergi. Walaupun banyak sopir di rumahku, tetapi aku tetap memilih Pak Nadim untuk mengantarkanku. Beliau asli orang sini, rumahnya pun tak jauh dari rumahku. Istri dan anaknya pun bekerja di rumahku, untuk menjadi asisten rumah tangga. Istri Pak Nadim bernama Bi Siti, dan anaknya bernama Mbak Rohmah. Aku cukup dekat dengan Mbak Rohmah ini, dia sedari kecil yang mengurusiku, dia Baby sisterku. Berhubung aku sudah beranjak besar, Mbak Rohmah membantu Ibunya untuk jadi asisten rumah tangga di sini. Walaupun banyak asisten rumah tangga keluargaku, tetapi yang dekat cuma dengan keluarga Pak Nadim ini. Mereka kepercayaan papa dan mamaku. *** Perjalanan cukup lama yang aku tempuh untuk pulang dari sekolahan, karena siang itu jalanan cukup padat dan macet. "Pak, istirahat yuk. Aku mau makan dulu," ucapku mengajak Pak Nadim. "Tapi, Non. Nanti di tunggu Tuan di rumah, bagaimana?" ucap Pak Nadim. "Bilang saja, jalanan macet gitu," ucapku sembari keluar dari mobil. "Non, Non Cecyl," teriak Pak Nadim dari dalam mobil. Aku tak menghiraukan teriakannya, karena aku tak pernah jalan sendirian untuk sekedar keluar untuk mencari makan. Aku tahu, jika aku tak melakukan ini, mungkin Pak Nadim sudah melajukan mobilnya menuju rumah. Aku menerobos kemacetan dengan berjalan kaki, menuju satu restoran yang tak jauh dari mobilku berhenti. Aku masuk ke dalam restoran, lalu duduk di salah satu kursi. Pelayan menghampiriku sembari membawa buku menu. Aku memesan dua makanan, yang satu untukku dan yang satu untuk Pak Nadim. Ketika aku duduk sendirian, ada anak muda yang menghampiri. Dia duduk di kursi tepat di depanku. "Hai, cantik. Boleh kenalan," ucapnya sembari menyodorkan tangannya ke arahku. "Maaf, kursi itu sudah ada yang punya," ucapku. "Pacarnya, ya. Boleh dong aku dulu yang menemani," ucapnya tetep kekeh menggodaku. "Maaf, sekali lagi kursi itu sudah ada yang punya. Kakak boleh pergi dari sini," ucapku dengan nada sedikit ketus. "Sombong banget sih, belagu!" ucapnya sembari menggebrak meja. Aku pun terperanjat kaget dibuatnya. Tetapi aku tetap memalingkan wajah dari pemuda itu. Tak ku sadari Pak Nadim pun datang menghampiri. "Maaf, Non. Lama," ucap Pak Nadim. "Oh, tidak apa-apa, Pak. Silahkan," ucapku. Makanan yang aku pesan pun datang. Aku pun segera melahap makananku dan aku melihat ke arah Pak Nadim yang tengah duduk diam menatapku. "Mari, Pak. Di makan dong, di lihatin saja kapan kenyangnya," ucapku sembari tersenyum. "Ini, makanan buat saya?" tanya Pak Nadim. "Iya, siapa lagi, Pak? Kan cuma Bapak yang ada di sini, mari di makan," ucapku lagi. Dan kami berdua melahap makanan kami, dan aku sesekali kadang melirik ke pemuda yang menggodaku. Dia ganteng sih menurutku, berpawakan tinggi, berkulit putih, tetapi sayang arogan. Jadi ilfeel di buatnya. Hingga tak ku sadari pandangan kami saling bertemu. Aku mengalihkan pandanganku ke makanan. Sesekali meliriknya, dia tersenyum ke arahku. "Apa, Lo. Ketawa-ketawa," ucapku dengan ketus ke arah pemuda tadi. "Kenapa? Suka ya?" ucapnya dengan nada mengejek. Aku yang sudah selesai makan, bergegas mengajak Pak Nadim pergi dari tempat itu. Pak Nadim berjalan sedikit berlari mendahuluiku. Dari belakang terlihat pemuda itu berjalan mengikuti. Saat aku berdiri di depan restoran menunggu Pak Nadim mengambil mobilnya. pemuda itu menghampiri. "Aku Reza, aku dari SMK 49 itu. Kamu siapa?" ucap pemuda itu sembari menunjuk sekolahan tepat di depan restoran ini. "Cecyl," ucapku singkat. "Jangan ketus-ketus, nanti buat aku tambah penasaran sama kamu," ucapnya. Mobil pun sudah datang, Pak Nadim pun keluar dari dalam mobil hanya untuk membukakan pintu untukku. "Silakan, Non," ucap Pak Nadim. Aku berjalan menghampiri mobil, lalu mulai masuk ke dalam. "Eh, anak manja. Yang sopan sama orang tua," ucapnya. Pak Nadim segera melajukan mobilnya. "Pak, jangan panggil Non ya kalau di luar, dan satu lagi, aku bisa membuka pintu jadi nggak perlu di bukain," ucapku. "Baik, Non," jawab Pak Nadim. ________ Tak berselang lama, kami pun sampai. Di depan rumahku bak istana yang sudah banyak pengawal menunggu di teras rumahku. Tak perlu mengetuk pintu, mereka pun sudah membukakan pintu itu sebelum aku mengetuknya. Aku sebenarnya tak suka dengan perlakuan mereka, seakan-akan aku tak bisa melakukan apapun. Kala aku sudah masuk, ada asisten rumahku yang sudah menghampiri hanya sekedar membawakan tasku. "Tasnya, Non," ucap salah satu asisten rumah tanggaku. "Nggak perlu, aku bisa bawa sendiri," ucapku berlalu meninggalkan mereka. Sebelum aku menaiki anak tangga, aku ingin mencari Mbak Rohmah terlebih dahulu. "Mbak, Mbak Rohmah," teriakku. Dari kejauhan terlihat dia berlari menghampiri. "Iya, Non," ucapnya. "Main ke kamarku, yuk," ucapku sembari menaiki anak tangga satu persatu. "Baik, Non. Mau dibawakan apa?" tanya Mbak Rohmah. "Nggak perlu, Mbak Rohmah naik saja ya," ucapku. Dia hanya menganggukan kepalanya. Aku terlebih dahulu memasuki kamarku. Kamar yang luas, terlihat sepi ketika aku berada di dalamnya sendirian. Aku baringkan tubuhku di atas kasur. Toktoktok! Terdengar suara ketukan pintu. "Masuk, Mbak," ucapku. Aku tahu itu Mbak Rohmah, karena tidak ada yang berani masuk ke kamarku kecuali aku mengizinkannya. Dan asisten rumah tangga yang membersihkan kamarku hanya Bi siti ibunya Mbak Rohmah ini. Mbak Rohmah jalan menghampiriku, lalu duduk di lantai di dekat kasurku. "Ngapain? Mau ngepel? Duduk atas, siapa suruh duduk bawah," ucapku. "Tapi Non, bajuku kotor," ucapnya. "Nggak usah banyak alasan, Mbak. Naik saja, kita sama, dan panggil aku Cecyl nggak perlu Non," ucapku memberitahu. "Baik, Non. Eh, Cecyl," ucap Mbak Rohmah. "Mama, ke mana?" tanyaku. "Ada, Nyonya lagi di kamarnya. Mau di panggilkan," Mbak Rohmah menawari. "Tidak usah. Mbak, kamu kan sudah lama bekerja di sini, tahu nggak sih pekerjaan Papaku?" tanyaku. "Emmm, anu Non. Sa-saya tidak tahu," jawabnya. "Kenapa gugup? Setakut itukah untuk mengungkapkan pekerjaan Papa?" tanyaku menyudutkan. Dan lagi-lagi, orang yang aku tanya perihal pekerjaan papa selalu diamseribu bahasa, sembari menundukan kepalanya. "Nggak perlu dijawab, kalian nggak akan pernah memberitahuku," ucapku lagi. "Baik, Non," jawab Mbak Rohmah. Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD