Beberapa tahun yang lalu

1055 Words
Namaku Cecylia, aku terlahir dari keluarga yang kaya. Tetapi kehidupanku tak seharmonis layaknya orang pada umumnya. Sampai saat ini, aku pun tak tahu apa sebenarnya pekerjaan papaku. Yang ku tahu, dia selalu pergi malam dan menenteng koper berwarna hitam. Tidak lupa selalu banyak orang yang mengawalnya. Kemana tujuannya pergi, dan bertemu siapa aku pun tak pernah tahu. Pernah, sekali aku melihat papa dan mamaku berantem di satu ruangan rumahku ini. Aku mengendap-ngendap menghampirinya, pintu yang tak terkunci mempermudahkan aku untuk mengintipnya. "Kau perempuan, tak usah menghentikan yang menjadi urusanku!" ucap Papa sembari menunjuk-nunjuk ke arah Mama. "Tapi, yang kamu perbuat sudah keterlaluan. Banyak dosa yang kau tanggung, jangan pernah libatkan aku dan anakmu nantinya dalam urusanmu!" ucap mama yang duduk tersungkur di lantai. "Ini semua salah Papamu, Hahaha," ucap papa sembari tertawa. Aku melihat mamaku hanya menangis tersedu-sedu. Aku kala itu tak bisa berbuat apapun, untuk memeluk mamaku pun aku tak berani. Sebagian orang, mengenal papaku sebagai orang yang keras. Tetapi, menurutku tidak, dia selalu baik dan lembut ketika bertutur kata denganku. *** Di sekolah pun tak ada satupun anak yang berani berteman denganku. Ketika aku mencoba untuk bergabung, entah kenapa mereka selalu pergi. Dan ketika aku bertanya, mereka pun beralasan dengan kesibukan masing-masing. Saat jam istirahat tiba, aku sengaja pergi ke kantin. Tak perlu aku memesan, ibu kantin sudah memberikan apa yang aku butuhkan. Aku duduk di kursi yang seakan-akan istimewa, dan tak ada satupun anak yang berani menempatinya. Saat itu, aku merasa sendiri. Aku memanggil salah satu anak yang kebetulan satu kelas denganku. "Hai, Rev. Duduk di sini bersamaku," ucapku sembari melambaikan tangan. Dia terlihat ragu untuk menjawab ajakanku. Malah dia berbisik-bisik dengan teman yang ada di sebelahnya. "Reva, sini," ajakku lagi. "Oh, Cecyl. Maaf, aku mau mengerjakan tugasku yang belum selesai," ucapnya sembari berlalu meninggalkan aku. Padahal yang aku tahu, dia baru saja tiba di kantin. Dan dia baru makan sedikit makanannya, tetapi karena ajakkanku dia pergi begitu saja. Tak hanya satu anak yang seperti itu, bahkan semua anak yang berada di sini seakan-akan takut ketika berada di dekatku. Aku tak pernah memiliki yang dinamakan teman. Tetapi guru-guru di sekolah ini selalu mengistimewakan aku. Aku tak tahu apa alasan mereka, aku pun tak terlalu pandai dalam hal pelajaran. Sehingga membuatku selalu merasa heran. ____________ Pernah saat itu, saat aku baru masuk ke dalam kelas. Yang awalnya kelas terlihat riuh dari anak-anak yang belum mengerjakan tugasnya, tiba-tiba diam ketika aku datang. Aku duduk di bangku yang biasa aku tempati di kelasku. Yang lain duduk berdua secara berdampingan, dan aku lagi-lagi hanya sendiri. Aku datangi salah satu temanku, sebab aku ingin tahu apa yang menjadikan satu kelasku ramai dengan salah satu buku pelajaran itu. "Hai, ada tugas apa ya?" tanyaku. Anak itu menatapku sebentar lalu mengalihkan perhatiannya menghadap ke buku kembali. "Matematika, ini kalau kamu belum mengerjakan. Bawa saja," ucapnya sembari memberikan bukunya kepadaku. "Kenapa sih, kalian semua terlihat beda ketika denganku? Apa salahku," tanyaku sembari berteriak ke satu kelas. "Tidak ada apa-apa kok, kalau kamu perlu bantuan tinggal bilang saja, ya. Tapi kami mohon jangan sakiti kami," ucap salah satu teman kelasku. Aku semakin bingung dibuatnya. Aku merasa tidak pernah menyakiti siapapun di sini. Saat itu, aku nggak jadi bertanya apa alasan mereka. Karena salah satu guru sudah datang ke kelas saat itu. "Tugas matematika di kumpulkan saat ini juga, bagi yang belum mengerjakan berdiri di depan hingga jam pelajaran saya selesai!" kata Bu guru. Salah satu anak di kelas ini berdiri, dia dikenal sebagai ketua kelas. Dia mengambil buku satu persatu dari temanku. Dan yang belum mengerjakan otomatis maju ke depan untuk melaksanakan hukumannya. Salah satu anak mengangkat tangannya ke Bu guru "Bu, buku saya ketinggalan," ucapnya. "Tidak ada alasan, maju ke depan!" jawab bu guru dengan tegas. Saat ketua kelas datang menghampiriku, dia menanyakan tugasku dengan ragu. "Ce-Cecyl, tugasnya mana?" ucapnya dengan terbata-bata. Aku mencari buku yang akan aku kumpulkan, tetapi tak ada buku yang aku cari. Mungkin buku itu ketinggalan. "Buku ku juga ketinggalan, aku maju saja," ucapku sembari beranjak dari tempat dudukku. Ketua kelas pun memegang bahuku, lalu menyuruhku untuk duduk. "Tidak usah, nanti aku buatkan tugasmu," ucapnya. "Tidak perlu!" ucapku tetap kekeh berjalan menuju ke depan. "Cecyl, kenapa?" tanya Bu guru dengan lembut. "Buku saya ketinggalan, Bu," jawabku. "Kamu duduk saja, tidak perlu berdiri," ucap Bu guru sembari menggandengku menuju tempat dudukku. "Tapi, Bu...," ucapku. "Tidak perlu tapi-tapi, kamu duduk saja," ucap Bu guru lagi. Aku pun duduk, lagi-lagi aku tak mengerti dengan sikap orang yang berada di sekolahan ini. Termasuk guru yang mengajarku saat itu. Aku menghormati semua guru di sini, selayaknya guru pada umumnya. Tetapi yang kurasakan malah beda, mereka seakan-akan membedakan aku dengan yang lain. Mereka terlihat seakan-akan aku tuan putri yang selalu mereka penuhi kebutuhannya. **** Jam pelajaran terakhir pun telah usai, Aku membereskan bukuku yang berserakan di meja. Lalu, aku beranjak dan melangkahkan kaki keluar kelas. Dan seperti biasa anak-anak riang berlarian untuk keluar terlebih dahulu, tetapi saat kedatanganku mereka menepi memberiku jalan terlebih dahulu. Aku memperhatikan mereka satu persatu, aku merasa ada yang salah dengan diriku. "Kenapa? Ayo, jalan bareng," ajakku. "Tidak perlu, kamu duluan saja ya ,Cecyl," ucap salah satu dari mereka. Aku pun berjalan menuju pintu pagar, dari kejauhan terlihat sopir yang biasa menjemputku, sudah berdiri menungguku. "Ayo, Pak," ucapku saat berada di dekatnya. "Mari, Non," ucap Pak sopir sembari membukakan pintu. Setelah aku masuk mobil, pak sopir bergegas masuk mobil juga, lalu melajukannya. "Pak, nggak perlu dibukakan pintunya. Aku bisa sendiri," ucapku. "Baik, Non," jawab Pak Sopir. "Kalau di luar, panggil aku Cecyl saja, Pak. Aku malu di panggil dengan sebutan Non terus menerus," ucapku. "Tapi, Non...," selak Pak sopir. Sebelum beliau melanjutkan alasannya, terlebih dahulu aku memotong perkataannya. "Tidak perlu banyak alasan, Pak. Kita sama, nggak perlu mengistimewakan aku," ucapku. Beliau hanya mengangguk menuruti kemauannku. "Pak." Panggilku ke Pak sopir lagi. "Iya, Non," jawabnya. Aku mengambil napas yang panjang kala mendengar pak sopir memanggilku dengan sebutan Non. "Non, lagi? Bapak tahu nggak pekerjaan Papa itu apa?" tanyaku. Beliau tiba-tiba mengerem mendadak mobil ini, sehingga membuatku kaget. "Maaf, Non." Ucapnya sembari melajukan mobilnya kembali. "Kenapa, Pak? Ada yang salah dengan pertanyaanku. "Ti-tidak kok," jawabnya terbata-bata. "Apa pekerjaan, Papaku?" tanyaku lagi. Pak sopir diam seribu bahasa tanpa menjawab satu perkataanku. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD