Dua | Dag, Dig, Dug, Ser.

1389 Words
Mungkin itulah esensi jatuh cinta, kita tidak memilih kapan dan dengan siapa kita jatuh cinta. Sama halnya dengan melompat. Ketika kita jatuh cinta, itu terjadi begitu saja. When you fall in love you just fall... [ D E A N ] Hari pertama sekolah selalu menjadi hari yang mengesankan buat gue. Melihat para murid baru yang berkeliaran kesana kemari seperti ayam yang dipotong kepalanya.  Mondar-mandir dan menjerit-jerit tidak jelas. Selalu seperti itu setiap tahun, seolah sekolah ini adalah ajang untuk show off. Gue melangkah pelan, mengikuti pasangan kasmaran yang berjalan beberapa langkah di depan gue. Selalu begini, walaupun ini bukan pertama kalinya gue melihat mereka seperti ini, gue tetap terkesima, bahagia, dan merasa beruntung. Kedua orang tua gue saling mencintai dan menyayangi satu sama lain, dan tidak ada hal yang lebih membahagiakan dari pada itu. "Ingat ga yang, kamu manjat pohon jambu yang itu, abis ngerjain Pak Gatot?" Tiba-tiba mereka berhenti, gue mendengar Ayah berbisik mesra di telinga Bunda sambil menunjuk salah satu pohon di dekat lapangan bola. Bunda terlihat bingung sebentar, lalu ber O-O ria. Senyum genit bin jahil terpampang di wajahnya saat dia berucap. "Waktu pertama kali kita ketemu kan? Kamu naksir aku dari waktu itu kan?" Goda nyokap gue sambil menoel-noel pipi Ayah. Wajah Ayah memerah sampai telinga, mau tak mau membuat gue geli bukan main. Ayah selalu seperti itu setiap kali di goda bunda gue yang somplak. Gue heran gimana caranya gue bisa hadir dunia ini, sedangkan ayah aja masih sering malu di goda begitu sama bunda. Atau, gue yang terlalu polos? "Udah deh Yah, ngaku aja.." goda bunda lagi. Kini mereka saling senggol-senggolan tidak jelas. Kedua orang tua gue, memang alumni AHS. Mereka bertemu di sini dan menjalani hari-hari sebagai pasangan nikah muda juga di sini. Makanya setiap ada kesempatan—gue disuruh bawa orang tua ke sekolah—mereka selalu datang berduaan. Ayah bahkan bela-belain utuk menunda rapat penting hanya demi bernostalgia dengan Bunda gue. Gue ga tau harus bahagia atau menderita. "Oi!" Gue menoleh saat seseorang menepuk bahu gue. San Raja, cowok keturunan negeri Thailand itu tersenyum lebar, menatap gue dengan matanya yang menyipit. "Apaan sih pegang-pegang!" Gue menyentak rangkulan Raja di bahu. Membuatnya mendelik dan mengacak rambut gue gemas. Heran. Ini bocah demen banget grepe-grepe. "Itu kakak sama abang lo so sweet banget sih, jadi iri gue." Ujar Raja sambil menunjuk ke dua orang tua gue yang tampaknya masih saling melemparkan godaan batang jambu mereka. Gue mendengus, satu hal yang tidak gue suka saat Ayah dan Bunda ke sekolah adalah, orang-orang bakalan ngira kalau mereka berdua itu saudara gue, bukan orang tua.  Mungkin karena mereka masih terlihat seperti ABG 17 tahun walaupun sebenarnya ayah gue sendiri sudah menginjak angka 40, tahun ini. "Itu Bonyok gue g****k!" Sentak gue ke Raja membuat dia terkekeh. Dia sebenarnya udah tau, tapi yah gitu. Hobinya bikin gue marah-marah kek orang kehilangan kolor. "Iya, soalnya kolor kamu imut banget, warna pink." ... Suasana mendadak hening saat gue mendengar bisikan ayah yang tidak bisa disebut bisikan, karena gue dan Raja bisa mendengar dengan jelas apa yang dia bilang. Lah ini apa? Kenapa mereka tiba-tiba bahas kolor? Gue bisa melihat wajah bunda memerah dan tampak terkejut. Gue menoleh ke arah Raja yang sama kagetnya dengan gue. Dia menggeleng pelan-seperti geli, lalu melangkah menuju ayah dan bunda berada. "Pagi Tante, Om.." Raja menyapa orang tua gue, dia tersenyum manis sekali gue langsung gue ngeri. "Oh, hei.. Raja ya?" Bunda membalas sapaan Raja. Raja mengangguk sopan, "Iya Tante ... Tante apa kabar?" "Oh tante baik, Mama kamu apa kabar?" Dan mereka larut begitu saja, seperti Emak-Emak biang gosip yang sudah lama tidak bertemu. Gue meringis menyadari bahwa Raja sama bersemangatnya dengan Bunda, membahas sesuatu yang tidak gue mengerti. Tentang arisan senin-jumat ataupun charity program yang setiap bulan Bunda lakoni. Sementara Ayah gue, dia sedang berbicara dengan sesorang melalui ponselnya. Gue mengedarkan pandangan gue ke sekeliling AHS, tida menyangka sudah hampir tiga tahun gue di sini. Dan ini adalah tahun terkahir gue. Sejauh ini, tidak ada kendala yang berarti buat gue selain mata pelajaran yang bikin otak pusing—Fisika. Lamunan gue buyar ketika melihat seseorang berlari di sepanjang koridor gedung IPA, dia berlari dengan kencang sambil menutup kedua telinganya seperti ketakutan. Gue masih memperhatikan dia yang mulai menjadi bahan tontonan dan tertawaan. Kaki gue otomatis melangkah begitu saja menuju ujung lorong gedung IPS, gue tau dia akan menuju ke arah sini.  Gue kembali menoleh, melihat Bunda sekarang berbicara dengan buk Harteti yang entah muncul dari mana, lalu kembali kepada cewek tadi. Rambut hitamnya tergerai, bergoyang mengikuti gerak badannya saat berlari. Dia seperti dikejar sesuautu, namun tidak ada seorang pun yang mengejarnya. Gue terus  melangkah,  tidak tau kenapa tiba-tiba peduli dengan hal-hal tidak penting seperti seorang cewek yang berlari seperti dikejar hantu di sepanjang koridor sekolah. Gue berhenti saat gadis itu semakin mendekat, di jarak sedekat ini gue bisa melihat kalau dia menutup mata dan telinganya saat berlari. Ketika jaraknya semakin dekat, gue tau bahwa dia akan menabrakkan diri, tapi gue sama sekali tidak berusaha menghindar, tetap di posisi dan menunggu.  Benar saja dalam sepersekian detik, cewek itu menubruk badan gue seperti banteng gila. Tangan gue dengan sigap merengkuh pinggangnya, untuk beberapa detik dia masih menutup matanya. Si mungil ini terlihat ketakutan, gue masih menatapnya dengan intens saat mata hitam legamnya terbuka dan gue tersedot oleh kedalamannya. Dia menatap gue untuk beberapa detik sebelum tersadar dan berusaha melepaskan diri. Gue yang masih terpesona oleh keindahan matanya tidak menahan tubuhnya dengan benar, sehingga cewek itu terjatuh ke lantai. "Ah," ringis gue, segera meminta maaf." Lo gapapa ?" Cewek itu mengangguk singkat dan membiarkan gue untuk membantunya berdiri. Gue masih menatap dia sementara dia entah kenapa, lebih memilih untuk menatap lantai keramik di kakinya, seolah-olah keramik butek itu lebih cakep dari gue. Kita masih berdiri berhadapan seperti orang bodoh, saat seseorang memanggil gue. Bobi berlari ke arah gue seperti orang dikejar kerbau. "Dean!" Ucapnya ngos-ngosan. Dia menggerak-gerakkan tangannya seperti meminta gue untuk lari. "Mampus, buk Harteti nyariin lo!" Mampus! "Dia ke arah sini, sama Nyokap, Bokap lo!" Double mampus. Alamat di sate gue mah! Gue kembali melirik si mungil, lalu berdecak sebal. No worry Dean, ini hanya AHS lo bisa ketemu dia lagi nanti. Melemparkan senyum tipis kepada si mungil yang melongo, gue berlari ke arah gedung dua sambil berdoa. Semoga Bunda masih ingat kalau membunuh itu dosa! *** Gue mendecak sebal, cowok jakung s****n di samping gue masih setia ngakak sambil gedor-gedor meja. Seolah, melihat gue menderita adalah kebahagiaannya. "Ya ampun De, nasib baik lo ga di bunuh Tante Nanab." Bobi kembali ngakak melihat gue yang cemberut bete. Gue mendelik ke arahnya, dia berhenti sebentar lalu kembali tertawa saat melihat hidung gue yang berplaster, hasil kerja tangan bunda yang mencubit hidung gue sampai merah seperti p****t baboon. "Diamlah Bob, sebelum gue yang buat lo terpaksa diam." Ucap gue sebal, dan Boboho kamfret itu kembali tertawa bikin gue keki. Gue merebahkan kepala gue di meja sambil mengelus ujung hidung yang teplester. Bunda sepertinya benar-benar marah, lagipula buk Harteti pake acara ngadu segala. Kelas yang tadinya heboh mendadak hening. Gue mengangkat kepala, dan menatap ke depan, buk Ratna sudah masuk dengan seorang gadis mengekor di belakangnya. Gue baru saja hendak menaruh kepala gue kembali ke atas meja saat gue tersadar siapa gadis yang tengah berdiri kaku di depan kelas itu. Itu si mungil yang tadi lari-lari dan menabrak gue. Buk Ratna berbicara tentang sesuatu, tentang dia yang merupakan pindahan dari Bandung dan mulai saat ini akan menjadi bagian dari kelas 12 IPA 6, lalu dia menyuruh si mungil untuk memperkenalkan diri.  Si mungil tampaknya sedikit risih mendapati seisi tengah menatapnya dengan penasaran. "Halo." Sama seperti tubuhnya, suaranya juga imut banget. "S-saya Zade!" Kami masih menunggu si mungil untuk melanjutkan perkenalannya, namun tampaknya hanya sebatas 'saya Zade' saja. Buk Ratna tidak mempersalahkan hal ini, dia menyuruh mungil untuk pergi ke tempat duduknya di sebelah Bintang.   Zade. Gue mengetes nama itu di bibir gue. Dan ada sesuatu yang aneh saat nama itu meluncur dari bibir gue. Ada getaran aneh yang membuat prut gue melilit. Gue mendongak dan melihat Zade tengah berjalan ke arah kursinya. Dia menoleh dan kami bertatapan untuk beberapa detik, dia tampak terkejut melihat gue. Gue masih menatapnya bahkan saat gadis itu sudah berada di kursinya, tangan kiri gue dengan tidak berdaya menyentuh sesuatu di d**a gue. Detaknya lebih kencang dari biasanya. Dan gue tahu begitu saja   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD