bc

Indigo

book_age12+
301
FOLLOW
1.6K
READ
goodgirl
drama
tragedy
comedy
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Alasan kenapa aku bertemu denganmu, adalah, karena tuhan tahu aku akan jatuh cinta padamu dan bagiku akan sangat mudah bagiku menjadikan dirimu bahagian dari hidupku.

©2015 Nabila Hanum

chap-preview
Free preview
Satu | Pretty Brown Eyes
[Z A D E] “I'm so tired of being here, suppressed by all my fears”. Masih ada banyak hal di dunia ini yang tidak kita ketahui. Kita yang merasa mengetahui segalanya-pun kadang bisa keliru saat dihadapakan pada sebuah hal yang aneh dan tidak biasa, atau, jarang terjadi. Untuk itulah, meski sudah berkali-kali kuingatkan pada diriku sendiri bahwa ini adalah hal yang aneh dan jarang—bahkan—tidak mungkin terjadi. Namun, sebuah kenyataan kembali menamparku bolak-balik, mengembalikan kewarasanku. Aku hidup di dunia yang penuh misteri, jadi bersiap saja, jika suatu saat nanti pun aku akan aku akan terjengkang karena hal yang terduga terjadi di depan mataku. "Siap?" Sepasang pasang manik hitam menatapku dengan hati-hati. Dia membasahi bibir atasnya dan menarik sejumput rambut hitamnya yang jatuh ke pipi dengan gugup, saat  tidak mendapat jawaban yang dia inginkan. "Kita akan berangkat beberapa jam lagi, kamu boleh tinggal kalau kamu-" "Aku ikut." Jawabku singkat lalu bangkit, mengambil ransel yang tergeletak di lantai. Tampaknya jawaban yang kuberikan sama sekali tidak mengejutkannya, dia pasti sudah memperikan ini jauh-jauh hari. Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan? Aku tidak punya siapa-siapa lagi di sini—di dunia ini—satu-satunya jalan agar tetap hidup adalah tinggal bersamanya. Walaupun itu artinya aku harus merepotkan seseorang—yang tidak kukenal dengan baik—di depanku ini. "Baiklah, kita harus bergegas." Dia tidak tersenyum, namun aku tau dia merasa lega sekarang. Aku berbicara, adalah satu dari banyak hal yang dia inginkan dariku semenjak beberapa bulan yang lalu. Menghela nafas panjang sekali lagi, aku bangkit dari dudukku dan mengikuti langkahnya, keluar dari ruangan ini. Dia melangkah dengan pelan, membuatku bisa mendengar dengan jelas derap langkah kakinya berduet dengan detak jantungku, semakin kencang saat kami semakin menjauh dari ruanganku tadi. Dia menoleh, menatapku sebentar lalu berusaha untuk menghadiahkan seulas senyum, namun gagal, aku malah menangkap senyumannya sebagai ringisan aneh. Canggung. Kami memang tidak pernah bertemu sebelumnya. Dia terlalu sibuk bekerja dari satu negara ke negara lain, orangtua angkatku bilang, dia memutuskan untuk menjadi janda karena pekerjaannya dirasa lebih penting dari pasangannya yang ternyata juga seorang yang gila kerja. Mungkin karena itulah suasana terasa canggung saat ini, ditambah lagi, aku merasa tidak nyaman karena sesuatu yang sedari tadi mengekoriku. Mengiba agar aku tidak pergi. "Aku benar-benar tidak tau kalau mereka memutuskan untuk mengadopsi seorang anak, sudah beberapa tahun aku tidak berhubungan dengan mereka, jadi aku tidak tau banyak." Dia berucap saat kami mendarat di Bandara besar Sokarnoe-Hatta. Barang bawaanku yang tak seberapa, langsung diurus oleh pria berseragam sopir dan menuntun kami untuk masuk ke sebuah mobil BMW hitam yang sudah menunggu. "Hmm," gumamku mengalihkan pandangan keluar jendela. Saat ini, aku benar-benar tidak tau harus menjawab apa. Hening sesaat. Kami benar-benar kehilangan topik pembicaraan. Mungkin karena watak kami hampir sama dan juga kecanggungan karena pertama kali bertemu. Aku masih diam menikmati pemandangan gedung-gedung pencakar langit di sekeliling kami-dari jendela mobil, saat wanita di sampingku menyentakku, membangunkan kembali kenangan mengerikan beberapa tahun yang lalu, yang kembali terputar dengan apiknya tanpa repot-repot meminta. "Aku benar-benar menyesal atas apa yang menimpamu, Zade. Dan aku minta maaf, terlambat menjemputmu." Aku memejamkan mataku, menolak untuk kembali terlalut dalam ketakutanku. "Tidak apa-apa." Jawabku, melihat ke arahnya dengan datar. Dia kembali diam, begitu seterusnya sampai kami sampai di tujuan. Sebuah rumah besar dan mewah dua tingkat, halamannya cukup luas dengan sebuah air mancur besar di tengah-tengah, pohon dan bunga tumbuh dengan subur menghiasi halaman rumah ini. "Istirahatlah, Bi Ais akan mengantarmu ke kamar. Kita akan bicara nanti malam, tentang sekolah dan hal lain yang mungkin kamu butuhkan." ujarnya sembari melepas anting-anting berlian yang dipakainya. Aku mengangguk, tersenyum tipis lalu mengikuti langkah wanita paruh baya yang kuketahui bernama bi Ais ini, menuju kamarku. *** Aku terbangun. Berkeringat dan ketakutan. Langit di luar masih kelam, tanpa ada satupun bintang yang menaungi. Hal ini terjadi lagi. Aku benci hidupku. Dan aku muak dengan mereka. Kenapa mereka terus datang dan menghantui aku yang tidak tau apa-apa? Tidak bisakah meninggalkan diriku sendiri bersama ketenangan? Aku lelah dikejar kelam. Melelahkan, saat kau harus terus berlari di saat sebenarnya tidak ada yang benar-benar mengejarmu. Karena kau tahu, kau sendirian. "Krrk." Aku menoleh saat merasakan pergerakan dari arah pintu kamar. Tidak butuh waktu lama untuk melihat bahwa ada sesuatu yang janggal di sana. Walau pencahayaan kamarku terbilang minim, aku segera tahu bahwa ada seseorang di sana. Bukan. Ada sesosok mahluk disana. Seorang gadis cantik bergaun biru pucat menatapku penuh permohonan, membuat perutku melilit karena ekspresinya yang sangat mengiba. Tubuhnya seperti gambar proyeksi yang ditembakkan oleh infokus, seperti tembus pandang, dan kulihat mendung di wajah pucatnya. "Pergi!" Desisku, di luar kesadaran segera menutup kedua kelopak mataku, menolak untuk mengabaikan mereka. Ini jam 3 dini hari, Demi Tuhan. Aku butuh tidur, besok adalah hari pertama sekolah, dan aku harus bangun lebih awal. Aku tidak ingin lagi dicap anak aneh. Sudah cukup! "Tolong bantu dia, kau tau, kalau dia pergi sekarang, ini akan membuat istrinya salah paham. Dan kau tau itu tidak benar kan?" Suaranya begitu lirih, membuatku tidak tega. Walaupun jarak kami cukup jauh, namun suaranya terasa begitu dekat. Aku menggeleng, tidak ingin terjebak bujuk rayunya. "Kumohon, pergilah!" ucapku sekali lagi, kali ini aku yang mengiba. "Kumohon." Aku setia di posisiku, menutup mata dan telingaku dengan erat untuk beberapa menit kedepan. Saat aku membuka kedua mataku dan melihat kesekeliling. Dia sudah hilang. *** Achanta High School, terlihat sibuk pagi ini. Mungkin karena tahun ajaran baru dan kabarnya minggu ini AHS merayakan ulang tahunnya yang ke 59. Murid-murid berseragam putih abu-abu berkeliaran di sepanjang jalan. Saling bercengkrama dan tertawa, aku menelan ludah gugup. "Kita sudah sampai Non, apa saya perlu mengantarkan ke dalam?" Aku menoleh dan mendapati Pak Ahmad tengah menatapku, dia tersenyum hangat, kerutan di ujung matanya menandakan kalau dia sudah tidak lagi muda. Dalam sekejap hawa dingin langsung menyergap tubuhku. Darah, pukulan, tawa, teriakan, tangisan kekecewaan dan hardikan. Mimpi buruk tadi malam langsung terputar kembali dengan apiknya, seolah-olah, aku melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri. Dan, seketika semuanya tampak jelas. Aku seketika tau, siapa yang dimaksudkan oleh gadis bergaun biru pucat tadi malam. "Ti-tidak usah, Pak." Aku keluar dari mobil dengan tergesa. Lututku terasa lemas dan mimpi buruk itu tetap terbayang, bertambah parah saat Pak Ahmad menyentuh lenganku, dia mencoba membantuku untuk berdiri karena aku sudah terduduk menyedihkan di tanah. "Non Zade ga papa?" Pak Ahmad menatapku cemas. Aku mengangguk, melepaskan pegangan tangannya lalu berlari menjauh darinya. Tidak tau arah, yang penting menjauh dari sana. Aku tetap berlari walaupun Pak Ahmad sudah tidak terlihat lagi. "Tolong.." Aku menutup kedua telingaku saat bisikan itu terdengar dan gadis tadi malam kembali muncul. "Ku mohon.." pintanya lirih. "Pergi!" Ucapku sambil terus memacu langkahku, aku sempat melihat beberapa siswa melihatiku dengan aneh. "Ku mohon, bantu Ayah..." Suaranya semakin dekat dan bayangan gadis itu berubah menakutkan, wajah pucatnya yang sendu berubah sangar, menatapku dengan matanya yang membara marah, dia tetap mengikuti langkahku yang sudah seperti orang gila. Aku hanya sedang mencegah diriku untuk berteriak sekarang. Lariku semakin kencang dan aku tidak memperdulikan orang-orang yang mulai menertawakanku. "Per-" Dug. Aku terpelentar kebelakang saat tubuhku menabrak sesuatu. Karena tidak siap, aku hampir saja terjatuh namun kedua tangan itu menangkap pinggangku, mencegahku agar tidak terjatuh dan membawa tubuhnya ikut serta. Dunia di sekitarku meredup, hening dan sunyi, saat aku mengangkat kepala dan mataku menatap dua manik coklat mengagumkan. Manik itu bergerak-bergerak, terlihat heran, dan bertanya-tanya. Sebelah alisnya naik, dan bibirnya mengulum senyum geli. Aku langsung terjaga, tersentak dari rasa aneh barusan, sehingga pegangan cowok itu terlepas dan aku mendarat mulus di lantai. "Ah, lo ga papa?" Tanyanya, dia meringis kecil, ada senyuman geli di suara itu, yang mengingatkanku dengan hamparan bunga matahari di ladang belakang panti asuhan. Aku mendongak dan kembali di suguhi tatapan mata teduh. Mengangguk singkat, aku membuang pandangan, namun cowok itu kemudian mengulurkan tangan untuk kemudian berdiri. Aku menatapnya lama, sebelum akhirnya menerima bantuannya. Cowok itu masih menatapku dengan geli saat aku sudah berdiri di kedua kakiku. Senyumnya membuat pipiku memanas, kulitnya yang sedikit gelap ditimpa cahaya matahari rambutnya panjang, terlihat acak-acakkan. Tubuhnya lumayan tinggi, aku bahkan hanya sebatas dadanya saja. Kami masih berdiri berhadapan seperti orang bodoh. Aku menatap keramik di kakiku dengan gugup, sedangkan dia mungkin menghujami kepalaku dengan tatapan gelinya tadi. Begitu saja sampai beberapa menit kedepan. "Dean!" Suara teriakan menyentak kami. Aku mendongak dan melihat cowok di depanku memutar kepalanya ke arah suara. Seorang cowok bertubuh jakung berlari ke arah kami. "Mampus, Buk Harteti nyariin lo!" Cowok jakung tadi ngos-ngosan, "dia ke arah sini, sama Bokap, Nyokap lo!" Teriaknya histeris. Cowok bermata teduh itu kaget bukan main. Aku melihatnya mengumpat halus lalu berlalu dari depanku, berlari membelok ke arah tangga di samping kami, sementara aku melihat dua wanita dan satu pria tengah berjalan ke tempatku berdiri. "Deaaaaan, jangan lari kamu ya!" Teriak salah satu wanita tadi, wajahnya terlihat sangat kesal sekaligus marah. Pria yang di belakangnya berjalan santai, menikmati kemarahan wanita tadi. "Yang, ayo dong kejar, jangan diam aja, gimana sih ... Bapak sama anak sama aja!" Aku masih dapat mendengar omelannya saat mereka menaiki tangga yang tadi dilalui cowok bermata teduh itu. Aku termanggu, menatap kepergian orang-orang itu saat aku menyadari satu hal.  Hal yang sangat penting sebenarnya. Hantu gadis tadi menghilang. Sudah menghilang.  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Mrs. Rivera

read
45.5K
bc

RAHIM KONTRAK

read
418.6K
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
16.3K
bc

Om Tampan Mencari Cinta

read
400.5K
bc

Playboy Tanggung Dan Cewek Gesrek

read
463.0K
bc

Married By Accident

read
224.4K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook