Batara Danuarjhi, laki-laki berumur 35 tahun yang masih tampan dan gagah dengan setelan pakaian yang membosankan. Laki-laki yang sering memakai kacamata padahal matanya masih normal. Namanya begitu dikenal di kalangan pengusaha kuliner yang sama dengannya. Namun, ada satu rahasia yang tidak pernah diketahui khalayak ramai. Seorang Batara adalah penulis kondang bernama pena Asmarandana.
Penulis yang memiliki banyak karya dan sebagian besar mampu menjadi mega best seller sekaligus diadaptasi dalam film layar lebar. Setiap karya yang ditulisnya memiliki nyawa masing-masing. Ada kekuatan yang menarik pembaca untuk tetap ingin membeli buku itu terus-menerus. Bahkan tulisannya adalah candu bagi pembacanya. Sayangnya, identitas sang penulis tidak pernah diungkap sedikitpun.
Sudah banyak tawaran dari televisi maupun koran agar bisa mewawancarai dirinya, tetapi semua itu tidak pernah diterima. Batara memilih menutup rapat dirinya dari sorotan media manapun. Dia hanya ingin hidupnya tenang tanpa adanya gangguan sama sekali. Terlalu populer juga tidak baik, itu mottonya.
"Ayah ..."
Itu suara Genta, cowok yang masih memakai seragam sekolah dengan baju yang setengah masuk ke dalam celana dan setengah lagi berada diluar. Jangan lupakan dasi yang miring ke kanan dan rambut yang acak-acakan.
Batara meletakkan sumpit di atas makanannya. Tidak kaget melihat penampilan anaknya yang sangat berantakan. Padahal semasa sekolah dulu, Batara adalah siswa yang rapi dan jauh dari pelanggaran. Namun berbanding terbalik dengan anaknya yang berantakan dan sering sekali melanggar peraturan sekolah.
"Tumben datang ke resto?" Tanya Batara setelah Genta menutup pintu ruangannya.
Genta mengangguk, memilih duduk di salah satu sofa. "Mau makan apa? Biar dibikinin," tawar Batara kepada anaknya.
"Nasi goreng udang ... Gimana?" Tanya Genta yang membuat Batara hanya tertawa.
Laki-laki itu beranjak dari duduknya, "Oke, Ayah bikinin. Jangan bakar ruang kerja Ayah yang penting!" Gurau Batara.
Genta mengacungkan kedua ibu jarinya kepada Batara. Laki-laki itu keluar untuk membuatkan anaknya nasi goreng. Karena apa? Genta tidak doyan nasi goreng selain buatannya. Katanya, nasi goreng Batara adalah nasi goreng terenak sedunia. Itulah yang selalu Genta katakan sampai tidak pernah memakan nasi goreng buatan orang lain.
Ruangan ini adalah ruangan kerja milik Batara. Ruangan yang biasanya untuk berdiam diri atau mencari ide menulis. Terkadang juga sebagai tempat menenangkan diri ketika sedang suntuk. Genta bisa melihat banyak foto yang terpajang di ruangan Batara. Ada fotonya ketika masih kecil yang dipasang di atas meja. Beberapa foto dipajang di dinding. Foto ketika mereka sedang memancing atau liburan keluar kota.
Walaupun single parent, Batara tidak pernah mengabaikan waktu antara dirinya dengan Genta. Laki-laki itu selalu memberi waktu luang agar bisa menghabiskan waktu dengan Genta. Memancing, pergi ke tempat fitness, ke salon untuk facial, atau liburan ke luar kota dan menginap di vila maupun penginapan. Jika memang sama-sama sibuk, paling tidak mereka bisa menggunakan halaman belakang untuk membuat acara bakar-bakar bersama dua sahabat Genta, Zidan dan Tito.
Genta dan Batara adalah anak dan Ayah yang kompak. Batara jarang sekali marah, mungkin sesekali jika Genta tidak bisa dinasehati. Namun tidak lama kemudian, mereka akan berbaikan.
Tidak lama kemudian Batara masuk ke dalam ruangannya dengan membawa sepiring nasi goreng kesukaan Genta. Cowok itu bertepuk tangan seperti anak kecil ketika piring itu diletakkan di atas meja.
"Koki terbaik di dunia," ucap Genta dengan senang. Cowok itu langsung mengambil piring itu. Bahkan aromanya saja sudah menggambarkan bagaimana enaknya nasi goreng buatan Batara.
Batara mengambil makan siangnya dan bergabung dengan Genta yang duduk di sofa. Melihat Genta yang selalu tersenyum bahagia atau begitu menikmati hidupnya, sudah sangat membuat Batara bahagia. Setidaknya hanya itu yang bisa Batara berikan kepada anaknya.
"Kamu tetap enggak ingin bertemu dengan Ibumu? Ibumu ingin sekali bertemu dengan kamu," ucap Batara hati-hati karena takut membuat Genta marah.
Genta menghentikan makannya lalu menggeleng, "Apa Ayah tidak pernah sekalipun membenci perempuan itu? Kenapa Ayah tidak pernah cerita kejelekan perempuan itu," tanya Genta kepada Batara.
Batara tersenyum, "Membenci? Untuk apa Ayah melakukan itu? Membenci seseorang tidak akan membuat hati kita lega. Jika Ayah membicarakan keburukan Ibumu, berarti Ayah juga sedang menceritakan kejelekan Ayah, 'kan?" Jawab Batara dengan tenang.
"Jika memang perempuan itu tidak menyakiti Ayah, tidak mungkin Om Rain begitu membencinya." Ucap Genta.
Rain, dia adalah adik Batara. Orang yang ikut mengurus Genta sejak kecil. Saat ini Rain di luar negeri, sedang melanjutkan S2-nya. Hubungan yang terjalin memang sangat sulit. Batara tidak bisa menjelaskan setiap kali Genta bertanya perihal Ibunya. Dan Rain mengambil keputusan untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Genta ketika cowok itu masuk SMA. Bisa dibilang, Genta tahu semuanya belum lama ini.
Batara terdiam, mengingat apa yang terjadi saja membuatnya enggan. Apalagi menceritakan apa yang telah mereka lalui sampai sejauh ini. Sejak kecil, Genta sudah mendengarkan banyak omongan orang tentang dirinya.
Anak haram. Begitulah orang-orang memanggilnya. Siapa yang tidak berpikir demikian ketika melihat Batara, seorang laki-laki yang masih berumur 35 tahun namun sudah memiliki anak sebesar ini. Memang bisa saja pernikahan dini, namun di masyarakat lebih mudah untuk dipahami jika disebut hamil duluan.
Benar, kelahiran Genta adalah sebuah kesalahan yang dilakukan Batara dengan seorang perempuan dalam satu malam. Mereka pacaran dan kebablasan. Perempuan itu sempat ingin menggugurkan kandungannya, jika saja dokter tidak mengatakan akan menimbulkan kematian. Batara sudah pernah mengatakan jika dia siap bertanggung jawab, namun orang tua perempuan itu menolak.
Bahkan perempuan yang sangat amat Batara cintai itu juga menolak untuk mempertahankan hubungan mereka. Kehamilan itu ditutupi, merekayasa dengan pernyataan si perempuan pindah sekolah. Kenyataannya, perempuan itu di rumah, menunggu anak itu lahir dan meninggalkannya di panti asuhan. Sedangkan Batara melanjutkan sekolahnya, hidup dengan perasaan tidak tenang karena harap-harap cemas jika saja anaknya dibunuh oleh pacarnya itu.
Kelahiran anak itu bertepatan dengan empat bulan setelah kelulusan sekolahnya. Batara memohon agar anaknya tidak dibawa ke panti asuhan. Keluarga besar perempuan itu bersikeras dan akhirnya membuat perjanjian hitam di atas putih jika Batara tidak akan pernah muncul di hadapan mereka lagi atau memberi tahu anaknya tentang siapa Ibunya. Keluarga besar perempuan itu memberikannya uang agar Batara meninggalkan kota itu pada saat itu juga.
Batara pulang dengan membawa bayi laki-laki yang masih merah. Waktu itu, air matanya tidak bisa dibendung karena saking bahagianya bisa melihat anaknya. Namun masalah tidak berhenti sampai di situ, Ibunya marah besar karena Batara membawa anaknya ke rumah. Tanpa memberi tahu Ibunya dan membuat malu keluarganya. Beberapa hari Ibunya marah dan tidak mau melihat anaknya.
"Suatu hari, kamu demam dan Ayah tidak tahu harus bagaimana. Ayah yang masih bocah itu benar-benar tidak paham bagaimana merawat bayi. Ayah terus menggendong kamu, kesana-kemari supaya kamu diam. Tapi kamu terus menangis. Itulah hari di mana Nenekmu mau maafkan Ayah. Nenek langsung mengambil alih gendongan Ayah dan membawa kamu ke bidan." Kenang Batara tentang masa lalunya yang kelam.
Setelah hari itu, mereka semua resmi pindah. Ibunya, Batara, Rain, dan juga Genta. Batara mencari pekerjaan paruh waktu yang banyak agar bisa membiayai kebutuhan hidup mereka semua. Sampai akhirnya ada sebuah lowongan menulis di koran, Batara pernah mengirimkan ceritanya dan sering dimuat di koran. Dari situlah Batara bisa menjadi penulis besar seperti sekarang. Penulis yang tidak pernah diketahui orangnya.
Awalnya Batara tidak ingin memberi tahu kenangan pahit itu kepada Genta. Namun pertemuan Genta dengan perempuan itu membuat Genta menanyakan hal itu secara terus-menerus dan akhirnya Rain menjelaskan semuanya.
"Apa Ayah tahu kalau perempuan itu bakalan menjadi pemeran utama dari adaptasi novel yang Ayah tulis?" Tanya Genta.
Batara mengangguk, "Ayah hanya menulis cerita. Urusan casting dan semua yang berhubungan dengan perfilman itu, bukan urusan Ayah."
"Kamu jangan terus memanggilnya dengan sebutan perempuan itu. Mau bagaimanapun, dia tetap Ibumu 'kan?" Ucap Batara menasehati. Laki-laki itu kembali menikmati makanannya.
Genta diam, tidak terlalu setuju dengan apa yang Batara sampaikan kepadanya. "Dia cuma mengandung dan melahirkan aku, Yah. Dia bukan seorang Ibu, bahkan orang lain yang tidak aku kenal juga seringkali dipanggil Ibu 'kan?"
Batara mengusap kepala Genta dan tertawa, "Mengandung dan melahirkan itu bukan hanya cuma! Jangan terlalu membenci sesuatu, Ayah tidak mau kamu menjadi orang yang pendendam," nasehat Batara yang diangguki oleh Genta.
Gita Prameswari. Perempuan yang pernah memenuhi hati Batara dan perempuan yang berhasil melahirkan seorang Gentasena Danuarjhi. Orang yang meninggalkan mereka berdua namun tiba-tiba hadir begitu saja. Mengatakan kepada Genta jika perempuan itu adalah Ibunya.
Genta beranjak dari duduknya setelah selesai makan. "Yah, Genta pergi dulu ya. Udah kenyang!" Ucap cowok itu tersenyum.
Batara menatap Genta cukup lama, lalu mengeluarkan uang dua ratus ribu dari dalam saku kemejanya.
"Mau beli apa?" Tanya Batara kepada anaknya yang sudah menggunakan jaketnya.
Genta menggeleng, "Mau jalan-jalan keluar doang, Yah. Sebenarnya mau beli kaos, tapi besok aja nunggu Ayah libur."
Batara mengangguk mengiyakan, sedangkan cowok itu sudah berdiri lalu menyalami punggung tangan Batara. Setelah itu Genta keluar dari ruangan Batara, menuju ke parkiran dan menaiki motornya.
Kali ini Genta tidak punya tujuan untuk pergi ke manapun. Menunggu Batara sampai pulang kerja juga bukan ide yang bagus. Ayahnya itu suka sekali menghabiskan waktunya dengan bekerja atau menulis. Daripada bosan dan berakhir tidur sampai sore, lebih baik Genta keluar dan melihat-lihat jalanan.
Pandangannya tiba-tiba jatuh kepada seorang cewek yang berjalan dengan tertatih-tatih. Genta mengerutkan keningnya ketika cewek itu masuk ke apotik dan tidak berapa lama keluar dengan membawa plastik entah berisi apa. Cewek itu berjalan kembali ke salah satu tempat duduk yang tidak jauh dari sana.
Genta memarkirkan motonya tepat di depan cewek itu. Membuatnya kaget dan sempat hendak berdiri. Namun setelah mengetahui jika yang datang hanya Genta, cewek itu kembali duduk. Mengurungkan niatnya untuk pergi.
"Alyn ..."
Alyn, orang yang sering sekali bertemu dengan Genta beberapa hari ini. Setelah membantu Alyn waktu itu, mereka sering bertemu. Entah di sekolah maupun di luar sekolah.
"Bibir Lo kenapa?" Tanya Genta ketika melihat ada bekas luka di bibir Alyn.
Cewek itu menggelengkan kepalanya, mengalihkan pandangannya dari Genta yang meminta jawaban. Alyn membuka permen vitamin C yang biasanya dijual di apotik dan memakannya. Genta mendudukkan dirinya di samping Alyn, tidak lagi bertanya apapun. Matanya hanya fokus kepada beberapa luka yang terlihat di lengan cewek itu.
"Ini kenapa?" Tanya Genta yang mengarahkan tangannya ke leher Alyn yang terlihat lebam.
Alyn menghempas tangan Genta dan menutupi lebam di lehernya dengan rambut. Cewek itu tidak menatapnya sama sekali. Namun Genta bisa merasakan jika tubuh Alyn bergetar, terlihat dari tangannya yang bergerak gelisah.
"Alyn ... Lo enggak papa?" Kali ini Genta memegang pundak cewek itu.
Alyn terdiam, namun isakannya terdengar. Genta menarik tangannya karena menganggap Alyn terganggu olehnya. Cowok itu hendak berdiri karena merasa bersalah.
"Oke, sorry, gue enggak akan tanya lagi. Gue pergi ya, jangan nangis." Ucap Genta bingung, selama ini Genta tidak pernah menghadapi cewek yang menangis. Mana mungkin dia tahu caranya menenangkan.
Alyn menoleh ke arah Genta yang hendak pergi, "Jangan pergi ... Jangan tinggalin aku!" Mohon Alyn tiba-tiba karena melihat Genta akan menaiki motornya.
Genta menatap wajah cewek itu, pipinya basah. Genta mendekat lalu berdiri tepat di depan cewek itu. Entah mendapat keberanian dari mana, namun Alyn memeluknya. Alyn mengalungkan tangannya ke pinggang Genta. Alyn meletakkan kepalanya di perut Genta dan menghirup aroma mint itu dalam-dalam.
Genta kaget, benar-benar kaget. Dia tidak pernah berpelukan dengan seorang cewek. Bahkan jantungnya berdetak lebih cepat ketika Alyn benar-benar memeluknya dengan kedua lengan yang melingkar di pinggangnya. Walaupun dengan posisi sedang duduk dan Genta yang sedang berdiri.
Alyn melepaskan pelukannya, sudah sedikit merasa baikan ketika bisa mendapatkan tempat sandaran yang nyaman.
Genta mengelus kepala Alyn, hal yang tidak pernah Alyn dapatkan dari siapapun. Cewek itu mendongak, menikmati wajah tampan itu dari bawah.
"Sekarang mau jalan?" Tanya Genta mengulangi pertanyaannya ketika di sekolah.
Alyn mengangguk ragu, "Boleh enggak kalau aku meluk kamu, sekali lagi!" Tanya Alyn sebelum Genta menaiki motornya.
Genta mengerutkan keningnya lalu mengangguk. Cowok itu menaiki motornya, "Yuk naik, Lo bisa meluk gue sepanjang perjalanan. Yang paling penting jangan nangis, gue enggak mau ingus Lo nempel di seragam sekolah gue." Jawab Genta dengan wajah meledek.
Alyn memasang wajah kesal, namun cewek itu tetap menaiki motor Genta dan dengan ragu melingkarkan kedua tangannya di pinggang cowok itu. Alyn bisa merasakan dengan jelas, tidak ada lemak yang terasa ketika menyentuh tubuh cowok itu. Hanya ada otot yang terbentuk dibalik seragam SMA-nya.
"Kenapa sih, setiap gue jalan sama Lo, gue selalu pakai seragam sekolah. Lain kali, Lo harus mau jalan sama gue pas weekend. Setidaknya gue enggak akan pakai seragam." Ucap Genta yang mulai menstater motornya.
"Kita mau kemana?" Tanya Alyn sebelum mereka benar-benar berangkat.
Genta sedikit berpikir, "Lo pernah nonton balapan liar?"
###