3. MENDEKAT

1956 Words
Jika tahu apa yang Alyn butuhkan, mungkin Genta tidak akan pernah bertanya apa yang dibutuhkan cewek itu. Tetapi melihat raut kebingungan yang terpancar di wajah Alyn, sudah membuat Genta tidak tega. Katanya ini hari pertama dan Alyn lupa tidak membawa pembalut di dalam tasnya. Untuk meminta kepada teman satu kelasnya, mana berani Alyn lakukan. Cewek itu tidak pernah berinteraksi dengan siapapun. Jangankan untuk meminta, sekedar bertanya saja Alyn tidak berani melakukannya. Semua orang memang antipati dan tidak ingin berdekatan dengannya. Melihat Alyn merubah penampilan yang berantakan menjadi sedikit rapi saja sudah menjadi buah bibir di kalangan siswa kelas XI IPA 1. Alyn tidak bisa memikirkan hal lainnya selain pergi dari kelas secepat mungkin agar tidak tembus. Apa yang akan teman-temannya katakan jika hal itu sampai terjadi. Genta menyodorkan bungkusan plastik hitam berisi pembalut yang Alyn minta. Cewek itu mengambilnya lalu menyodorkan uang sepuluh ribu kepada Genta. "Lo kira gue kurir antar barang yang dibayar sepuluh ribu," sindir Genta dengan menatap Alyn yang masih gelisah. "Oh, kurang ya?" Tanya Alyn lalu mengeluarkan uang sepuluh ribu lagi dari dalam saku baju seragamnya. "Alyn ... Gue bukan kurir dan gue enggak perlu duit Lo. Gue balik ke lapangan lagi sebelum Bu Sherly nyariin gue." Genta berlari ke lapangan setelah mengatakan itu. Alyn menatap kantung plastik yang berada di tangannya dan buru-buru masuk ke dalam kamar mandi. Dia tidak pernah menyangka jika seorang Genta akan membantunya. Tidak lama kemudian, Alyn keluar dari kamar mandi. Tatapannya jatuh pada Genta yang sedang duduk bersama dengan teman-temannya. Bahkan tidak hanya teman cowok, tapi ada beberapa cewek yang mengerumuni cowok itu. Seharusnya Alyn tidak harus heran dengan pemandangan itu. Genta adalah orang yang mudah akrab dengan siapapun. Cowok itu walaupun tidak berasal dari kelasnya sebagai cowok yang smart, dari tim olahraga yang keren, atau sering mengikuti lomba lainnya, Genta tetap saja terlihat menyenangkan. Karena apa? Karena cowok itu tidak pernah membeda-bedakan teman. Tidak sengaja Alyn berpapasan dengan cewek-cewek kelas dua belas yang tempo hari mengguyurnya dengan air karena terlihat bersama dengan Juan. Alyn menundukkan kepalanya, takut jika kejadian waktu itu terulang kembali. "Kita ketemu lagi, cewek penggoda!" Bisik salah satu cewek bernetra biru. Sayangnya itu bukan asli, hanya softlens penghias mata saja. Alyn diam, tidak menjawab apapun. Selalu saja begini, rasanya bergetar dan takut. "Ralyn ... Dipanggil Pak Anton!" Itu suara Tito, teman satu kelasnya yang merangkap ketua kelas di kelas XI IPA 1. Alyn mendongak lalu berjalan mendekati Tito. Cowok itu tersenyum ke arah cewek-cewek itu dan dibalas dengan senyuman. Mereka kenal, Tito pernah satu tim dengan cewek bernetra biru itu. "P-pak Anton mau ket—" belum selesai Alyn bicara, Tito sudah memotongnya. "Gue cuma disuruh Genta," Tito melirik ke arah Genta yang sudah menunjukkan kedua jempolnya. Alyn bisa melihat senyuman yang tergambar di wajah cowok itu. Ingin sekali Alyn berjalan ke arah cowok itu dan berterima kasih. Namun kakinya tetap berdiri diam. Pasti sangat menyenangkan memiliki teman laki-laki, seperti yang selalu Alyn lihat ketika orang lain memiliki sahabat laki-laki. Bisa bermanja-manja, pergi kemana saja sesuka hati, dan bercerita sepuasnya. "Gue mau nyamperin cowok kurang ajar itu, Lo mau ikut? Nanti sekalian bareng gue balik ke kelasnya," ucap Tito yang sedikit dingin. Alyn hanya mengangguk, tidak bisa menolak. Sudah pernah Alyn katakan, dia tidak pernah bisa menolak apa yang orang lain katakan kepadanya. Untunglah Tito bukan tipikal cowok yang sama seperti lainnya. Sikap Tito yang dingin juga tidak hanya tertuju kepadanya, itu memang pembawaan Tito walaupun sesekali Alyn melihat diri Tito yang lain ketika bersama dengan teman-temannya. Genta melambaikan tangannya, entah itu dimaksudkan kepada Alyn atau kepada Tito. Beberapa teman satu kelas Genta menatap Alyn tidak suka. "Tito ... Lo enggak sadar ya kalau diikuti sama makhluk Tuhan yang ngerasa paling seksi?" Sindir Indira, salah satu teman satu kelas Genta yang saat ini duduk di samping cowok itu. Tito menoleh, menatap Alyn yang semakin tidak nyaman bahkan merasa ketakutan. "Jangan gangguin gue, Dir. Sana Lo pergi aja, gue mau ngomong sama Genta. Jangan nempel terus sama sahabat gue," canda Tito untuk mengalihkan perhatian Indira kepada Alyn. Cewek itu mengerucutkan bibirnya lalu beranjak dari samping Genta, "Bilang aja Lo suka gue godain? Eh, Tito, gue mau dong diajarin biologi." Ucap Indira semangat. "Kalau biologi gue juga pintar, Dir. Mau gue ajarin kapan?" Sela Zidan dengan men-dribble bola basketnya ke arah kerumunan itu. Indira menoyor kepala Zidan dengan cukup keras, "Enggak mau gue! Biologi Lo terlalu tinggi." Ketus Indira lalu meninggalkan mereka di sana. Alyn masih menundukkan kepalanya, tidak berani melihat semua orang. Rasanya, perhatian orang-orang tertuju kepadanya. Mungkin karena Alyn bersama dengan Genta, Zidan, dan Tito. Zidan melemparkan bola basketnya kepada Genta dan ditangkap dengan mudah oleh cowok itu. "Lo, bingung nyari pembalut buat cewek ini?" Tanya Zidan yang mendapatkan pelototan dari Genta. Zidan menutup mulutnya rapat-rapat, memilih duduk di tempat duduk yang Genta gunakan tadinya. Tito hanya menyingkir dari hadapan Alyn dan membiarkan Genta mendekati cewek itu. Alyn bisa mencium aroma mint segar itu mendekat. Jantungnya ikut berpacu dengan cepat. Saat ini Alyn bisa melihat wajah itu dari dekat. Genta sedikit merendahkan tubuhnya dan melihat wajah Alyn dari bawah. "Hai ..." Alyn mendorong tubuh Genta agar menjauh darinya. Cewek itu langsung berjalan menjauh karena jantungnya tidak bisa dikendalikan lagi. Pipinya pasti sudah merona, hal yang tidak pernah Alyn rasakan sebelumnya. Tito dan Zidan hanya menggelengkan kepalanya heran. "Gobloknya natural memang! Ajarin tuh teman Lo gimana deketin cewek, bikin malu aja populasi pejantan." Ucap Tito kepada Zidan yang mendapatkan persetujuan dari cowok itu. Tito beranjak pergi, mengikuti Alyn yang sedikit berhati-hati ketika berjalan. "Mau kemana Lo?" Tanya Genta setengah berteriak. "Jadi bodyguard," jawab Tito sambil menunjuk ke arah Alyn dengan dagunya. Genta tersenyum riang, "Saranghae ... Hati-hati, Oppa." Ucap Genta yang ditanggapi Tito dengan mengacungkan jari tengahnya. "Kampret emang," ketus Genta melihat ekspresi sahabatnya itu. Zidan tertawa puas dengan apa yang dilakukan kedua sahabatnya. "Apaan itu tadi?" "Ngikutin apa yang ditulis Rere sama Lo," jawabnya santai. Zidan membulatkan kedua matanya setelah menyadari sesuatu. "b*****t, elo buka pesan gue sama Rere? Anjir, biadab banget sih Lo," teriak Zidan sambil memukul bahu Genta. Mereka berdua seperti anak kecil yang berlarian dengan saling memukul. Genta terus tertawa karena melihat emosi Zidan yang meluap karena pesannya dibaca oleh Genta. Hiburan untuk teman-teman mereka yang sedang istirahat di lapangan. ### Keadaan kantin cukup ramai dan dipadati oleh anak-anak yang sedang makan siang. Genta dan Zidan sudah duduk di tempat biasa, kali ini tanpa Tito karena cowok itu sedang ada bimbingan Olimpiadenya. Jika musim Olimpiade seperti ini, sulit berharap kepada Tito untuk meluangkan waktu. Mereka berdua sangat paham jika mendapatkan kemenangan dalam Olimpiade ini adalah segalanya bagi Tito. Semacam tiket agar bisa masuk perguruan tinggi yang diinginkan cowok itu, tentunya dengan beasiswa. Mereka bertiga saling mendukung satu sama lain. Tidak membedakan apapun diantara mereka. Semuanya memiliki kekurangan dan mereka tidak peduli dengan hal itu. Alyn berjalan ke kantin, untuk pertama kalinya cewek itu berani menginjakkan kaki ke kantin tanpa ada orang yang memaksanya atau memintanya. Cewek itu ingin melihat Genta, sulit sekali jujur kepada diri sendiri tentang keinginannya. Alyn selalu menolak perasaannya dan menganggap jika tidak ada peluang untuk bisa menjalin pertemanan dengan seorang Gentasena Danuarjhi. Bagaikan hal yang mustahil untuk dilakukan. Alyn tahu, semua orang menatapnya dengan raut berbeda-beda. Mungkin kebanyakan raut tidak suka karena melihatnya di sini. Cewek itu bisa melihat dua orang laki-laki yang tengah duduk berdua sambil tertawa. Genta begitu terlihat bahagia atau memang setiap hari cowok itu begitu. Baru kali ini Alyn ingin mendekati seseorang dan mengajaknya makan bersama mungkin. Karena hanya Genta yang menganggapnya benar-benar teman atau paling tidak kasihan. Baru beberapa langkah kakinya berjalan untuk mendekat ke arah meja Genta dan Zidan, seorang cewek sudah menduduki kursi yang berada tempat di tengah-tengah kedua cowok itu. Genta dan Zidan tampak tidak terganggu bahkan menatap cewek itu layaknya teman. Mungkin semua orang akan beranggapan sama, jika melihat orang sepertinya sudah pasti akan menunjukkan ketidaksukaan. Alyn memilih mundur dan pergi dari kantin. Padahal, Genta tidak akan menolaknya jika saja cewek itu datang. Sayangnya, Alyn tidak memiliki keberanian untuk bersaing dengan cewek di sana. "Gimana?" Ini Indira, teman satu kelas Genta dan Zidan. Cewek paling cantik di kelas mereka, salah satu anggota dari tim Cheerleader sekolah dan tentunya cukup dekat dengan Zidan karena cowok itu adalah ketua tim basket sekolah. "Susah," putus Genta setelah mendengarkan apa yang seringkali dicurhatkan Indira kepada mereka berdua. Indira menghela napas panjang lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Dia pernah cerita soal gue, enggak?" Tanya cewek itu lagi. Genta dan Zidan saling berpandangan lalu menggeleng secara bersamaan. Indira putus asa, rasanya menyiksa dan menyebalkan tentunya. Cewek itu mengaduk-aduk minumannya dengan kesal. "Dia suka sama cewek lain?" Tanya Indira menggebrak meja. "Buset, santai aja sih!" Ketus Zidan yang hampir saja menyemburkan minumannya. Indira hanya tertawa, melihat sekitarnya yang memperhatikan mereka lalu menebar senyum seperti biasa. Semua orang kembali dengan aktivitas masing-masing. "Tito itu enggak punya planning buat pacaran dalam waktu dekat. Enggak sempat lah dia ngurusin hal begituan karena terlalu fokus sama masa depan. Diantara kita bertiga, yang hampir enggak pernah ngomongin cewek, cuma Tito doang." Jelas Genta dan yang diangguki oleh Zidan. Indira mengangguk, memang benar jika Tito tidak peduli dengan hal demikian. Tetapi tetap saja ada yang mengganggu pikirannya. "Cewek penggoda itu?" Tanya Indira yang mendapat raut wajah bingung dari kedua cowok di sampingnya. "Ralyna!" Ketus Indira tidak suka menyebut nama cewek itu. Genta menaikkan sebelah alisnya, sedangkan Zidan tidak menjawab apapun. "Kok malah pada diam, sih? Jelasin dong sama gue kalau mereka enggak ada apa-apa," kesal Indira karena melihat kedua cowok itu diam saja. Zidan yang ditatap Indira hanya menampakkan cengiran, "Tanya sama yang bersangkutan!" Jawab Zidan yang mengarahkan dagunya kepada Genta. "Apaan, Gen?" Genta sedikit berpikir, "Intinya Tito enggak ada hubungan apapun sama cewek manapun termasuk elo 'kan. Kalau Lo mau Tito enggak ilfeel sama Lo, panggil nama orang yang benar. Tito itu paling enggak suka cewek yang menilai rendah orang lain." Indira menampakkan wajah serius lalu mengangguk. "Oh, jadi gitu! Gue enggak maksud sih ngomong gitu kemarin. Pantes aja 'kan dia enggak respon gue. Kalau gitu, makasih ya kalian berdua." Ucap Indira yang beranjak dari duduknya setelah mendapatkan pencerahan yang sebenarnya tidak secerah itu. Zidan menyenggol lengan Genta yang sedang tertawa. "Ngawur banget sih Lo, Nyet! Tito mana demen sama cewek, dia enggak pernah mau masukin daftar kisah percintaannya dalam planning hidupnya." Genta hanya mengangguk, "Kerjain dikit enggak papa dong! Namanya pelajaran hidup itu, mulutnya si Indira memang perlu mendapatkan pencerahan dari gue." "g****k!" Umpat Zidan yang hanya ditanggapi dengan tertawa. Mereka hanya tertawa sebelum Tito datang dan memakai kursi yang tadi diduduki oleh Indira. "Apa yang lucu?" Tanya Tito kepada keduanya. Genta beranjak dari duduknya, "Gue ada urusan! Bye, makan yang banyak kalian." Cowok itu sudah berlari keluar kantin sebelum Tito akan menghajarnya karena berkata yang tidak-tidak kepada Indira. Genta menyusuri koridor sekolah, menyapa beberapa orang yang dia kenal, atau disapa orang-orang yang mengenalnya. Cowok itu menatap sebuah kursi panjang di bawah pohon. Seorang cewek sedang duduk sendirian. "Hai ..." Satu kata yang selalu Genta ucapkan ketika bertemu dengan cewek itu, Alyn. Alyn menutup bekal makanannya dengan cepat. Buru-buru mengunyah makanan yang berada di mulutnya. "Uhukk ..." Genta berjalan mendekat dengan buru-buru, membantu membukakan botol minuman milik Alyn. Cewek itu langsung meminumnya dengan cepat. Alyn mengelap sudut bibirnya, malu sekali karena sudah melakukan hal bodoh seperti ini. "Kenapa buru-buru? Padahal gue enggak mau minta," ucap Genta lalu duduk di sebelah Alyn. Alyn mengalihkan pandangan matanya, "Ngapain kamu kesini? Bukannya kamu di kantin?" Alyn menutup mulutnya karena baru saja mengatakan hal yang seharusnya tidak dia katakan. Genta tersenyum, "Sejak kapan Lo perhatian sama gue?" Alyn beranjak dari duduknya, hendak pergi namun tangannya digenggam oleh cowok itu. "Lo ada waktu nggak nanti sore? Kita jalan-jalan yuk?" Ajak Genta. Cewek itu menggeleng, "Aku sibuk!" Genta menganggukkan kepalanya lalu melepaskan genggaman tangannya. "Kalau gitu lain kali," ucap Genta yang lebih dulu meninggalkan Alyn. Cowok itu melambaikan tangannya lalu berlari dan bergabung dengan kedua sahabatnya. Alyn tidak pernah tahu apa yang begitu sangat Genta inginkan. Tetapi cowok itu adalah cowok yang baik. ### 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD