2. AKU BUTUH ...

1976 Words
Ralyna Salavina Arin. Itu nama cewek yang berdiri di sebelah Genta. Cewek yang selalu diam meskipun Genta sudah bercerita panjang kali lebar tentang dirinya. Berusaha memperkenalkan diri agar cewek itu bisa melakukan hal yang sama. Hal itu sangat sulit, berbeda dengan beberapa orang yang ditemuinya. Alyn jarang merespon omongannya. Jarang tersenyum dan sering sekali menunduk. Entah mengapa Genta membawa Alyn bersamanya malam ini. Membawa cewek itu jalan-jalan dan menikmati suasana kota dari atas bukit. Tempat yang biasanya dikunjungi sendirian, untuk malam ini tidak. Alyn sesekali melirik ke arah Genta, namun tidak lama. Hanya sebentar karena takut Genta menyadarinya. Alyn tidak biasa bicara dengan orang lain. Apalagi lawan jenis seperti ini. Genta bahkan terlihat seperti cowok baik-baik, yang menyelamatkannya dua kali. Pertama, di kantin ketika Juan melecehkannya. Kedua, ketika bajunya basah kuyup karena kakak kelas mereka. Bahkan rasanya sulit untuk mengatakan terima kasih walaupun hal itu mudah untuk dilakukan. Genta menyodorkan kotak s**u cokelat yang dibelinya tadi kepada Alyn. "Minum aja, gue beli dua! Oh iya, orang tua Lo marah enggak kalau Lo pulang agak telat?" Tanya Genta yang sebenarnya terlambat. Alyn mendongak, bertatapan dengan Genta adalah hal yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Tentu saja Alyn tahu siapa Genta, cowok yang sering diceritakan beberapa orang karena memiliki selera humor yang tinggi atau versi guru-guru tentang betapa bandelnya anak itu karena sering tidur pada jam pelajaran. Jika dilihat dari dekat pun, wajahnya tetap bersih. Matanya sedikit cokelat dengan sebuah lesung pipi di pipi kirinya. Bukankah Alyn adalah pemerhati yang hebat? "Alyn ... Gue emang ganteng kok, kalau Lo mau ngomong gitu. Lagian semua orang udah tahu kalau Genta memang ganteng!" Ucapnya dengan kepedeannya yang tinggi. Alyn mengalihkan pandangan matanya, wajahnya memanas karena malu. Seumur hidupnya, baru ada orang yang benar-benar melihatnya sebagai manusia. Mengajak bicara seperti teman sebaya. Alyn sedikit senang karena Genta tidak melihat dirinya seperti cowok-cowok lain sering melihatnya. "A-aku sudah tidak punya orang tua!" Jawab Alyn lirih, bahkan hampir tidak terdengar. Genta menoleh, karena Alyn menjawab pertanyaannya. Tidak lagi berteriak seperti beberapa jam yang lalu atau diam saja sepanjang perjalanan. "Gue juga cuma punya Ayah! Kalau ada waktu, nanti gue ajakin makan di restoran Ayah gue. Enak pokoknya!" Tawar Genta seperti kepada teman lamanya. Alyn diam saja. Baru pertama kali ada orang yang mengajaknya untuk pergi. Dengan Genta, semuanya adalah pertama kali. Cowok itu merubah sudut pandangnya secara keseluruhan. Ternyata masih ada orang baik di bumi. "Makasih," ucap Alyn lebih keras. Susah payah dia mengucapkan kata itu. Genta mengangguk seraya tersenyum. Setiap kali tersenyum, lesung pipi kirinya akan terbentuk. Sangat tampan dengan kedua bola mata yang begitu teduh ketika Alyn melihatnya. Genta menyodorkan kembali kotak s**u itu kepada Alyn. Kali ini Alyn tidak menolaknya. "Lyn ... Kalau Elo punya masalah atau ada orang yang gangguin Elo, Lo bisa ngomong sama gue. Jangan pernah menunjukkan sisi lemah Lo ke orang lain. Mereka sering memanfaatkan itu. Apapun yang terjadi antara Lo dan Juan gue enggak akan tanya atau soal kejadian tadi sore, gue bakal lupain." Ucap Genta dengan wajah serius. Alyn meremas jaket yang dipakainya. Sudah lama sekali ingin berbagi kisah dan kepedihannya kepada orang lain. Namun tidak bisa karena Alyn tidak pernah punya siapapun untuk diajak berbagi. Alyn mengingat dengan jelas apa yang sudah Juan lakukan kepadanya. Bahkan cowok-cowok yang sering mengajaknya pergi bersama hanya memanfaatkannya. Bukan karena dia mau, tapi karena dia terlalu takut untuk melawan. Genta mengeluarkan sebuah ikat rambut dari dalam saku seragam sekolahnya. "Nih, gue tadi beli ini buat Lo. Coba ikat rambut Lo, pasti lebih baik. Lo itu cantik, pintar karena masuk kelas XI IPA 1, Lo harusnya lebih giat belajar. Fokus sama pendidikan Lo itu penting banget, dan lupain semua masalah yang membuat Lo enggak nyaman. Astaga, gue udah mirip kaya orang bener aja!" Alyn menyembunyikan senyumnya karena melihat tingkah Genta yang lucu. Lalu dengan senang hati menerima ikat rambut yang Genta berikan kepadanya. Ikat rambut biasa, ada warna hitam, merah, dan kuning. Tidak seberapa untuk orang lain, namun sangat berarti untuk orang yang tidak pernah mendapat barang apapun dari orang lain. "Lo tinggal sama siapa?" Tanya Genta lagi. "Ab-ang," jawabnya sedikit sulit. Genta menganggukkan kepalanya, cowok itu beranjak dari duduknya. Membersihkan bekas makanan dan juga minuman mereka, memasukkan ke dalam plastik untuk dibawa pulang atau membuangnya ke tempat sampah nanti. Cowok itu menaiki motornya, lalu mengajak Alyn untuk segera pulang. Sudah pukul tujuh, Ayahnya pasti sudah menunggunya di rumah. Alyn hendak melepaskan jaket milik Genta namun ditahan oleh Genta. Cowok itu menggeleng dan menyuruh Alyn untuk memakainya kembali. Alyn hanya menurut, lalu duduk di boncengan motor cowok itu. Genta menstater motornya dan mereka melaju untuk pulang. Tidak banyak yang mereka bicarakan karena Alyn jarang menjawab. Tetapi hari ini begitu berarti untuknya. Orang-orang yang tidak memiliki teman sepertinya memang sangat senang ketika diajak bicara dengan orang lain. Bahkan orang itu sangat seru dan tidak memanfaatkan kelemahannya. Alyn sesekali mengarahkan Genta untuk menuju rumahnya. Tidak lama kemudian, mereka berhenti di sebuah rumah yang berada di pojok gang. Rumah yang cukup bagus namun sayang tidak terawat. Beberapa rumah di sebelah rumah Alyn juga tidak dihuni, cukup jauh dari pusat keramaian. "Mana handphone, Lo?" Tanya Genta kepada Alyn. Cewek itu mengambil handphone miliknya dari dalam tas dan memberikannya kepada Genta. Cowok itu langsung mengetikkan nomornya dan menyimpannya. "Itu nomor gue, kapanpun Lo butuh, Lo bisa hubungin gue. Nanti kalau sampai rumah, gue bakalan kabarin Elo. Sampai jumpa besok, Alyn. Gue balik ya!" Ucap Genta dengan mengedipkan sebelah matanya. Ingin sekali Alyn melambaikan tangannya layaknya seorang teman namun tubuhnya terlalu kaku dengan hal semacam itu. Tidak biasa rasanya untuk melakukan hal seperti itu. Genta melambaikan tangannya dengan riang. Seperti anak kecil yang begitu lucu. Bahkan Alyn diam-diam tersenyum melihat betapa lucunya wajah itu dari jauh. Alyn menunggu cowok itu pergi sebelum masuk ke dalam rumahnya. Mungkin, malam ini adalah malam yang menyenangkan untuknya. Ada Genta yang mengajaknya bicara dan mengajaknya berjalan bersama. Cowok itu begitu mudah akrab dan membuatnya nyaman. Tidak seperti cowok-cowok kebanyakan, Genta tipikal orang yang menghormati orang lain walaupun dengan gayanya yang cengengesan. Dia senang, senang sekali. ### "Gimana?" Tanya Zidan dari luar kelas XI IPS 2. Genta menggeleng dengan wajah bingung. "Lupa bawa," jawabnya singkat sambil menunjukkan isi tasnya yang berisi dua buku tulis saja. Zidan mengusap wajahnya kasar lalu melengos. Sudah beberapa kali Genta melupakan hari Selasa. Di mana jam pertama adalah pelajaran olahraga. Tanpa seragam olahraga, tidak boleh mengikuti jam pelajaran olahraga. Guru olahraga mereka galak dan tegas, tidak mentolerir segala macam alasan dari siswanya. Apalagi ini sudah minggu kedua Genta lupa membawa seragam olahraganya. "Lo tahu 'kan kalau guru baru itu enggak bakalan mengijinkan Elo ikut kelasnya tanpa seragam olahraga, Nyet! Kenapa pakai acara lupa segala sih?" Ketus Zidan galak. "Namanya juga lupa. Kalau lupa enggak ingat lah, gimana sih Lo! Bantuin dong, gimana?" Rengek Genta dengan menarik lengan Zidan seperti anak kecil. Zidan melengos, setiap membantu cowok di sampingnya itu, pasti akan ada kesialan yang terjadi. Benar saja, seorang perempuan dengan pakaian olahraga dan peluit di lehernya sudah berdiri di depan pintu dengan melipat kedua lengannya di d**a. "Bu Sherly?" Itu Sherly, guru olahraga baru di sekolah mereka. Lulusan dari universitas terbaik di kota mereka. Katanya, sudah beberapa kali mengikuti bela diri dalam ajang pekan olahraga Nasional dan pernah menjuarai cabang olahraga itu. Sayangnya, daripada menjadi atlit, perempuan itu lebih memilih menjadi seorang guru. "Mana seragammu?" Tanya Sherly kepada Genta yang masih memakai seragam putih abu-abu dengan dasi miring ke kanan. "Lu-pa," jawab Genta jujur dengan wajah memelas. Berharap guru perempuannya akan memberikan sedikit kemurahan hati kepadanya. Sherly menatap kedua muridnya dari atas sampai bawah. Sherly begitu mengenal keduanya, terutama Genta yang sedang memeluk tasnya. Anak itu sudah menjadi pembicaraan hangat setiap guru. Si tukang tidur, itu nama panggilannya di kantor guru. "Zidan, ke lapangan sekarang dan kamu Genta, ambil bola basket di ruangan olahraga." Ucap Sherly dengan wajah kesal. Tidak lama kemudian, Sherly berbalik dan meninggalkan keduanya. Genta dan Zidan bisa bernapas lega setelah Sherly meninggalkan mereka. Setelah itu Zidan berlari keluar untuk menuju ke lapangan, sedangkan Genta mengambil arah lain untuk ke ruangan olahraga. Tepatnya mengambil bola-bola basket. Cowok itu berjalan sambil bersiul dan bernyanyi sesuka hati. Tidak ada beban sama sekali walaupun harus mengambil bola itu di ruangan olahraga. Genta menoleh ke kanan di mana kelas XI IPA 1 sedang pelajaran. Entah itu pelajaran apa, Genta tidak terlalu peduli. Namun pandangan matanya jatuh kepada seorang cewek dengan kuncir kuda di pojok kelas. "Dia beneran cantik," celetuk Genta setelah melihat Alyn fokus dengan pelajaran dari luar ruangan. Tito memelototinya ketika berdiri terlalu lama di depan kelasnya. Mungkin cowok itu sedang berpikir keras mengapa Genta berada di depan kelasnya. Genta hanya berdada ria, tersenyum riang lalu kabur sebelum Tito keluar dan memukul kepalanya dengan buku olimpiadenya yang tebal itu. Genta masuk ke ruangan olahraga, mengambil jaring berisi bola basket yang lumayan banyak dan membawa ke lapangan basket. Teman-temannya sedang melakukan pemanasan yang dipimpin oleh Zidan tentunya. Cowok itu adalah andalan di tim olahraga sekolah. Mungkin, diantara mereka bertiga, hanya Genta yang tidak memiliki bakat apapun. Tito pintar dalam akademik khususnya saintek, Zidan selalu menjuarai lomba lari dan menjadi kapten tim basket. Mereka semua berbakat dan memiliki kesibukan, sedangkan Genta hanya menghabiskan waktunya dengan duduk-duduk santai tanpa tahu ingin melakukan apa dan menjadi apa di masa depan. Cowok itu meletakkan jaring berisi bola basket di depan Sherly yang sedang mencatat presensi siswa. Entah namanya akan masuk daftar atau tidak, yang jelas Genta sudah melakukan apa yang diminta guru olahraga tersebut. Zidan berlari ke arahnya, mengambil air mineral yang berada di dekat Genta. "Enggak capek, Lo?" Genta menoyor kepala Zidan ketika menanyakan hal bodoh seperti itu kepadanya. "Lo begoknya natural ternyata! Udah tahu gue capek pake acara nanya segala." Ketus Genta yang menyaut botol air mineral milik Zidan dan meminum sisanya. "Lo embat juga minum gue," ucap Zidan seraya mengambil bola basket dari jaringnya. "Mau kemana, Lo?" Tanya Genta ketika Zidan berjalan menjauh darinya. Zidan mengangkat bolanya, "main basket, lah! Begoknya natural emang." Balas Zidan yang sudah berlari ke lapangan sebelum Genta memasang kuda-kuda untuk memukulnya. Bosan, mungkin itu yang sedang Genta rasakan. Ketika teman-teman satu kelasnya sedang melakukan kegiatan olahraga, dia hanya bisa duduk di pinggir lapangan sambil menunggu mereka selesai bermain. Karena memungut bola dan mengembalikannya ke ruangan olahraga adalah tugasnya. Genta melihat cewek itu, cewek yang kemarin bersamanya. Alyn, apa yang dilakukan cewek itu? Genta menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan jika guru olahraganya sedang tidak berada di lapangan. Setelah aman, Genta berlari ke arah Alyn. Berdiri di depan cewek itu dengan tiba-tiba. "Hai ..." Sapanya dengan semangat. "Astaga, kamu bisa enggak sih muncul dengan cara yang normal? Kenapa kamu selalu ngagetin aku, sih?" Ketus Alyn seperti tidak nyaman. "Lo ... Enggak papa? Kenapa gerakan Lo aneh banget? Ada yang gangguin Elo?" Tanya Genta. "Enggak!" "Ada yang jahatin Lo?" "Enggak!" Genta mengangguk ketika Alyn sudah mulai terlihat kesal. Cewek itu diam, menutup mulutnya rapat-rapat dan menunduk kembali. Mungkin hanya kepada Genta, seorang Alyn bisa berteriak seenaknya. Bisa meluapkan apa yang tidak bisa diluapkan kepada orang lain. Bersama dengan Genta, Alyn bisa menjadi dirinya sendiri. Tidak merasa takut, tidak merasa terintimidasi, atau menganggap Genta adalah orang lain. "Kamu kelihatan berantakan," lirih Alyn ketika menatap penampilan Genta. Genta melihat dirinya sendiri lalu menganggukkan kepalanya. "Kalau Lo memperhatikan, penampilan gue enggak akan jadi fokus utama Lo. Karena sejak awal masuk, penampilan gue memang kaya gini." Alyn tidak pernah memperhatikan Genta, ralat, tidak pernah memperhatikan siapapun. Alyn lebih fokus bersembunyi dari semua orang ketika jam istirahat atau jam kosong. Dia ketakutan setiap ada orang yang mendekatinya. Terlalu sering di-bully, dilecehkan, atau diasingkan. "Lo butuh sesuatu? Lo bisa ngomong sama gue," tawar Genta kepada Alyn sekali lagi. Seperti ada yang tidak beres ketika melihat gerak-gerik Alyn yang bingung dan cemas. Jika memang bukan karena ancaman seperti Juan atau cewek-cewek bar-bar yang kemarin mengguyurnya dengan air, lalu apa? Alyn sesekali menatap Genta, bingung dengan apa yang ingin dikatakannya. Terlalu malu atau memang karena tidak punya pilihan. Alyn belum pernah minta bantuan siapapun. Jadi, lumayan sulit untuk meminta tolong kepada Genta. Namun hanya cowok itu yang tampak peduli padanya, bahkan bertanya apa yang bisa dirinya bantu. "Aku butuh pembalut," lirih Alyn seraya menunduk. ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD