Ganindra Juanda, cowok tinggi dan berkulit putih, idola cewek-cewek di SMA Garuda Sakti. Cowok kelas XII yang sedang menggandeng cewek pendiam bernama Alyn. Langkahnya terhenti begitu saja ketika teriakan yang keluar dari bibir cowok yang sedang duduk bersama dengan ketiga temannya. Juan, nama itu selalu bisa membuat cewek menjerit setiap kali dirinya keluar dari mobil. Pesonanya membuat semua cewek ingin sekali menjadi pacarnya.
Namun, Juan tidak ingin berurusan dengan seorang Gentasena. Cowok lucu dan selalu tertawa tetapi cukup berbahaya untuknya. Juan yakin, dibalik wajah cerianya, cowok itu memiliki sejuta rahasia yang akan sangat mencengangkan. Seperti cara berkelahinya. Juan juga penyuka seni bela diri dan pukulan Genta sangat cepat dan gesit. Cowok itu sudah terlatih namun tidak pernah ingin terlihat mampu.
Penghuni kantin tidak lagi fokus pada makanan mereka, tetapi pada sebuah tontonan gratis yang Genta suguhkan. Bukan apa-apa, mereka hanya kaget dengan pernyataan Genta tentang hubungannya dengan cewek berkulit pucat itu. Kebanyakan dari mereka tidak suka dengan Alyn. Si cewek kulit pucat yang aneh. Pendiam dan tidak pernah bersosialisasi dengan satupun orang di sekolah.
Tito menahan pundak Genta ketika melihat sahabatnya itu hendak berjalan mendekat kepada Juan.
"Jangan pakai emosi, sabar! Gue enggak pernah lihat Lo kaya gini. Ngomong Gen, jangan bikin gue sama Zidan khawatir." Bisik Tito yang berusaha meredakan amarah di mata Genta.
Juan menggenggam kembali tangan Alyn. Genta bisa melihat bagaimana Alyn ketakutan. Bahkan tangannya bergetar tidak karuan dan wajahnya menunduk. Apa orang lain tidak bisa melihat bagaimana kacaunya cewek itu?
"JANGAN SENTUH CEWEK GUE, b*****t!"
Kali ini Tito hanya bisa melihat bagaimana kemarahan seorang Gentasena yang terpancar dalam kedua bola matanya. Perlahan, orang-orang mulai menyadari jika Genta memang memiliki hubungan dengan Alyn. Apalagi melihat ekspresi kemarahan Genta yang luar biasa.
Cowok itu berjalan maju, tidak lagi menghiraukan Tito ataupun Zidan. Dia harus melindungi Alyn apapun alasannya. Cewek itu terlalu rapuh dan tidak berani melawan. Kadang Genta merasa gemas, mengapa Alyn sebodoh itu. Mengapa Alyn tidak pernah membela dirinya sendiri? Lalu mengapa tidak ada satupun orang yang membantunya ketika ketakutan?
Genta melepaskan genggaman tangan Juan dari tangan Alyn. Cewek itu menangis, Genta bisa merasakannya walaupun tanpa suara sama sekali. Beberapa kali Genta melihat Alyn menangis, bukan hal baru lagi jika cowok itu mengetahuinya.
"Gue udah peringatin Elo sebelumnya. Kenapa Lo masih berulah lagi? Gue udah bilang sama Lo, jangan pernah macam-macam sama gue. Kenapa Elo nekad?" Bisik Genta kepada Juan agar tidak ada yang tahu pembicaraan mereka.
Sekuat tenaga Genta menahan emosi yang memuncak di kepalanya, hanya agar mereka tidak terlibat kasus perkelahian seperti kemarin. Cowok itu juga tidak mau menyeret Alyn ke dalam masalah ini. Cewek itu pasti sedang banyak pikiran dan juga masalah, walaupun Genta tidak tahu apa. Yang jelas, Genta tidak mau menambahi daftar beban hidup cewek itu.
"Lo enggak tahu apa-apa soal dia, Gen. Elo bakalan kaget kalau tahu seperti apa seorang Ralyna. Gue cowok normal dan gue selalu sange setiap kali ngelihat dia. Apa itu salah?" Ucap Juan sepelan mungkin.
Genta mengepalkan tangannya kuat-kuat, "Sekali lagi Lo ngomong kaya gitu, gue enggak segan untuk hancurin rahang Lo. Apa yang Elo lakuin itu kelewatan," balas Genta dengan kesal.
Juan tersenyum sinis, "Lo dengar ini baik-baik, kalau Elo tahu kebenaran itu, mungkin Elo enggak segan untuk ninggalin dia. Cewek kaya gini itu enggak pantas dipacarin! Lo terlalu gampang dimanfaatin makanya dia ngerayu Lo dengan tampang melas. Harusnya kita bisa berteman baik, sayangnya Elo lebih milik cewek ini."
Genta masih menggenggam tangan Alyn yang berlindung dibalik tubuhnya. Jujur, Genta tidak paham apa yang sedang Juan katakan. Tetapi yang paling penting adalah segera membawa Alyn pergi dari kantin.
"Gue enggak peduli! Terserah Elo mau ngomong apa, gue sama sekali enggak peduli. Asal Lo tahu, sedikit aja Elo nyentuh cewek gue, gue enggak akan segan hajar Lo. Enggak peduli di sekolah atau diluar sekolah. Ingat ini di otak Lo, jangan pernah dekatin Alyn apapun alasannya." Tandas Genta lalu menarik Alyn untuk meninggalkan kantin.
Kantin tetap hening, tidak ada suara yang berasal dari murid SMA Garuda Sakti yang sedang makan atau saling bicara. Mereka memilih diam dan menatap Juan yang tampak tidak tenang. Cowok itu mengalihkan pandangannya kepada orang-orang dan memelototi mereka. Berusaha mengembalikan semua harga dirinya yang terampas begitu saja ketika seorang Gentasena melabraknya.
Zidan dan Tito saling pandang, tidak tahu harus melakukan apa. Setelah melihat kejadian hari ini, keduanya memang membutuhkan penjelasan. Namun memaksa Genta untuk menjelaskannya sekarang, juga bukan hal yang tepat.
Kedua cowok itu kembali duduk bersama dengan Indira yang sedari tadi hanya menyimak. Indira juga heran dengan perlakuan Genta terhadap Alyn.
Tidak hanya itu, kejadian tersebut langsung mencuri perhatian semua orang. Pertanyaan apakah Genta dan Alyn benar-benar pacaran itu adalah real? Ada yang merasa tidak suka dengan hubungan keduanya, namun ada juga yang beranggapan Genta yang periang cocok dengan Alyn yang pendiam.
"Gue enggak paham! Menurut Elo gimana, To? Elo yang paling pintar diantara kita, setidaknya kasih gue penjelasan dari apa yang gue lihat baru aja." Ucap Zidan yang kembali duduk di kursinya.
Indira menoleh ke arah Zidan yang tampak frustasi. "Elo enggak tahu kalau Genta pacaran sama Alyn?" Tanya cewek itu penasaran.
Zidan membungkam bibirnya karena Tito sudah memelototinya dengan cepat. Tito yakin, ada yang Genta belum ceritakan kepada mereka, jadi Tito tidak ingin berspekulasi tentang kejadian hari ini. Selama yang Genta lakukan tidak berbahaya, Tito masih bisa maklum.
"Kita tunggu perkembangan dari Genta aja. Kita juga harus support dia apapun keputusannya. Ya udah, kita lanjut makan aja! Biar masalah ini diurus Genta sendiri." Ucap Tito yang kembali membuka bukunya.
Indira merasa canggung berada di antara Zidan dan Tito. Suasana tidak terlalu nyaman jika tidak ada Genta yang mencairkannya.
Zidan buru-buru menyelesaikan makannya lalu beranjak, mengeluarkan dompetnya untuk membayar makanan mereka semuanya.
"Gue ke kelas dulu! Gue yang traktir makanannya, bye!" Pamit Zidan yang belum sempat diprotes oleh Tito.
Masalahnya, ada Indira disampingnya. Tito tidak biasa basa-basi dengan cewek. Apalagi, cewek disampingnya ini terkenal menyukainya.
"Hm ... Kita jadi berdua." Lirihnya kikuk.
"Lo mau makan?" Tanya Tito kepada Indira.
Cewek itu langsung menggeleng dengan cepat. "Bagus deh! Yuk, gue anterin ke kelas Lo."
Indira hanya melongo mendengar ajakan Tito. Namun akhirnya cewek itu mengangguk walaupun dengan terpaksa. Jika ada penghargaan orang paling tidak peka, maka Tito pasti masuk menjadi kandidatnya.
###
Tito dan Zidan baru saja masuk ke halaman sebuah rumah besar di mana seorang Gentasena tinggal. Mereka menyapa pak satpam lalu meminta ijin untuk masuk. Seperti biasa, semua pegawai di rumah cowok itu sudah mengenal keduanya. Maklum, hanya keduanya yang sering main. Entah mengerjakan tugas atau hanya bermain saja. Mereka sering menghabiskan waktu dengan bermain game.
Salah satu ruangan di rumah ini adalah ruangan khusus untuk bermain PlayStation. Batara yang membelinya karena memang suka dengan dunia game sejak dulu. Sayangnya, semua impiannya itu terwujud ketika dirinya sudah mulai dewasa. Paling tidak, Batara bisa bermain dengan Genta ketika luang atau Genta bisa mengajak teman-temannya.
Tito menaiki anak tangga terlebih dahulu, sedangkan Zidan mengikuti dari belakang dengan membawakan dua tas dalam pelukannya. Kedua cowok itu beranjak menuju kamar Genta, mengetuknya namun tidak ada respon sama sekali.
"Kemana sih dia? Dia bilang di rumah 'kan?" Tanya Tito kepada Zidan yang kesusahan membawa barang-barang di tangannya.
"Ya cek handphone, Tuan Tito yang terhormat. Lo buta kalau bawaan gue banyak banget." Sindir Zidan kepada Tito karena tidak membantunya sejak tadi.
Cowok berkacamata itu hanya acuh dan mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Mengecek pesan Genta di grup mereka.
"Di rumah katanya, masuk aja kali ya?" Tanya Tito meminta persetujuan dari Zidan.
Zidan mengangkat kedua bahunya, tidak tahu. "Kalau kita masuk terus dia lagi asik nonton bok—"
Ceklek.
Zidan melotot karena Tito langsung membuka kamar Genta sebelum dirinya selesai bicara. Cowok itu langsung masuk ke dalam kamar Genta yang tertata rapi. Ada suara air dari dalam kamar mandi. Berarti Genta sedang mandi.
"Anjir, capek banget gue!" Ucap Zidan yang meletakkan dua tas di atas tempat tidur Genta.
Tanpa ba-bi-bu, Zidan langsung merebahkan dirinya di kasur dan menikmati bagaimana nyamannya kamar sahabatnya itu. Diantara mereka, Genta memang paling kaya dan tentunya memiliki fasilitas yang luar biasa. Tetapi Genta tidak pernah sombong dengan kekayaan itu. Dia masih mau berteman dengan semua orang yang berada di bawahnya.
Tito melihat beberapa foto yang terpajang di kamar Genta. Foto mereka bertiga dalam segala momen. Waktu sangat cepat, mereka akan segera naik kelas XII dan pastinya mereka akan sulit bermain seperti saat ini. Akan ada pendalaman materi, latihan soal-soal, TO, dan masih banyak lagi kegiatan belajar yang akan membuat mereka kehilangan momen seru bersama.
Ada beberapa barang di kamar cowok itu, barang-barang sederhana yang Genta sukai. Cowok itu sering sekali menonton film action atau super hero luar negeri, begitu sederhana namun menyenangkan.
"Lama banget enggak sih? Atau jangan-jangan Genta—" ucap Zidan yang menggantungkan kalimatnya.
Tito melemparkan bantal ke arah Zidan agar menutup mulutnya.
"Pikiran Lo kapan jernihnya sih? Makanya pakai pureit, biar enggak kotor terus itu otak. Ah ... Paham gue, Lo kebanyakan nonton bokep, makanya otak Lo kerdil. Enggak bisa buat mikir 'kan?" Sindir Tito kepada Zidan yang masih duduk anteng di kasur Genta.
Zidan membulatkan matanya tidak percaya. "Masa iya? Terus gimana dong kalau otak gue kerdil? Bisa digedein lagi enggak? Nanti kalau otaknya kerdil, kepala gue jadi ikutan menyusut dong?"
Tito menghela napas panjang, "Begini nih kalau ngomong sama orang yang gobloknya natural."
Zidan menatap Tito tidak terima, sedangkan Tito hanya membuang muka. Percuma menjelaskan kepada orang seperti Zidan. Bukannya paham malah emosi. Percaya saja hal itu.
Tidak lama kemudian, seorang cowok dengan menggunakan handuk sebatas pinggang keluar dari kamar mandi sambil bernyanyi-nyanyi santai. Tidak sadar dengan kehadiran Zidan dan Tito yang saling menatap di atas kasur.
"Astaghfirullah ... Setan!" Teriak Genta begitu tahu ada dua sahabatnya yang berada di kamarnya.
"Setan, matamu!" Umpat Zidan galak. Sedangkan Tito masih diam saja sambil memakan kue kering di toples yang ada di atas meja belajar Genta.
Genta menyilangkan tangannya di d**a. "m***m Lo berdua. Masuk enggak ketuk pintu lagi."
"Elo aja yang budek!" Seru Tito berkomentar.
Genta menatap keduanya dengan tatapan menyelidik. "Hm, terus mau ngapain kesini?" Tanyanya dengan wajah tidak suka.
"Genta sayang, Elo nyuruh kita buat bawain tas ke rumah. Elo amnesia, pikun atau bolot?" Ketus Zidan yang mengundang tawa dari Genta. Dia baru ingat jika menyuruh kedua sahabatnya itu untuk mengantarkan tasnya dan Alyn yang sengaja dia tinggalkan.
Genta membuka lemarinya, menarik kaos hitam polos dan memakainya. Tito memalingkan wajahnya, dia tidak akan senekad Zidan yang melihat Genta ganti baju secara live di depan mata mereka. Walaupun dia laki-laki, tapi tetap saja Tito masih memiliki kewarasan yang Alhamdulillah penuh.
"Anjir, celana dalam aja ber-merk. Sultan mah beda ya," ucap Zidan yang menarik perhatian Tito. Cowok itu langsung menoyor kepala Zidan dengan keras.
Genta tidak menggubris, tetap fokus dengan kegiatan ganti bajunya. Lalu setelah selesai, cowok itu kembali membuka lemarinya, mengeluarkan dua kotak kecil dari sana.
"Buat Lo berdua!" Ucap Genta memberikan kotak itu satu-satu kepada Tito dan Zidan.
"Gila ... Lo dapat dari mana? Akhirnya bisa ngerasain celana dalam mahal dan ber-merk kayak gini." Senang Zidan mengangkat kotak berisi celana dalam mahal yang diberikan Genta.
"Makasih Gen," ucap Tito dengan kikuk. Bingung mungkin akan berekspresi seperti apa.
Genta mengangguk, "Itu Ayah yang beliin. Sebenarnya gue mau ngasih dari kemarin-kemarin, tapi enggak mungkin 'kan kalau gue bawa ke sekolah. Itu oleh-oleh buat kalian katanya. Biar kita bertiga bisa samaan."
Zidan tampak senang dengan pemberian Genta. Sedangkan Tito cenderung merasa lucu. Batara selalu membelikan mereka bertiga apapun yang Genta pakai. Kadangkala kaos, celana, dan sekarang celana dalam. Bapak-bapak gaul memang beda.
Tiba-tiba handphone Zidan berbunyi nyaring. Cowok itu melihat nama yang terpampang di layar.
"Mampus, gue lupa jemput Rere. Perang dunia deh ini. Guys, sorry banget gue harus cabut duluan. Tas Lo sama Alyn ini ya, Gen. Makasih banyak oleh-olehnya nanti gue PAP setelah mandi." Ucap Zidan sambil membereskan barang-barangnya.
"NGGAK USAH!" teriak Genta dan Tito secara bersamaan.
Zidan menoleh sebentar lalu kembali fokus membereskan tasnya. Cowok itu langsung keluar dari kamar Genta dengan terburu-buru karena takut pacarnya akan marah. Tinggallah Genta dan Tito yang hanya saling tatap.
"Kira-kira, dia bakal beneran PAP dikasih ke kita enggak, ya?" Tanya Tito khawatir.
Genta menghela napas panjang lalu menggeleng, "Enggak ngerti gue, enggak paham!"
###