Part 2

952 Words
Waktu pukul 5 pagi, udara masih terasa dingin membekukan, suasana pun masih terlihat gelap. Tetapi keadaan ini sudah terbiasa bagi Jenar. Ia tengah mempersiapkan alat-alat kerjanya. Memakai baju tebal, penutup kepala, sepatu boots dan punggung yang membawa penampung daun teh berukuran cukup besar. Dengan tubuh pendeknya dia mendaki gunung untuk sampai di perkebunan teh dengan perlengkapan yang cukup berat di tubuhnya. Butuh 15 menit untuk sampai di perkebunan. Setelah ia sampai di sana Jenar mulai pada pekerjaanya. Memetik pucuk teh dan menampungnya di tempat yang ia gendong di bagian punggung. "Jenar, rajin sekali sudah datang pagi-pagi nduk?" Kemudian suara seseorang terdengar menyapanya. Jenar menoleh tersenyum kecil ketika mendapati wanita tua tengah berdiri di sampingnya bersiap bekerja seperti dirinya. "Iya Mbok, Jenar suka semangat kalau pagi. Kalau terlalu siang suka lemas bawaannya." Kulit mengerutnya terlihat sekali. Jenar sebenarnya tidak tega melihat wanita tua seperti Mbok Pinem bekerja banting tulang di bawah terik sinar matahari tetapi sekali lagi. Seluruh keluarga di kampung ini memang hanya bisa menggantungkan hidupnya pada perkebunan teh ini. Meskipun Tuan Handoko pemilik perkebunan ini sangat baik hati pada semua pegawai. Beliau tidak terlalu memeras keringat para wanita tua. Bahkan dari kebaikannya mereka kadang bisa mendapatkan makanan gratis. Seperti beras, mie instan dan telur. "Kamu jangan diet lagi nduk. Kita kerjanya kan berat. Kalau kamu nahan lapar simbok takut kamu pingsan lagi. Kalau sudah jodoh ndak peduli fisik. Pasti jodohmu akan menerima kamu apa adanya." Jenar hanya bisa tersenyum. "Iya Mbok. Sekarang Jenar udah pasrah. Ndak mau diet lagi. Jika pun ndak ada yang suka, Jenar ikhlas hidup sendiri Mbok." "Hush jangan ngomong gitu. Semua mahkluk hidup diciptakan berpasang-pasangan. Ndak terkecuali kamu. Tetap percaya pada Allah nduk. Mungkin jodohmu memang belum saatnya. Jika sudah saatnya pasti datang." Anggukan Jenar terlihat sebagai jawaban. "Iya Mbok. Jenar pasrah. Yang terpenting sekarang Jenar bisa bantu Pakde buat makan sehari-hari." Mbok Pinem tersenyum mengangguk mendengar ucapan Jenar. Mereka kembali fokus pada pekerjaanya. Matahari pun mulai terlihat naik ke permukaan. Sedangkan di beberapa bagian lain ada pekerja ibu-ibu yang lain. Lebih tepatnya segerombolan ibu-ibu itu tengah bekerja memetik teh sambil bergosip ria. Seperti sekarang. Jenar bisa mendengar para ibu-ibu itu tengah menggosipkannya karena lelaki semalam tidak jadi melamarnya. Meskipun sakit Jenar tetap mencoba bertahan toh di sini masih ada Mbok Pinem yang tidak menghinanya seperti mereka. Detik selanjutnya mulut-mulut penggosip itu terdiam ketika terdengar suara beberapa orang berdatangan. Jenar ikut melihat keadaan di depan sana. Dan tatapannya tertegun melihat 3 orang lelaki lebih tepatnya satu lelaki yang ada di barisan paling depan tengah serius memperhatikan beberapa daun teh. "Heh itu pasti Mas Agam cucunya Tuan Handoko." "Yang punya perusahaan minuman di kota itu toh. Wah ternyata sangat tampan. Dan tubuhnya putih tinggi lagi. Pasti jadi incaran banyak gadis di kampung ini." Jenar mendengar kembali pembicaraan ibu-ibu yang ada di barisan belakangnya. Jenar masih memperhatikan lelaki itu. Yang sama sekali tidak melirik ke arahnya. Tetapi dari sini Jenar bisa melihat bahwa lelaki di depannya ini memang sangat sempurna. Berbadan tinggi tegap, berkulit putih, hidung mancung dengan garis rahang yang tegas dan satu lagi, bibirnya yang terlihat penuh menambah ketampanannya. Jenar langsung menunduk, dia tidak boleh seperti ini. Jika tahu Jenar menatapnya, lelaki itu pasti akan jijik padanya. "Kebetulan katanya dia sengaja ada di sini karena permintaan Tuan Handoko beliau berniat menjodohkan Mas Agam dengan Indah putrinya Pak Sukardi." "Wah jika seperti itu mereka serasi sama cantik dan ganteng. Terlebih Indah bunga desa juga kan di sini. Wanita tercantik yang digilai banyak pria. Ndak seperti Jenar. Banyak pria yang datang ke rumahnya tapi kabur lagi karena ndak mau punya istri jelek." Jenar semakin menundukan kepalanya. Lagi-lagi ia yang disinggung kembali. Jenar sudah terbiasa mendengar hal menyakitkan ini. "Sudah jangan menggosip terus. Itu ada Tuan Handoko kalian ndak takut di pecat!" Lalu para ibu-ibu itu mencibir parah saat Mbok Pinem menginterupsi kegiatan mereka. Berhasil membuat mulut pedas mereka bungkam tanpa kata. *** "Gimana kamu sama Indah? Apa kalian cocok?" Agam menghembuskan napas saat pertanyaan itu keluar dari mulut kakeknya. Sebenarnya tidak sedikit pun ia ada niat untuk datang ke desa ini. Karena Agam tahu kakeknya pasti tengah merencanakan hal lain dengan menjodohkan ia pada beberapa gadis di desa ini dan itu benar. Saat tiba-tiba ia di suruh ikut untuk menghadiri jamuan makan di keluarga temannya. Agam sudah mengerti ia sedang di jodohkan kembali dengan wanita yang sangat tidak ia inginkan. "Tidak cocok sama sekali. Indah bukan tipeku." Tuan Handoko terlihat tidak menyukai jawaban Agam. "Tidak cocok gimana? Selera kamu seperti Indah kan? Cantik, langsing berkulit putih. Seperti wanita itu." Agam melirik kakeknya dengan tajam. "Indah tidak seperti Meisya!" Helaan napas Tuan Handoko terdengar. "Kamu tidak berniat membunuh kakek kan? Setelah kamu membiarkan ibumu mati karena perbuatanmu dengan memilih wanita itu apa semuanya bisa membuatmu bahagia?" Tidak ada jawaban Agam bungkam ketika kakeknya sudah menyinggung kematian ibunya. "Meisya itu anak tiri ayahmu. Ibu wanita itu merebut ayahmu dari Laras ibumu sampai dia sekarat dan mati. Dengan teganya kamu malah mencintai wanita yang sudah menghancurkan keluarga kita?" "Kek, tapi Meisya tidak salah." "Meskipun tidak salah dia tetap keturunan wanita pelakor itu. Sampai kapanpun kakek tidak akan pernah setuju jika kamu menikahi Meisya." Agam menghela napas. Ia tidak suka berdebat dengan kakeknya seperti ini. "Sekarang, kamu pilih menikah dengan Indah atau cari wanita lain untuk dinikahi tetapi kakek tidak akan pernah setuju kamu menikahi Mesya. Jika kamu tetap menjalin hubungan dengan perempuan itu. Bisa kamu bayangkan apa yang akan aku lakukan pada wanita sialan seperti mereka. Aku akan membuat mereka berakhir seperti putriku!" ancamnya. Dengan wajah mengeras Tuan Handoko meninggalkan Agam yang terdiam di tempat. Tangan lelaki itu mengepal saat mendengar ancaman yang dilontarkan kakeknya. Tidak! Sedikitpun kakeknya tidak boleh melakukan hal mengerikan pada Meisya. Agam tidak akan membiarkan itu terjadi. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD