Signal

1547 Words
“Ra, besok ada waktu ga?” tanya Dita suatu siang pada Ara. “Kenapa?.” “Kangen cilok kampus. Tadi aku nyari dia lagi ga jualan.” “Halah kangen kok cilok, kangen abang ciloknya ya?.” “Ssssstttt, di loss aja nih mulutnya.” “Lah abisan besok ga ada jam kok ngajakin ngampus beli cilok pula.” “Tau ga sih, abang cilok itu punya banyak cabang loh. Dia tuh lagi nyamar aja jual cilok padahal kaya loh.” “Hmmmm.” “Terus nih ya, dia bilang kalo dia punya rumah gedong di perum sana.” “Hmmmm.” “Hape dia iphone loh.” “Uhuk uhuk.” “Mampus keselekan kamu. Dari tadi orang cerita di hmm hmm aja.” “Seriusan hapenya iphone?.” “Kesengsem deh nih.” “Engga kok, heran aja.” “Kenapa?.” “Kok kamu percaya.” “Seriusan loh hapenya iphone.” “iya udah pepet aja sana.” “Woi berdua aja ga ngajak – ngajak.” Fira tiba – tiba datang dan duduk di depan mereka. “Dita nih main seret aja tadi.” “Hehe laper aku tuh fir, makanya cepet – cepet. Kamu pesen deh, aku traktir jangan ngambek” “Bang mie ayam dobel ya, sama pentolnya 3, terus mie pangsitnya 2 plus bakso masing – masing 3 juga.” Ucap fira. “Heh kok banyak banget?.” “Sekalian Loli sama Nesa juga. Mereka nyusul abis ini.” Dita cuma bisa ngelus d**a. Ara ngikik sendiri, sedangkan fira mulai mencomot kacang di toples. Setelah makan mereka balik lagi ke basecamp, masih ada hal yang harus dibahas dan dikerjakan untuk acara olimpiade matematika minggu depan. Soal – soal sudah diamankan, id card sudah dicetak, sertifikat sudah disiapkan. Tinggal konsumsi dan perencanaan acara yang mesti di fix kan siapa saja pengisi dan penanggungjawabnya. Lelah memang, tapi sudah tugas mereka. Pernah suatu malam masih dalam situasi rapat, salah seorang kakak tingkat Ara mendapat telepon dari ortunya. “Jar pulang.” Kata ayahnya. “Sebentar lagi yah, masih rapat.” “Jam segini masih rapat, rapat gendeng apa? Pulang sekarang, kalau ga mau tidur di teras.” Tut.  Telepon dimatikan. Fajar meringis, dia malu sebenarnya mau meminta izin buat pulang duluan karena dia juga panitia inti. Tapi daripada kena terkam macan dirumah mending dia malu deh izin pulang. “Kenapa jar?.” Tanya ketua HMJ. “Bapak, nyuruh pulang. Balik dulu ya. Sebelum negara api menyerang nih.” “Ahahahaha balik dah sono. Emang Aang kemana kok ga melindungi negaranya yang mau diserang negara api?.” Ngakaklah sudah seruangan basecamp. Malam itu sunyi. Ara mulai menguap sesekali. “Bang. Beli ciloknya 5 ribu.” Ucap Ara “Siap bos.” “Bang.” Bisik Ara. “Apa bisik – bisik?.” “Kamu mepetin temen aku ya? Aku bilangin Ibu Ratu mampus kamu bang.” “Temennu yang mana?.” “Malah nanya yang mana, emang banyak cewek yang abang godain ya.” “Engga, mereka aja yang tersepona melihat ketampananku.” “Terpesona. Tampan dari hongkong!.” “Temenmu yang mana sih ra?.” “Si Dita.” “Oh biang gosip.” “Jahat amat sih, ya walaupun emang bener sih.” “Ya abisan dia kepo nanya – nanya mulu. Sekalian deh abang pamerin hape abang. Ahahaha.” “Katanya mau nyamar, tapi malah buka identitas.” “Halah siapa sih yang mau percaya Dita, biang gosip.” “Jangan kejem gitu ih, kan temen aku dia.” “Ya kamu jangan bilang sama dia, pokoknya diem aja. Pura – pura ga kenal. Soal hape santai aja, nih aku bawa ini.” “Ahahahaha pinter juga nih. Mana ciloknya. Gratis ya. Dah.” Ara pun berlalu. Hans, Hans Adiputera. Konglomerat tajir melintir, pemilik bakso urat 68 yang punya banyak cabang. Menyamar menjadi tukang cilok untuk mencari wanita yang tak memandangnya lewat harta. Dia adalah sepupu Ara yang selama ini tinggal di Palangkaraya. Sekarang sedang membuka cabang bakso di kota tempat Ara tinggal. Sekalian mencari jodoh katanya. Ibu Ratu alias Ibu hans tidak setuju kalau Hans mencari wanita yang tidak selevel. Tapi Hans tidak bergeming, dia berpendapat bahwa dia yang mengambil keputusan atas hidupnya sendiri. Hans hidup nge kost, makan seadanya, tidur dimana aja pules. Kalau kata orang tuh “merakyat”. Suatu sore Hans tiba – tiba datang ke rumah Ara tanpa ada telpon atau sms sebelumnya. Ibu Ara bingung, apalagi ayah Ara yang baru pulang perdin (perjalanan dinas) ke malaysia. Ara ngomel panjang lebar ke Hans, tapi nihil. Hans tetep kekeh ga mau pulang. Pada ahirnya Hans menceritakan semua permasalahannya dengan Ibu Ratu. Mau tidak mau Ara harus membantu kakaknya itu. Karena dari kecil mereka selalu kompak dalam segala hal. Maka hal satu ini pun Ara harus mau membantunya. Dengan dalih membuka cabang bakso urat, dia juga mencari jodoh disini. Sambil menyelam sambil liat ikan katanya. Maka Ara pun mencarikan Hans kost, dan Hans pun menjadi tukang cilok sebagai penyamarannya. Ara kira penyamaran hanya ada di novel, eh kakaknya ternyata melakukan itu. Tak ada yang tak mungkin. Selama nafas berhembus, kehidupan memaksa kita beradaptasi dengan segala kondisi. Semesta punya caranya sendiri, maka kita pun harus siap menghadapi. Tuing. Ara segera membuka hapenya. Dia memang sudah menanti notifikasi itu. Senyum pun menguar diwajahnya. “Hai. Masih inget aku?.” Read. Kok bukan dia sih, malah orang ga jelas ini yang chat. Ucap Ara dalam hatinya. Dia pun segera menaruh hapenya di tas. Tuing. Ara mengabaikan notifikasi itu. “Ah palingan orang tadi. Males.” Batinnya. 3 jam kemudian. Ara yang gabut ahirnya membuka hapenya lagi. Sambil rebahan dan ngemil taro seweed kesukaannya. Dia membuka notifikasi itu dan ternyata yang chat adalah seseakun yang dia rindukan. Deg. Seseakun itu sudah off. Ambyar sudah binar Ara. Orang yang dinanti – nanti kabarnya sudah off. Gara – gara orang aneh itu, kan aku jadi ga bisa chat sama dia. Rutuk Ara dalam hatinya. “Hai pesek. Eh sayang. Hahahahaha.” “Wah lagi sibuk ya?.” “Nanti aku chat lagi deh.” “Maaf tadi sibuk.” Balas Ara. Ya tentu saja tak terbalas, dia sudah off. Ara kadang berpikir, kenapa dia jarang on ya. Dan kalopun on kok bentar banget. Apa dia tinggal dipelosok yang susah signal. Karena chat yang tak kunjung terbalas, Ara pun meletakan hapenya lagi. Mengemas sisa camilan dan menaruhnya di nakas dekat tempat tidurnya. Jam 7, saatnya mendengarkan radio. Hari kamis begini emang cocok dengerin radio cerita horor. Padahal penakut, tapi suka cerita horor. Alhasil kalau kebelet dia suka bangunin kakaknya buat ditemenin melek. Padahal kamar mandi ada tepat diantara kamar dia dan kakaknya, tapi tetep aja cemen. “Pendengar tercinta, bagaimana malam jumat kalian? Apakah seram seperti gedung kosong? Atau hati kalian lebih seram karena dari dulu kosong tak ada yang mengisi?....” Ara menyimak cerita demi cerita, karena terlalu fokus dia tak sadar ada suara yang memanggil – manggil namanya. “Araaaaa.” “Araaaaa.” Bulu kuduk ara meremang, hawa dingin menyeruak seketika, dia bergidik ngeri. Tak dihiraukannya panggilan itu, dia pun menutup wajahnya dengan bantal dan menarik selimut hingga ujung kepalanya. Tiba – tiba dia merasakan ada gerakan mendekatinya, ada yang memegang kakinya. Dingin dan kuku – kukunya terasa tajam. Ara mematung, tak bersuara, dia menangis sambil menahan suara agar tak terdengar. Ingin teriak tapi tak kuat. Dia pasrah saja tangan itu memegang kakinya, sedetik kemudian selimut yang menutupi dirinya pun terbuka. Ara komat – kamit baca doa, “Jangan ganggu jangan ganggu aku gak ganggu kamu.” Ucapnya. “Heh Ara. Dipanggil dari tadi malah nyungsep dalem selimut. Ini Ibu.” Ara mengintip dibalik bantalnya. Lega. Ternyata itu ibunya. “Oh ibuk, hehe. Kirain siapa.” “Kirain hantu ya? Penakut kok dengerin cerita horor. Parno sendirikan ahirnya.” “Seru ceritanya bagus.” “Bagus tapi kalo penakut bagus darimananya. Ayo makan dulu.” “Siap bos.” Tak lupa Ara mengambil hapenya, dia tak ingin terlewat lagi saat seseakun itu chat dirinya. “Mbak wiwid kemana bu?” “Pergi sama temennya. Kenapa?.” “Gapapa.” “Mbak jangan lupa oleh – oleh ya. Terang bulan manis sepesial full toping.” Dia mengirim sms kepada kakaknya dan dibalas. “Dasar preman tukang palak.” “Palak tuh yang hantu biarawati itu ya?.” “Itu valak bege.” “Valak tuh buah, yang Nia Ramadhani ga bisa ngupas tuh.” “Itu salak bege.” “Salak tuh yang ga pernah bener ya.” “Itu salah bege.” “Salah tuh yang ditanami padi kan.” “Itu sawah bege.” “Sawah tuh yang, elah capek ah. Pokoknya jangan lupa oleh – oleh.” “Iye bawel.” Tuing. “Hai pesek, tadi sibuk apa? Eh gercep bener uda dibaca? Lagi nungguin aku ya?.” “Pede banget, aku lagi chat an sama kakakku weeee.” “Ooooo. Tadi sibuk apa?.” “Ngobrol aja sih sama temen.” “Jutek amat sih neng.” “Engga biasa aja.” “Oiya kita belum kenalan, nama aku luffi. Itu loh tokoh utama OP” “OP?” “One piece” “Oooooo. Uda tau juga, kan di sss kamu ada.” “Terus nama kamu siapa?” “Kan di sss aku juga uda jelas namanya.” “Tinggal jawab aja apa susahnya sih.” “Ara.” “Ara kok cantik sih?.” “Kalo ganteng cowok dong aku.” “Salah bukan gitu jawabnya.” “Terus?.” “Kalo ganteng itu kamu.” “Pede banget.” “Ya harus pede dong, kenyataan kok.” “Halah botak aja ganteng darimananya.” “Yaudah ntar kalo ketemu aku gondrogin.” “Sapa juga yang mau ketemu kamu.” “Kamulah.” “Ogah.” “Eh bentar ya, aku balik dulu. Ini kalo uda di tempat kerja kayanya bakal susah signal lagi. Jangan kangen ya.” “Emang kerja dimana sih?.” “Ciyeee penasaran.” “Ga bakal nanya lagi deh.” “Nanti juga bakal tau aku kerja dimana, atau mau nyari lagi di foto – fotoku?.” “Ogah. Nanti nemu tulisan ga jelas lagi.” “Ahahahahaha, aku yakin kamu bakal buka foto. Jadinya ya aku tulis aja pesan disana sekalian. Biar kamu ga rindu.” “Siapa juga yang rindu. Halah kepedean jadi orang.” “Kamulah. Buktinya kamu sudah lihat – lihat fotoku. Nanti pasti lihat lagi iya kan?” “Ogah.” “Yaudah aku aja yang rindu kamu.” Read. “Eyaaaaa senyum – senyum pasti nih. Aku balik dulu ya. Kalo kangen chat aja. Atau mau no telponku?” Read. “081234567890” “Halah itu kan cuma diurut aja.” “Ahahaha minta yang beneran nih? Aku tau nomer hapemu kok, ada di grup kan. Uda ku save ♥️.” Ara tak tau harus membalas apa, dia hanya senyum – senyum dengan binar yang sama seperti sebelumnya. Luffi, menghadirkan lagi binar dan senyum pada Ara. Seperti sihir, luka itu kian mengering dan terhempas angin. Tak ada lagi resah, apalagi gundah yang menyakitkan saat menanti kabar tak pasti. Ara tau, Luffi mungkin bisa membuatnya bahagia sekarang. Tapi Ara tak lagi menaruh harap, tak menaruh keinginan apapun. Dia takut, sakit itu terulang. Apalagi dia baru saja mengenalnya, tapi Luffi membuatnya bisa begitu nyaman. Ara mulai penasaran, dia scrolling dinding akun Luffi. Mencari informasi, apapun itu. Tempat tinggalnya, kerjanya, kegiatannya dan segala hal yang dia posting di sss nya. “Hati – hati.” Ahirnya Ara membalas pesan terahir Luffi. Dengan senyum yang masih mengembang. Dia jatuh lagi, kali ini cinta itu bersemi lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD