Saksi Peristiwa

1761 Words
Empat belas bulan yang lalu saat pernikahan Lindsey dan Darrel baik-baik saja, Lindsey pernah terbangun seorang diri di ranjang. Malam telah larut. Saat itu hujan turun dengan kilat menyambar. Membuat kaca jendela menghasilkan suara-suara heboh. Lindsey menatap sisi ranjang yang kosong. Tak ada sosok yang ia cintai. Padahal tadi Darrel berada di sisinya sebelum ia memejamkan mata. Kini lelaki itu entah ada di mana. Beberapa kali Lindsey memanggil nama Darrel, hanya keheningan yang tersisa. Jawaban yang ada diwakilkan oleh suara hujan dan petir yang kian parah. Suasana semakin tegang dengan kilat yang kian hebat. Lindsey bukanlah seorang penakut, tetapi yang jelas kondisi ini membuatnya tak nyaman. Akhirnya, dengan terpaksa, dia turun dari ranjang untuk mencari suaminya. Terbangun tanpa Darrel benar-benar merupakan situasi yang sangat menyiksa. Apalagi sebelumnya mereka saling membagi malam dengan kenikmatan bersama. Ketidakhadiran Darrel membuat Lindsey merasa hampa. Jam sudah menunjukkan hampir dini hari. Mansion Darrel terasa kosong. Lampu-lampu telah dipadamkan di setiap ruangan. Para pelayan sudah sibuk dengan mimpinya masing-masing. Lindsey menyusuri lorong mansion seorang diri, mencari keberadaan Darrel dengan berpegang pada sinar remang-remang dari kilat yang menembus melalui jendela secara berkala. Suasana menjadi menegangkan. Lindsey menyusuri ruang demi ruang, memanggil nama Darrel berulang kali seperti tokoh utama dalam film horor. Suara panggilan yang diperuntukkan untuk Darrel kembali terpantul meghasilkan gema. Lindsey mulai meringis, merasa keberaniannya surut perlahan. Wanita itu tetap mencari Darrel hingga ke ruang belakang di lantai bawah. Saat dia mulai menyerah dan berniat kembali ke kamar, Lindsey mendengar ada suara ganjil di sekitar pondok belakang. Mansion ini memiliki tiga bangunan. Dua bangunan utama yang saling terhubung membentuk letter L, dan satu lagi, sebuah pondok kayu yang terletak di belakang bangunan utama. Jika bangunan utama berdesain kontemporer, pondok tersebut berdesain klasik dengan mengusung material dari kayu berkualitas tinggi. Lindsey ingat dia langsung jatuh cinta dengan pondok itu semenjak tiba di mansion ini. Pekerjaannya sebagai jurnalis dan novelis membuatnya hidup dengan sederhana. Kemewahan adalah sesuatu yang jauh darinya. Pondok kayu itu merupakan suatu perwujudan dari mimpinya yang dalam. Lindsey melangkah keluar dari bangunan utama ketika ia mendengar suara ganjil tersebut semakin jelas. Dia mengernyitkan kening, memikirkan kemungkinan Darrel berada di tempat itu. Pondok itu sebelumnya selalu tertutup dan jarang digunakan. Darrel beralasan sudah terlalu banyak ruangan di dalam mansion sehingga pondok itu tak terlalu berfungsi. Lindsey keluar dari bangunan utama dengan membawa payung hitam yang tersedia di ruang belakang. Dia bertekad mengecek keadaan dan berjalan di malam hari ditemani suara kilat yang menyambar-nyambar. Saat Lindsey mulai mendekat ke bagian depan pondok melalui jalan setapak, dia menangkap sebuah peristiwa besar. Darrel tengah berbincang dengan tiga anak buahnya. Lindsey familier dengan wajah mereka karena mereka selalu menemani suaminya setiap kali Darrel pergi ke luar kota. Sepertinya mereka tengah berbincang tentang topik yang serius. Dua anak buahnya menunduk ketakutan sementara seorang lagi terlihat berusaha menenangkan Darrel yang sedang marah. Lindsey berdiri lumayan jauh dari Darrel. Tetapi dia cukup mengenal Darrel sehingga hafal setiap gestur tubuh suaminya, termasuk ketegangan yang tengah Darrel alami saat ini. Yang jelas, Darrel sepertinya sedang marah. Sangat marah. Entah untuk alasan apa. Lindsey terkejut saat tiba-tiba kilat menyambar dengan kuat, memberikan kesempatan bagi wanita itu menatap sekilas sosok Darrel yang murka dari belakang. Lelaki itu masih berdiri di depan pondok dengan kondisi cuaca yang seekstrim ini. Lindsey berjalan mendekat dan berusaha memanggil Darrel. Malam telah larut. Masalah apa pun yang tengah Darrel hadapi bersama anak buahnya, lebih baik ditunda dulu dan dibicarakan keesokan harinya. Mana mungkin seseorang bisa berpikir waras di tengah malam dengan hujan petir yang menyambar-nyambar dan memekakkan telinga. Namun, panggilan Lindsey tak berbalas sedikit pun. Suara Lindsey ditenggelamkan oleh hujan musim gugur yang mulai menganak pinak. Langkah wanita itu semakin cepat. Dia hanya ingin segera memanggil suaminya untuk kembali ke kamar mereka. Lindsey jelas tak ingin pencariannya menghasilkan kesia-siaan. Saat mulut Lindsey kembali terbuka untuk meneriakkan nama Darrel, dia dihentikan oleh sebuah peristiwa mengejutkan. Dengan samar, Lindsey melihat Darrel menodongkan sebuah pistol ke anak buahnya. Saat Lindsey masih sibuk berusaha meyakinkan otaknya bahwa apa yang ia lihat memang senjata api, tiga tembakan telah Darrel layangkan ke arah kepala anak buahnya. Dua orang tersebut terjengkang ke belakang da terlihat mengejang beberapa kali sebelum akhirnya terkulai lemas tak berdaya. Lindsey tak bisa memastikan apakah luka mereka berdarah atau tidak, karena jaraknya masih cukup jauh. Satu orang yang tersisa terlihat terkejut oleh tindakan Darrel. Lelaki itu berbalik badan dan berlari melewati jalan setapak ke arah selatan menuju taman samping. Darrel mengarahkan pistolnya ke arah d**a anak buah yang tersisa dan memberinya tembakan tanpa suara. Dua peluru menembus d**a sang anak buah dari belakang. Lelaki itu tersentak untuk sepersekian detik sebelum akhirnya terkapar tak berdaya seperti dua teman sebelumnya. Hujan masih saja mengguyur dengan deras. Petir dan kilat menyambar-nyambar. Cahaya dari langit sesekali menyapa tanah Manhattan. Air telah menampar-nampar kedua kaki Lindsey, menembus melalui piyama yang ia kenakan. Takut dan syok. Itulah apa yang Lindsey rasakan. Dia mematung selama beberapa detik, mengolah informasi ke dalam otaknya dengan kecepatan luar biasa. Logikanya menolak apa yang ia lihat. Tetapi fakta di depannya adalah sebuah realita yang harus ia terima. Darrel telah membunuh ketiga anak buahnya dalam waktu sesaat. Lelaki itu dengan mudahnya mengambil nyawa orang lain. Lindsey bertaruh tiga orang tersebut akan berakhir mati karena titik yang Darrel tembak adalah titik vital. Tidak ada usaha untuk menolong mereka sama sekali. Itu artinya, perbuatan Darrel memang sebuah kesengajaan. Pistol yang digunakan Darrel adalah pistol yang berperedam suara. Empat tembakan yang ia lakukan terhadap ke tiga anak buahnya tidak menghasilkan bunyi ganjil sedikit pun. Jika pun masih ada suara yang masih tersisa, hujan dan kilat mampu meredamnya. Lindsey gemetar hebat. Kedua kakinya terasa kaku, berusaha tetap menopang tubuh. Tangannya yang memegang payung menjadi kebas, tak mampu merasakan apa pun lagi. Lindsey yakin wajahnya saat ini pasti pucat pasi. Dia hanya sanggup berdiri seperti patung pasif yang siap menunggu akhir tragis. Lindsey melihat Darrel mulai bergerak memeriksa tiga orang yang baru saja ia tembak. Lelaki itu masih membelakangi Lindsey dan belum menyadari keberadaan istrinya sendiri. Saat itulah akal sehat Lindsey mulai kembali dengan cepat. Lindsey harus segera pergi dan melarikan diri dari tempat ini. Dia adalah saksi pembunuhan. Seorang saksi biasanya akan dibungkam selamanya untuk menutup kemungkinan bocornya tindakan kriminal. Saat ini ia tak tahu apakah Darel sanggup bertindak sekejam itu pada dirnya. Terapi melihat tindakan Darrel yang sanggup membunuh orang lain begitu saja, Lindsey curiga suaminya itu bisa juga membunuhnya dengan cara yang sama. Dia tak bisa berjudi dengan nasib. Satu-satunya cara adalah pergi secepat mungkin dari tempat ini dan menyembunyikan fakta ia telah melihat sebuah pembunuhan. Ralat. Tiga pembunuhan beruntun. Lindsey berbalik arah dan menyamarkan keberadaannya di jalur taman yang dipenuhi tumbuhan. Dia memilih meninggalkan jalan setapak dan berlindung di balik pohon-pohon yang mulai berguguran. Meskipun di musim gugur pepohonan tak serimbun musim semi, tetapi setidaknya mereka masih cukup kuat untuk melindungi keberadaan dirinya dengan baik. Kaki Lindsey terseok-seok, berkali-kali terantuk batu taman dan akar pepohonan yang mencuat ke beberapa sisi. Secara berkala Lindsey menoleh ke belakang, memastikan Darrel belum menyadari keberadaannya. Lindsey tidak pernah setakut ini dalam hidup. Seluruh sel tubuhnya protes seolah-olah tak bisa berfungsi dengan baik. Degup jantungnya tak teratur, berdentum bak genderang mau perang. Indera-inderanya bergerak secara otomatis untuk menjauh dari tempat ini dan segera kembali ke dalam bangunan mansion utama. Entah keberuntungan apa yang dimiliki Lindsey. Dengan tertatih-tatih, dia berhasil kembali ke kamarnya dan berganti piyama lain dengan sisa kesadaran yang masih ia miliki. Tetes-tetes air membasahi lantai marmer kamar. Lindsey segera mengambil handuk dan mengusap bekas langkahnya. Setelah beberapa saat kemudian, dia berusaha duduk di sisi ranjang. Tetapi ia segera ke wastafel dan memuntahkan seluruh isi perutnya. Bayangan apa yang baru saja ia lihat berputar-putar terus di memori Lindsey. Tiga orang terkapar ditembak oleh Darrel. Semua itu kembali membuat tubuhnya bereaksi dengan sangat buruk. Dia kembali memuntahkan isi perutnya dan menatap cairan putih yang keluar dengan pandangan lemah. Lindsey menyandarkan diri di dinding kamar mandi. Wajahnya menyerupai mayat. Seluruh tubuhnya gemetar hebat. Kedua matanya berair dan memerah. Rasa syok masih belum hilang dari kesadarannya. Tetapi akal sehat Lindsey berjalan dengan cepat. Dia segera memaksa tubuhnya untuk berbaring di ranjang dan menyelimuti dirinya dengan selimut lembut. Lindsey mencoba mengeringkan rambutnya dengan gerakan tangan. Dia kemudian membungkus semua tubuhnya di bawah selimut, menyembunyikan ketakutan yang tersisa. Dia tak boleh melakukan kesalahan. Darrel bisa kembali ke kamar mereka sewaktu-waktu. Lindsey harus bersikap normal dan bertingkah seolah-olah dirinya tidak melihat apa pun. Dia tak bisa mengumpankan dirinya sendiri dengan berbicara jujur. Demi Tuhan. Lindsey tak ingin membahayakan hidupnya sendiri. Tuhan memberikan berkah dan keajaiban. Malam itu, Darrel tak kembali ke kamar Lindsey sama sekali. Membuat Lindsey sedikit lega karena tak perlu menjelaskan tentang ketegangan yang melingkupi dirinya. Keesokan paginya, Darrel memberikan pesan singkat dia telah pergi untuk mengurus bisnisnya di luar kota selama beberapa hari ke depan. Lelaki itu meminta maaf karena tak sempat berpamitan padanya secara langsung. Perusahannya dalam kondisi darurat katanya. Lindsey tak peduli. Dia justru bersyukur. Darrel telah memberikan Lindsey angin segar tambahan untuk menyesuaikan kondisi psikisnya yang terguncang hebat. Pada hari yang sama, kepala pelayan keluarga Vranzerlin mendapatkan berita tentang kecelakaan yang terjadi pada tiga anak buah Darrel yang berujung maut. Jenazah mereka ditemukan di dalam mobil bobrok yang dilaporkan menabrak pembatas jalan utama dengan beberapa saksi mata. Mayat mereka hancur dan sulit dikenali. Hanya catatan gigi saja yang bisa membuat polisi yakin tentang identitas mereka. Lebih dari siapa pun juga, Lindsey tahu berita tersebut merupakan berita palsu. Dia sudah tahu apa yang terjadi sebenarnya. Lindsey tak menyangka Darrel memiliki pengaruh besar sehingga bisa memanipulasi berita kematian dengan begitu rapi. Dia juga mampu menghadirkan saksi mata fiktif. Entah siapa yang telah menyusun skenario tersebut sebegitu rupa. Hanya Tuhan yang tahu apa yang dilakukan Darrel setelah Lindsey meminggalkan tempat kejadian perkara. Rasa takut yang dirasakan Lindsey kepada Darrel semakin besar setiap waktu. Beberapa hari tanpa Darrel digunakan dengan baik oleh Lindsey. Dia mencoba menenangkan kondisi psikisnya, berusaha bersikap senormal mungkin, dan tidak melakukan hal-hal yang bisa menarik kecurigaan Darrel. Setelah Darrel kembali, Lindsey mencoba bersandiwara dengan sangat baik. Sikapnya berubah sedikit kaku, terapi dia masih sanggup berbasa-basi kecil setiap kali berada di sisi Darrel. Mungkin lelaki itu curiga, mungkin juga lelaki itu mulai bertanya-tanya tentang perubahan sikap Lindsey. Tetapi sayangnya, Lindsey tak memberi Darrel kesempatan untuk berbincang secara serius. Wanita itu memilih pergi dari hidup Darrel satu bulan kemudian tanpa meninggalkan pesan sama sekali. Saat Darrel mencona mencari tahu apa yang terjadi, Lindsey justru menyewa pengacara dan mulai melayangkan gugatan perceraian karena perbedaan yang tak bisa didamaikan. Dia menolak semua mediasi yang ada, menolak semua saran hakim, dan tetap bersikeras meminta cerai. Lindsey memilih pergi karena sejatinya ia tak sanggup untuk terus hidup bersama dengan seorang pembunuh di dalam ikatan perkawinan yang sah. Dia merasa Darrel memiliki sisi iblis yang tak diketahui siapa pun. Sisi iblis yang Lindsey takuti. …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD