Pertemuan 2

1237 Words
Lindsey tercekat. Dia tak menyangka akan mendapatkan serangan pertanyaan seperti ini. Baginya, pertemuan mereka hanyalah sekadar pertemuan formalitas untuk menjembatani perceraian yang sangat ia inginkan. Dia tak tahu akan diserang dengan pertanyaan Darrel. Tahu begini, Lindsey akan memilih untuk menghindari pertemuan ini seperti yang sudah-sudah. "Setelah kita menikah, aku baru menyadari bahwa kehidupan rumah tangga tak cocok untukku. Merupakan sebuah kesalahan bagi kita masuk ke dalam perkawinan tanpa mengenal lebih lama." Itulah penjelasan singkat yang mampu Lindsey berikan. Mereka hanya mengenal selama dua bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah dan mengucap janji perkawinan. Pernyataan cinta dari Darrel pemujaan lelaki itu terhadap dirinya mampu meluluhkan Lindsey secara penuh. Tanpa sadar, dia telah membalas pemujaan Darrel dengan cara yang luar biasa hebat. Lelaki itu telah menjadi kiblatnya, kepercayaannya, dan arah yang ia tuju. Setiap sentuhan yang lelaki itu berikan seperti rayuan surga. Semanis madu dam sehalus sutra. Tetapi, semuanya tak lagi sama setelah ia mengetahui sisi lain yang Darrel miliki. "Jadi, kau lebih suka pengenalan lama yang tanpa kepastian? Menjadi wanitaku dengan menyerahkan semua hal yang kau miliki tanpa ikatan perkawinan? Jika itu maksud dari pengenalan, kenapa tak kau utarakan dari awal?" Ada nada kebencian yang bisa Lindsey tangkap dari suara Darrel yang dalam. Wanita itu memejamkan mata sejenak, menguatkan mentalnya sendiri untuk menghadapi lelaki di depannya. Seharusnya dari awal Lindsey tahu Darrel bukanlah orang yang mudah ia hadapi. Jujur, Lindsey merasa keberaniannya tergerus semakin tipis saat ini. "Bukan begitu." Suara Lindsey lirih. Dia mengaitkan jari-jemarinya di bawah meja dengan gerakan canggung. Pelipisnya mulai berkeringat, menandakan setinggi apa pengaruh Darrel untuknya. Lindsey berbohong jika ia berkata bahwa Darrel tak memiliki pengaruh sama sekali. Setiap hal yang ia ungkapkan kepada dirinya sendiri sebelum ini hanya terbuang sia-sia. Tetap saja lelaki itu memiliki nilai yang tak mudah Lindsey abaikan begitu saja. "Oh ya? Bukankah kau baru saja berkata pernikahan tak cocok untukmu? Menjadi seorang istri adalah sebuah kesalahan bagimu. Jadi, apa yang pantas untukmu, Sayang? Menjadi wanita simpanan, wanita lacur yang kubayar setiap kali aku memakaimu, itukah yang kau inginkan?" Darrel bertanya dengan nada merendahkan. Mata Darrel semakin menajam menatap sosok Lindsey di hadapannya. Rahangnya kaku, menunjukkan bahwa ia menyimpan amarah yang mulai terbentuk di d**a. Wanita itu telah ia berikan segalanya. Kasih sayang, status, harta, kepercayaan, dan posisi. Apa pun yang Lindsey mau, akan ia berikan. Apa pun yang Lindsey inginkan, akan ia serahkan. Mulut wanita itu hanya perlu berucap dan Darrel akan menjadi tangan dan kaki yang siap sedia mewujudkan hal itu. Singkat kata, Darrel telah memberikan surga bagi wanita itu. Sesuatu yang tak pernah ia berikan pada wanita mana pun juga. Tetapi apa yang ia berikan pada Lindsey ternyata tak memiliki arti sama sekali. Sikapnya jadi semakin angkuh dan egois. Dengan mudah, wanita itu menginjak-injak pernikahan, sesuatu yang Darrel anggap suci. Lindsey bertindak layaknya ratu yang berpikir bisa mengendalikan dan menjatuhkan nama Darrel begitu saja. Wanita itu kian bersikap layaknya w************n yang ia temui di sudut-sudut blok kawasan bobrok. "Hentikan semua itu, Darrel! Kau tahu aku bukan wanita seperti itu. Bukankah kau tahu bagaimana aku menjaga diri selama ini?" Lindsey mulai geram. Dia telah mempersembahkan keperawanan yang ia miliki hanya untuk Darrel. Jika memang ia w************n, tentunya Lindsey pasti telah kehilangan mahkotanya jauh sebelum ini. Tidak mudah mempertahankan kesucian diri saat seseorang hidup di kota metropolitan seperti Manhattan. "Oh, ya? Mungkin saja kau memang berniat menjaga keperawananmu untuk kau serahkan pada calon potensial. Aku merupakan gambaran lelaki kaya yang bisa memberikan jaminan tunjangan perceraian luar biasa. Dengan kata lain, caramu menyerahkan diri dalam sebuah pernikahan adalah cara yang tepat!" Meskipun Darrel berkata dengan ringan, tetapi tak mengurangi kekejaman yang coba ia sampaikan melalui suaranya. Semua itu bak belati yang menembus d**a Lindsey dengan cara yang paling menyakitkan. Wajah Lindsey pucat pasi. Kedua tangannya kebas mendengar kata demi kata yang Darrel tumpahkan. Dia ingin membantah, tetapi mulutnya terasa kelu dan menolak bergerak sama sekali. Setengah mati Lindsey mencoba menahan diri agar tidak mengeluarkan air mata. Terlalu memalukan menangis di hadapan lelaki angkuh seperti Darrel. Tidak. Lindsey bersumpah tidak akan melakukan itu. "Aku tidak ingin bersilat lidah denganmu, Darrel. Aku hanya ingin bercerai. Aku juga tak berniat mengajukan tuntutan tunjangan perceraian atau semacamnya." Lindsey berkata lemah. Kedua tangannya mencengkeram erat pinggiran meja yang dilapisi kain lembut berwaran putih. Restoran yang mewah ini tak lagi memiliki nilai saat suasana hati Lindsey seperti diremukkan dengan sangat kejam. "Sayang, kau terlalu menganggap tinggi nilaimu sendiri. Perceraian yang kau gugat di pengadilan memiliki banyak kelemahan. Kau perlu persetujuan dariku untuk melakukannya." Panggilan sayang yang dulu terasa manis didengar, kini seperti olok-olok sadis yang meninggalkan luka. Lindsey menatap mata Darrel yang sekelam malam. Ada sinar kemarahan yang tampak jelas di kedua mata lelaki itu. "Karena itulah aku menyetujui pertemuan ini. Untuk membicarakan perceraian kita." Kedua orang ini kemudian saling menatap lama. Ada isyarat kuat yang tak bisa dibahasakan oleh kata-kata. Masing-masing dari keduanya memiliki niat yang sama-sama besar untuk mencapai apa yang mereka inginkan. "Bukankah sudah kukatakan aku telah menyampaikan sayaratku melalui pengacaramu? Beri aku seorang ahli waris dalam waktu setahun dan aku akan mengabulkan apa pun kemauanmu, termasuk perceraian." Lindsey menatap Darrel dengan sorot mata terkejut. Dia berkedip beberapa kali seperti orang linglung. Beberapa detik terlewat tanpa ada yang berkata-kata lagi. Semua sistem tubuh Lindsey berhenti berfungsi untuk beberapa saat. Setelah waktu berlalu cukup lama, Lindsey kembali membuka mulutnya untuk menamggapi syarat yang dilontarkan Darrel. "Kupikir kau tak serius dengan syarat itu!" Suara Lindsey sedikit meninggi, merasa dipenuhi kebingungan. Pengacaranya memang telah mengatakan hal ini padanya. Tetapi ia pikir Darrel tidak akan mempertahankan pemikiran ini. Nyatanya, mendengar syarat ini diungkapkan secara langsung oleh Darrel, membuat Lindsey diserang perasaan panik dalam sekejap. "Aku tak pernah bermain-main dengan kata-kataku!" Darrel menjawab serius. Dia menyipitkan mata, menilai secara keseluruhan reaksi yang diberikan Lindsey untuknya. "Tapi, Darrel—" "Itu adalah satu-satunya persyaratanku. Jika kau masih keras kepala untuk bercerai, kau harus bersedia memberikanku seorang anak. Dengan proses yang alami, tentunya! Aku tak suka menjalani program bayi tabung atau semacamnya. Program-program seperti itu hanya akan membuatku terlihat seperti lelaki yang tak mampu saja." Wajah Lindsey semakin terlihat memucat. Darrel yang melihatnya justru menyeringai kecil, merasa menang. Wanita itu selemah burung perkutut yang baru saja menetas, tetapi berani-beraninya ia melawan elang. Lindsey perlu disadarkan di mana tempatnya berada. "Pikirkan hal ini matang-matang. Aku memberimu waktu satu minggu." Darrel berdiri mendadak dan pergi berlalu begitu saja setelah sebelumnya meninggalkan uang di atas meja. Membiarkan Lindsey berkecamuk dengan pikirannya saat ini. Dengan tubuh gemetar, Lindsey menatap kepergian lelaki yang secara hukum masih berstatus sebagai suaminya. Punggung lelaki itu semakin lama semakin samar dan menghilang di balik pintu restoran. Tangis Lindsey pecah saat itu juga. Dia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Perceraian yang ia inginkan ternyata memiliki syarat yang amat berat. Dia harus rela tunduk dan menuruti semua keinginan lelaki itu. Tanpa protes sama sekali. Lindsey mengusap air bening yang masih saja mengalir di pipinya. Dia memejamkan mata sejenak, kembali mengingat alasan perceraian yang sebenarnya. Darrel benar. Lindsey hanya mengada-ada dalam menciptakan alasan dalam gugatan perceraian. Karena sebenarnya masalah mereka tidak sedangkal itu. Bukan ketidakcocokan. Atau pun sekadar perbedaan yang tidak bisa didamaikan. Alasannya jauh dari semua itu. Dia tak bisa melanjutkan hidup dengan Darrel karena, sekitar setahun yang lalu, di sebuah malam, Lindsey melihat hal yang mengubah semua penilainnya tentang Darrel. Tanpa Darrel ketahui, Lindsey telah menjadi saksi mata atas tindakan pembunuhan yang dilakukan Darrel pada tiga orang lelaki yang saat itu menjadi bawahanya. Lindsey telah melihat sisi lain yang Darrel miliki. Sisi lain yang tak bisa ia terima. Itulah kenapa ia memilih bercerai. Karena ia tak bisa menerima fakta bahwa ia telah menikahi seorang pembunuh. …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD