Pertemuan

1079 Words
Darrel Vranzerlin. Lelaki berdarah setengah latin dan amerika dengan pembawaan temperamen yang menakutkan. Matanya sanggup memerintahkan orang lain hanya dengan satu kedipan.Ujung jarinya seperti keajaiban dan bisa menundukkan orang di sekelilingnya. Dia, bagaikan predator yang berada di rantai tertinggi dalam ekosistem. Layaknya raja dan menuntut dipuja. Kini, lelaki itu tengah duduk menikmati secangkir black coffee di sebuah restoran ternama yang berada di Madison Avenue. Dia menatap jam rolex hitamnya, meneliti apakah waktunya sudah terbuang banyak. Dua puluh menit. Itu adalah waktu terlama di mana ia sanggup menunggu seseorang. Wajahnya kian menggelap setiap saat, menyembunyikan reaksi amarah yang coba ia kendalikan. Toleransi bukanlah salah satu sifat yang ia miliki. Lindsey telah membuatnya menunggu selama itu. Untuk ukuran lelaki seperti Darrel, hal itu merupakan dosa tak tertolong. Waktu lebih berharga dari pada uang. Begitulah prinsipnya selama ini. Demi wanita itu, Darrel telah membuat sebuah pengecualian besar. Ralat. Darrel selalu menciptakan pengecualian. Sayangnya, tidak begitu dengan Lindsey. Wanita itu selalu menganggap enteng dirinya. Sesuatu hal yang perlu Darrel perbaiki untuk ke depan. Mata Lindsey butuh dibuka lebar untuk menyadari siapa Darrel sebenarnya. Darrel menatap sekeliling restoran dengan jenuh. Restoran ini merupakan sebuah bangunan yang ditata dengan sangat apik. Berdesain modern tetapi memiliki kesan hangat. Lantainya dari marmer. Setiap mejanya berlapis kain putih yang menunjukkan kemewahan dan keglamoran. Para pelayan hilir mudik membawakan setiap pesanan. Hiasan di dinding-dinding ruangan yang berupa lukisan-lukisan mahal menunjukkan seberapa berkelasnya restoran ini. Tetapi saat ini semuanya tak terasa menarik bagi Darrel. Lelaki itu sibuk memutar pikirannya pada hal-hal lain. Hingga tiba-tiba sesosok wanita yang sangat familier memasuki pintu utama restoran. Ujung bibir Darrel tertarik ke atas, menciptakan seringaian penuh arti. Lindsey datang. Dia memiliki kartu as saat ini. Wanita berambut cokelat bergelombang sepanjang pinggang itu masih sama seperti setahun yang lalu. Kali ini ia memakai dress cokelat gelap dengan potongan sederhana. Namun itu semua tak mempengaruhi nilainya. Setelah bertanya pada seorang pelayan, Lindsey bergegas menuju meja nomor 12 yang ditempati oleh Darrel. Wanita itu terlihat tegang mengambil setiap langkah. Wajahnya yang oval sedikit pucat, seolah-olah menyampaikan betapa ia tertekan dengan pertemuan ini. Darrel yang melihat reaksi wanita itu hanya diam dan memilih menikmati saja. Dia selalu merasa puas setiap kali merasa menang. Menunjukkan siapa di sini yang mengambil kendali. "Mr. Vranzerlin!" Lindsey berkata dengan mulut terkatup. Garis-garis wajahnya menunjukkan ketegangan. Melihat Darrel duduk bak kaisar seperti ini, membuat jantung Lindsey bertalu-talu. Seolah-olah ia sedang menjalani sidang paling buruk sepanjang hidupnya. Lindsey berusaha mengontrol setiap ketakutannya. Dia tak suka jika tubuhnya bereaksi sedemikian rupa hanya karena bertemu dengan sesosok laki-laki yang sayangnya, masih berstatus sebagai istrinya. "Kau terlalu formal padaku, Sayang. Apakah aku harus membalasmu dengan sapaan Mrs. Vranzerlin juga?" tanya Darrel dengan nada suara yang dingin. Dia menatap seluruh penampilan Lindsey dari atas hingga bawah, seolah-olah siap menelanjangi wanita itu. Lindsey menahan diri agar tidak bergidik. Dia merasa sangat terekspos dan sangat rapuh saat ini. Lelaki itu selalu memberikan efek yang seperti ini. Menbuat jantung Lindsey siap meloncat kapan saja. "Sapaan itu hanya akan menjadi sejarah di antara kita." Lindsey menatap Darrel dengan sedikit keberanian yang tersisa. "Bisakah kau duduk dan kita mengobrol seperti orang normal pada umumnya? Ataukah jauh dariku selama setahun sudah membuatmu lupa akan sopan santun?" Darrel mengingatkan. Dia menyipit tajam melihat tindakan Libdsey yang berdiri kaku dengan menggenggam tas kecil berwarna peach di depan d**a. Seolah-olah benda kecil itu mampu melindungi dirinya dari kehendak Darrel. Dengan pelan, Lindsey duduk di hadapan Darrel. Dia tak banyak bersuara saat lelaki itu memanggil seorang pelayan dan memesan beberapa menu untuknya. Lobster Newberg dengan lemon tea dingin. Sebuah menu yang menjadi favoritnya. Ternyata lelaki itu masih mengingatnya. Lindsey hanya berdehem kecil dan mengangguk, menolak untuk melakukan protes. Saat ini tujuan utamanya adalah membicarakan tentang perceraian mereka, bukan berdebat tentang menu restoran yang tak penting. "Kudengar dari pengacaraku kau bersedia membicarakan tentang kesepakatan perceraian denganku." Lindsey memulai topik utama. Dia menatap netra gelap milik Darrel dan segera mengalihkan fokus. Mata lelaki itu masih setajam dulu. Hanya saja ada sinar kejam yang menyertainya. Darrel tak merespon sedikit pun tentang topik yang coba diangkat Lindsey. Dia memilih menghabiskan sisa kopinya dengan santai. Seolah-olah mereka berdua memang sengaja menjalani hari tanpa dikejar waktu. "Kau terlambat dua puluh menit. Kau tahu aku sangat benci orang yang tak profesional?" Darrel justru membahas tentang keterlambatan Lindsey. Dia menatap wanita itu tak suka dan berdecih kecil. Lindsey memejamkan mata. Baiklah. Dia memang terlambat dua puluh menit. Demi Tuhan. Apakah itu merupakan sebuah kesalahan fatal? "Maaf. Sebelumnya, aku sempat tak yakin akan menemuimu." Lindsey menjawab apa adanya. Dia meghabiskan waktu dua hari ini hanya untuk menimbang-nimbang apakah ia sanggup bertemu secara langsung dengan Darrel atau tidak. Semua itu sudah membuat fokusnya hilang dan tak terarah. "Sudah kuduga. Kau wanita pengecut yang hanya sibuk bersembunyi di balik cangkang!" Darrel berkomentar tajam. Lindsey yang mendengarnya hanya bisa menggemeretakkan gigi. Kedua tangannya mengepal di balik meja, menyalurkan kemarahan atas setiap perkataan yang Darrel lemparkan. "Aku tidak sepengecut itu!" bantah Lindsey tak terima. Mata silver Lindsey berapi-api, menunjukkan kemaraham terpendam. Sudah ia duga pertemuan ini tidak akan berjalan lancar. Darrel terlalu angkuh untuk mengalah. "Oh benarkah? Kau tak perlu berbohong dan berpura-pura di hadapanku. Kau hanya wanita yang terjebak dalam dunia kecil yang kau bangun dan tak membiarkan seorang pun untuk menyentuh pertahanannmu." "Oh, jadi seperti itukah nilaiku di hadapanmu?" Lindsey menyentuh dadanya, mencoba menenangkan gemuruh hebat yang mulai tercipta dengan luar biasa hebat. Berada di sisi Darrel selalu berhasil membuat Lindsey kehilangan semua kendali dan akal sehat. Hubungan seperti ini tak baik dan sudah seperti orang pesakitan. Perceraian merupakan solusi tengah yang bisa menyelamatkan mereka berdua. "Ya. Kau orang yang pengecut dan penakut. Tapi bagaimana pun juga, statusmu masih tetap istriku secara hukum." Darrel tersenyum sinis, merasa menang dari Lindsey. Itulah salah satu hal yang tak Lindsey suka. d******i Darrel dan semua egonya yang berada di ambang batas normal. "Aku bukan pengecut!" Sekali lagi Lindsey mencoba mengelak. Dia mengerucutkan bibirnya, menahan setiap kata-kata buruk yang mengancam keluar sebagai balasan untuk Darrel. Kemarahan Lindsey selalu tak bisa ia keluarkan dengan baik. Di depan lelaki ini, sekuat apa pun keinginan Lindsey untuk mempertahankan diri dalam perdebatan, selalu saja mudah dikalahkan oleh Darrel. Singkat kata, Darrel selalu menang dalam bersilat lidah. Sesuatu yang sangat benci untuk Lindsey akui. "Kalau bukan pengecut, kenapa kau bertingkah kekanakan dengan keluar dari rumah kita setahun yang lalu tanpa alasan jelas, menolak semua komunikasi yang ada, dan melayangkan gugatan cerai atas alasan perbedaan? Di mana kedewasaanmu, Lindsey? Kau bukan hanya merendahkanku, tapi kau merendahkan ikatan pernikahan. Kau pikir kau sekuat apa bermimpi untuk bisa mempermainkanku dengan merobek-robek pernikahan dan bertindak sembrono? Sudahkah kau lupa aku lelaki yang tak bisa dimanipulasi begitu saja?" …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD