- TUJUH -

1437 Words
Suara kokokan ayam dan air sungai mengalir membuat kedua mata Shani terbuka dengan perlahan. Pandangan sedikit buram, membuatnya harus kembali menutup kedua mata untuk membiasakan dengan pencahayaan. Ia mengerjabkan nya beberapa kali, sebelum kemudian kembali membuka mata. Dan, hal pertama yang ia lihat adalah gorden berwarna abu-abu metalik. Ia beranjak bangun dari tidurnya dan menjadi duduk bersandar. Dengan mencoba mengumpulkan seluruh nyawa, ia mengitari pandangan ke seluruh ruang kamar yang ia tempati sekarang. Tampak asing. Belum lagi, suara aliran air sungai terdengar samar-samar di telinga nya. Mencoba mengingat-ingat dimana ia sekarang. Seluruh tubuh nya terasa pegal kini, matanya menatap setiap benda yang ada di kamar tersebut. Tidak banyak isi nya memang, hanya ada satu lemari tiga pintu tidak jauh di depan tempat tidur. Sebuah meja belajar yang ada di dekat pintu masuk. Nuansa kamar yang lebih dominan warna biru langit, bahkan dengan langit kamar yang di hias dengan apik persis seperti langit cerah. Ia menoleh ke arah jendela, membuatnya beranjak turun dari kasur dan berjalan menuju pintu jendela. Dengan pelan ia menggeser pintu kaca tersebut. Dan, seketika itu juga tubuhnya menggigil. Cuacanya menjadi sangat dingin, namun pemandangan di depan nya cukup membuat nya terkesima. Bagaimana tidak, begitu ia melangkah lebih keluar ia melihat kehijauan yang membentang luas. Pegunungan yang sebagian masih tertutup kabut. Lalu, tepat di seberang jalan depan rumah terdapat sebuah selokkan yang tidak kecil namun tidak besar. Dan, dari sana lah sumber suara air mengalir. Shani melipat kedua tangan di depan, memeluk dirinya sendiri. Menatap jauh pada pegunungan yang di rasa tidak jauh dari rumah. Dari lantai dua ini, ia di saji kan dengan pemandangan yang tidak akan pernah ia dapatkan di Jakarta. "Jangan lari-lari, nanti jatuh!" Suara seruan di bawah sana mengalihkan perhatian Shani, pada jalanan yang bebatuan terlihat Abang iparnya sedang dalam perjalanan menuju rumah. Sepertinya habis dari mesjid, karena dari busana yang di kenakan oleh pria itu. Belum lagi, dengan peci hitam. Abang iparnya itu tidak sendiri. Ada si kecil Akmal, yang dengan lincah berlari kesana kemari di jalanan bebatuan itu. Hingga anak itu terjatuh, tapi sang Ayah bukan meraih anak nya malah tertawa. "Tuh kan, ayah bilang juga apa! Maka nya dengar kata orang tua." Ia mengulum senyum kecil, mendengar ucapan pria dewasa itu. Abang ipar nya itu membangun kan Anak yang tertawa, bukan menangis. Anak itu malah kembali berlari menuju rumah membuat Dika menggeleng heran sendiri. Shani tersenyum kecil, gemas dengan tingkah menggemaskan nya Akmal. Tok Tok Tok Suara ketukkan pintu dari luar, membuat Shani menoleh kedalam. Ia pun melangkah kembali masuk kedalam kamar. Berjalan menuju pintu dan membukanya. Cklek Seorang wanita paruh baya, berdiri di depan kamarnya dengan membawa dua ember air dengan asap yang sedikit mengepul. "Maaf non, dek Gam tadi telfon. Dia mintak aku siapkan air panas buat non mandi. " Ujar wanita itu dengan logat medok nya. "Dek Gam?" Tanya Shani, bingung. "Afdhal." "Oh.. " respon Shani, canggung. Ia pun mempersilahkan wanita itu masuk ke dalam. Melirik pada jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh, masih sangat pagi di sini. "Air, di kampung ini dingin kali, maka nya Dek Gam suruh Bu Ina masak air panas buat istrinya. " "Makasih Bu, saya jadi merepotkan " jawab Shani tidak enak. Ibu Ina hanya mengibas tangan nya. Wanita itu terlihat ramah. "Saya kerja di sini, bantu-bantu Bu Ros. Mamaknya Dek Gam. Adek ini cantik kali, saya waktu Adek nikah gak bisa pigi. Karena, anak lagi sakit. Tapi, liat foto-fotonya. Ada satu, di depan udah di cuci. Adek cantik kali" lanjut Bu Ina memuji dirinya. Shani hanya mengulum senyum. "Kalau begitu, Adek mandi saja dulu. Ibu mau masak buat Adek makan. Tadi, Dek Gam juga sudah kasih tau makanan apa yang harus saya masak buat Adek. Kayaknya, Dek gam tau kali kesukaan dek Shani." Lanjut beliau lagi. Ia hanya mengulum senyum sopan, dan Bu Ina Pamit keluar. Ia langsung menghela napas, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Kembali menghela napas, ia padahal sangat ingin berendam. Namun,sayang nya kamar mandi ini bukan kamar mandi di rumah atau apartemen nya. Kamar mandi Afdhal tidak besar, berukuran sedang. Tempat mandi dan toilet terpisah oleh dinding. Juga bak mandi yang tidak besar, namun air nya sudah di isi penuh. Lumayan. Karena, airnya hangat. Ia tidak bisa membayangkan jika ia harus mandi tanpa air panas. Saat keluar tadi saja ia sudah menggigil, apalagi terkena air pegunungan.?. Bisa jadi es dia. *** Pukul setengah delapan, ia keluar dari dalam kamar. Berjalan menuju anak tangga. Rumah ini sangat besar menurut Shani, lantai dua juga luas. Ia menuruni anak tangga sambil mengitari pandangan nya. Lantai pertama di terbentang luas. Ruang tamu dan ruang tengah hanya di batasi oleh lemari hias besar. Yang berisi beberapa guci mahal. Dan, ruang tengah lebih rendah dari ruang tamu atau ruang depan. Karena, ada tiga anak tangga sebagai pembatas. Shania muncul dari belakang nya, dengan menggendong Baby Rafan yang terlihat seperti baru bangun tidur. "Pagi aunty Shani " sapa Shania, menuruni anak tangga dengan perlahan. "Pagi, Rafan." Sapanya dengan ramah. "Sarapan yuk, tadi Bu Ina katanya udah selesai masak sarapan buat loe" ujar Shania mengajak nya menuju ruang makan. Di meja makan ternyata sudah ada Abang - Abang ipar nya dan juga kakak ipar yang sedang menyiapkan makanan di atas meja makan. Dengan suara Akmal yang cukup menggelegar karena minta makan. "Han.. Han.. Han .. " kata Akmal menggeleng kepalanya, ketika sang Ayah memberikan donat. Anak yang masih berumur tiga tahun itu. Dengan badan yang tenggelam dengan tinggi meja makan, terus menunjuk pada piring yang berisi buah. "Mangga?" Tanya Khalif, sambil menunjuk pada buah mangga. Akmal langsung mengangguk. "Gak boleh, masih pagi. Nanti sakit perut!" Khalif menjauhkan piring buah itu. "Duduk Shan, yuk sarapan dulu." Ajak Kak Kinal saat melihat kemunculan nya. Shani mengulum senyum, ia menarik salah satu kursi dan menduduki nya. Di meja makan sudah tersedia banyak menu sarapan. Seperti nasi goreng, nasi putih. Ayam balado, telur dadar. Terus ada sayur sop. Dan, ada makanan favorit nya. Yaitu, ikan panggang. "Ini ikan khas sini, ikan kerling namanya. Enak lho!. " Ujar Khalif menunjuk pada ikan panggang. "Biasanya di masak sayur asam pedas, tapi berhubung kamu sangat suka ikan panggang, jadi tadi di panggang Bu Ina." "Kok kamu tau, Shani suka ikan panggang ?" Tanya Shania dengan tatapan menyelidik. "Tolong, matanya Bu! Tadi, Afdhal telfon ya. Bilang, kalau ikan nya tolong di panggang buat Shani." Ujar Khalif, membuat Kinal dan Dika tertawa. "Shania cemburuan ya, Lif?" Tanya Kak Kinal pada adik iparnya. "Banget!" Jawab Khalif. Yang di angguki oleh Shani juga. "Buat Shania, kalau Khalif ngobrol sama perempuan pasti langsung di plototin" jawab Shani, melirik Shania yang sudah mendelik padanya. Ha-ha-ha.. "Sayang banget ya, sama Ayah nya Kyla" ujar Kinal tertawa gemas sendiri. "Kalau gak sayang, gak mau di ajak nikah!" Celetuk Shania. "Ayah, ayah. Ayah.."panggil Akmal berkali-kali. Karena Ayah nya sedang asik makan. Saat Dika menoleh anak itu langsung menyuapkan risol yang di tangan nya. "antik, beyi duyen. Mama mo, " ujar anak itu menunjuk Mamanya. Mereka menoleh pada Kinal, wanita cantik itu langsung tersenyum manis pada suami nya. "Adek, mau ?" Tanya Ayah nya. Anak itu menggeleng kuat. "Auk" jawab nya. Mereka langsung tertawa mendengar jawaban itu. Selama sarapan bersama itu, mereka mengobrol banyak. Dika dan Shani juga terlibat obrolan tentang pekerjaan. Berhubung kedua nya sama-sama pemimpin perusahaan cukup ternama di ibu kota. Jadi, jika sudah membahas pekerjaan cukup cocok. Siang hari, Kedua mertua dan juga Afdhal tiba di rumah. Abang iparnya langsung dengan sigap membantu ayah nya untuk langsung menuju kamar agar bisa istirahat. Shani juga melihat Afdhal, keluar dari dalam kamar orang tua nya. Laki-laki itu menghampiri nya yang sedang duduk memangku Rafan di sofa ruang tengah. "Acut, mau" ujar Afdhal pada Rafan yang sedang menggigit biskuit yang di berikan Shania tadi. Anak itu langsung menyuapkan nya kedalam mulut Afdhal, yang terbuka. Suami nya itu benar-benar menggigit bisluit bekas keponakan nya dan memakan nya setengah. "Gimana ? Semalam tidur nyenyak?" Tanya Afdhal duduk di samping nya. "Lumayan" jawab Shani acuh tak acuh. "Huaaaaahh.!" Shani melirik Afdhal, saat mendengar pria itu menguap lebar. Terlihat mengantuk, apalagi wajah itu terlihat lelah. "Dek, udah makan ?" Shania datang dari dapur. Membawa satu piring makan siang. "Belum kak, nanti aja. Aku mau mandi, sekalian tidur dulu deh. Ngantuk banget" jawab Afdhal. Shania mengangguk, ia pun berlalu menuju ke kamar mertua nya. "Kamu udah makan ?" Tanya Afdhal pada Shani. "Udah tadi " jawab Shani dengan nada cuek. Afdhal hanya mengulum senyum, kemudian laki-laki itu pamit untuk ke kamar. Ia ingin mandi dan kemudian tidur. Sedang Shani, memilih tetap di tempat sambil memangku Rafan. Karena, Mamanya lagi sibuk saat ini, jadi ia membantu menjaga Rafan yang sedang dalam masa aktif-aktif nya sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD