Dengan wajah murung Mae menutup pintu rumahnya pelan. Baru saja Ibu Yuda menemuinya untuk memberitahukannya jika ia harus segera pergi dua hari lagi. Padahal seharusnya ia masih memiliki waktu empat hari lagi. Ingin rasanya dia berteriak sekeras mungkin. Setidaknya hal itu mampu membuat hatinya sedikit lega walaupun masalah seberat apapun sedang di hadapinya. Hanya saja mana mungkin dia berteriak di malam seperti ini. Bisa-bisa tetangganya mengira ada sesuatu dengan dirinya. Akhirnya yang bisa dilakukan Mae hanyalah menarik napas panjang.
"Seenggaknya lo bisa punya tempat tinggal tanpa perlu bayar selama dua tahun ditambah uang muka."
Tiba-tiba saja suara Eni terngiang di dalam kepalanya. Tempat tinggal. Tanpa sadar Mae mulai menggigiti kukunnya. Kebiasaan buruknya jika sedang berpikir. Haruskah ia menerima penawaran ini?
Jangan mau. Menikah itu hal yang sakral, bisik si malaikat. Benar. Apa jadinya jika ayah sampai tahu kalau anaknya mempermainkan yang namanya pernikahan? Pasti ayah akan kecewa sekali padanya.
Lumayan dua tahun. Uang sewanya bisa kamu simpan, bisik si iblis. Benar juga. Uang yang seharusnya ia gunakan untuk membayar sewa bisa disimpan dan digunakan untuk cita-citanya berwisata di Pulau Dewata kelak.
Dalam keheningan Mae terus berpikir keras untuk masa depannya. Sedangkan sang malaikat dan iblis berkelahi untuk menjadi pemenang. Detik demi detik berlalu sampai akhirnya Mae meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. Kegiatannya itu berhasil menghentikan perkelahian antara malaikat dan iblis berkelahi. Meski begitu hati mereka berdebar-debar untuk mendengar siapakah pemenang diantara mereka.
"Halo En. Sori ganggu lo malem-malem begini." Mae terdiam sejenak mendengarkan jawaban di seberang sana. "Gue udah berpikir soal tawaran lo mengenai istri kontrak itu. Gue... gue mau."
Mendengar jawaban yang diberikan Mae, si iblis melompat gembira dan memamerkan deretan giginya yang tajam. Sedangkan si malaikat tertunduk sedih.
"Panjang ceritanya. Besok gue ceritain deh." Lagi Mae terdiam. "Besok? Jam makan siang? Oh...oke. Bye."
Setelah percakapan berakhir sekali lagi Mae menarik napas panjang. Semoga saja pilihannya kali ini tidak salah. Lagipula bagaimana mencari tempat tinggal dalam waktu dua hari? Tidak mudah bukan? Setidaknya itu yang dipikirkannya untuk membela dirinya sendiri. Perihal ayah, ia akan memikirkannya lagi nanti.
Keesokannya Eni mendengarkan semua cerita Mae perihal ia yang berubah pikiran. Temannya itu memandang dirinya dengan iba. "Sori nggak bisa bantu banyak."
"Nggak apa-apa. Gue juga ngerti kok kondisi lo kayak apa," kilah Mae. "Jadi nanti jam makan siang gue mesti ketemu siapa di Starbucks?"
"Calon suami lo. Dia akan datang bersama pengacaranya buat tanda tangan kontrak. Tenang aja, bosnya Hendra baik kok. Buktinya dia aja bantu kami dengan memberikan kami rumah sebagai jasa laki gue yang udah setia ngikut dia selama hampir delapan tahun," jelas Eni diiringi senyum hangat yang mungkin bisa menenangkan hati Mae.
"Oke," desah Mae. Dia tahu betul bagaimana kisah Hendra dan Eni. Jadi, Mae mempercayai Eni. Karena temannya itu tidak akan mendorongnya ke dalam jurang yang dalam. "Jam dua belas tepat gue langsung berangkat ya. Kalau ada yang nanya gue lo tahu kan mesti gimana?"
"Siap!" ucap Eni bersemangat. Hati kecilnya berharap semuanya berjalan dengan baik. Termasuk pertemuan Mae dengan calon suaminya.
***
Dengan jantung berdebar-debar Mae melangkah masuk ke dalam kafe itu. Meski harum kopi sudah menyelinap masuk ke dalam indera penciumannya tetap saja tidak membuat hatinya tenang. Padahal kopi adalah minuman favoritnya. Diedarkan pandangan matanya dan saat itulah hatinya merasa lega. Sepertinya mereka belum datang.
Setelah memesan minuman, Mae memilih duduk di meja yang bersisian dengan jendela kaca yang besar. Dari situ dia dapat melihat pemandangan lalu lalang di luar sana. Setidaknya pemandangan itu membuat pikirannya teralihkan.
Sepuluh menit kemudian dua pria berdiri tegak di depan mejanya. Perlahan Mae mengangkat wajahnya dan menemukan dua pria berbeda usia sedang menatapnya.
"Vanessa Mae?" ujar pria yang usianya tidak jauh berbeda darinya. Di belakangnya pria paruh baya ikut menatap wajahnya.
"Be-benar," jawabnya tergagap.
Tanpa menunggu dipersilahkan duduk kedua pria itu duduk di seberang Mae. Dalam diam Mae memperhatikan sosok pria di hadapannya. Tubuhnya tinggi tegap bak seorang tentara. Dadanya lebar dan berotot. Pasti hasil terlalu banyak waktu santai yang dimilikinya sehingga ia gunakan untuk nge-gym. Kulitnya yang kecokelatan menambah kejantanannya. Alisnya tebal lurus. Manik cokelatnya begitu pekat. Hidupnya tegak lurus meski tidak terlalu mancung. Bibirnya tipis. Belum lagi rahangnya yang kokoh membuat dirinya tampak tampan. Pahatan hampir sempurna milik Tuhan yang pernah dilihat Mae selama ia hidup dua puluh delapan tahun lamanya!
"Perkenalkan saya Rudi selaku pengacara dan ini adalah Edward Clay Gunawan. Pria yang akan menjadi suami anda," jelas Rudi membuka pembicaraan.
"Ehem... suami kontrak," ralat Mae cepat. Yang dibalas anggukan kaku dari Rudi.
Diam-diam Mae melirik pria bernama Edward yang duduk tepat di seberangnya. Pria itu tampak santai dan sibuk dengan ponselnya. Kaos putih dipadu blazer light blue membuat dirinya tampak santai seperti seorang model daripada bussiness man.
"Kalau begitu kita langsung mulai saja ya..." ajak Rudi yang langsung mengeluarkan beberapa lembaran kertas putih dari dalam tas kulitnya. "Ini adalah surat kontrak yang harus anda tanda tangani."
Dalam diam Mae meraih kertas-kertas tersebut dan memulai membacanya. Butuh beberapa menit baginya untuk membaca seluruh kertas tersebut. Saat itulah Edward mengangkat wajahnya dan memandang wajah Mae yang tampak serius membaca kontrak tersebut.
Rambut sebahu dengan poni yang menutupi dahinya selalu menjadi potogan rambut kesukaan Mae. Bulu matanya yang lentik menghiasi matanya yang bulat seperti kelinci. Hidungnya jauh dari kata mancung tapi menarik untuk dilihat. Warna nude yang terpoles menambah keindahan bibirnya yang ranum. Mengapa dia tidak banyak berubah layaknya perempuan pada umumnya? pikir Edward heran. Sehingga membuat ingatannya melayang pada saat itu. Dimana untuk pertama kalinya mereka bertemu.
"Mae adalah titisan Dora! Sweeper jangan mencuri!!" ejek Dodi.
Meski diejek tapi Mae tidak peduli. Dia bergeming di sisi lapangan tempatnya berdiri. Kebetulan sekolah kosong sehingga tersisa Mae pulang terlambat karena hari ini adalah jadwal piketnya. Timbullah niat untuk iseng.
Model rambut Mae yang memang mirip Dora adalah potongan rambut yang diberikan ibunya. Jadi mana mungkin Mae membiarkan Dodi mengejek hasil karya ibunya. Tapi ketika dia baru saja hendak membuka suaranya ketika Dodi kembali mengejek. Seseorang sudah lebih dulu membelanya.
"Hip...hip..Dora!!" tambah Dodi.
"Berisik banget sih! Nggak bisa apa kalian membiarkan gue tidur lima belas menit saja?" ujar sebuah suara dari balik semak-semak yang ditata rapi di sisi lapangan.
"Siapa itu!?" pekik Dodi.
Bersamaan Mae mengangkat wajahnya untuk menoleh ke sumber suara dan saat itulah ia melihat seseorang bangkit dari tidurnya. Edward merentangkan kedua tangannya dan memandang Dodi dengan sinis. "It's me. Edward Clay Gunawan. Mata lo belum minus, kan?"
Saat itulah Dodi langsung terkejut dan berpikir untuk melarikan diri dari kelas detik itu juga. Siapa yang tidak lari ketika berhadapan dengan Edward? Berandal nomor satu dari sekolah menengah atas. Kebetulan gedung sekolah Budi Pekerti antara gedung SMP dan SMA berseberangan. Hanya di batasi lapangan sekolah yang luas. Sehingga hanya seragam mereka-lah yang dapat membedakan yang mana murid SMP dan yang mana murid SMA.
Sekarang mereka berdua memandang Edward dalam diam. Sedangkan laki-laki itu tampak santai sambil menyisir rambutnya. "Be-belum."
"Bagus kalau begitu. Terus kenapa masih berdiri di situ?"
"I-iya.."
Detik berikutnya Dodi lari dengan seribu langkah. Hatinya menciut ketika melihat sosok Edward muncul. Siapa yang tidak mengenal Edward? Berandal nomor satu di sekolahnya. Siapa saja yang berurusan dengannya pasti kalah. Otaknya yang dikenal cerdas dan kemahirannya dalam berkelahi karena meski SMA dia sudah mengenakan sabuk hitam. Tidak aneh jika lawannya akan berakhir di rumah sakit.
Setelah kepergian Dodi tersisa-lah mereka berdua. Dalam diam Mae memandang penolongnya. Haruskah ia berterima kasih?
"Oi... sudah sana pulang. Gue mau lanjut tidur," usirnya sambil kembali ke posisi tidurnya.
Untuk sesaat Mae masih bergeming sambil memainkan tali ranselnya sebelum akhirnya dia memutuskan untuk membuka suaranya. "Terima kasih..."
Selanjutnya tanpa menunggu jawaban dari penolongnya Mae langsung berlari keluar gerbang sekolah. Meninggalkan Edward yang bangkit dari posisinya dan memandang ransel merah yang perlahan mengecil dan menghilang dari pandangannya. Detik selanjutnya tanpa disadarinya bibir Edward tertarik ke atas. Siapa tadi namanya? Dora?
***