Dua

1024 Words
Sudah tiga hari berlalu tapi Mae belum mendapatkan tempat yang mampu membuat hatinya merasa nyaman. Bahkan Eni membawa berita buruk. Tetangganya tidak jadi menyewakan rumahnya. Benar-benar buruk. Mencari kamar kost memang mudah, tapi mencari yang sreg di hati itu yang sulit. Sampai ia mendatangi tempat-tempat yang dilihatnya di internet sepulangnya kerja. Tapi tak membuahkan hasil. Ada beberapa tempat yang hanya bagus di foto saja. Kenyataanya buruk. Entah toiletnya yang horror, bau ataupun kamarnya yang pengap. "Bagaimana?" tanya Eni ketika mereka sedang makan siang bersama di kedai bakso langganan mereka. "Nihil. Nggak ada tempat yang cocok dengan lokasi terdekat kantor," keluh Mae. "Gue punya satu berita sih. Tapi nggak tahu kedengeran baik atau buruk buat lo," ujar Eni. Mae memandang Eni dengan sebelah alis terangkat. Sedikit kebingungan dengan ucapan yang baru saja didengarnya. "Bilang aja. Baik atau buruk bisa bisa gue nilai nanti." "Okay." Eni menarik napas panjang. "Bos suami gue lagi cari istri kontrak." Kedua mata Mae berkedip beberapa kali kemudian ia melanjutkan memasukan satu buah bakso kecil ke dalam mulutnya. "Ya udah cariin aja. Kenapa mesti bilang sama gue?" jawabnya dengan mulut penuh. "Ini gue lagi nyari, makanya gue kasih tau lo," sahut Eni sambil memutar kedua bola matanya. Ini dia yang salah dalam menyampaikan berita atau Mae yang sedang tidak connect? "Ya udah cari aja perempuan yang mau dikontrak. Gampangkan" "Okay. Lo mau nggak?" "Tunggu... maksud lo gue?" Eni mengangguk. "Lo lagi nawarin gue buat jadi istri kontrak?" Sekali lagi Eni mengangguk. "Kenapa lo nawarin ke gue? Lo kan tahu kalau gue belum ada  niat mau kawin dalam waktu dekat!" "Tapi lo butuh tempat tinggal." Sekali lagi Mae memandang temannya dengan pandangan tidak percaya. "Jadi lo berharap gue terima ide gila ini hanya karena gue butuh tempat tinggal baru!? Ini soal menjadi istri Eni. Mengucapkan janji di depan Tuhan. Mana boleh main-main begitu?" komennya. "Siapa yang bilang main-main? Lo beneran jadi istrinya. Cuma nggak perlu selamanya. Hanya sampai dua tahun," decak Eni. "Seenggaknya lo bisa punya tempat tinggal tanpa perlu bayar selama dua tahun ditambah uang muka." Mae terdiam. Bagaimana bisa temannya ini menyampaikan ide gila seperti ini kepadanya? Menjadi istri kontrak!? Memangnya dia properti yang bisa dikontrak? Nggak! Tolak Mae. Meski tawaran yang diberikan Eni cukup menarik. Tapi apa kata ayah jika tahu ia bermain-main dengan yang namanya pernikahan. "Sori. Gue nggak mau," tolak Mae halus. "Why!?" Nada suara Eni terdengar sedikit lebih meninggi dari sebelumnya tapi dengan segera ia mengecilkan volume suaranya ketika beberapa pasang mata mulai tertuju ke arahnya. "Gue nggak mau. Titik." "Lo yakin?" Mae mengangguk mantap. "Okay. Tapi lo bisa segera hubungi gue kalau suatu waktu nanti lo berubah pikiran." "Kenapa gue mesti berubah pikiran?" "Ya karena bunglon aja bisa berubah warna untuk melindungi dirinya. Terus kenapa lo nggak bisa berubah pikiran buat melindungi diri lo sendiri yang hampir jadi tunawisma," ejek Eni. "Sialan lo! Lo temen apa bukan sih? Kok kejam banget sama gue," tanya Mae tak percaya dengan pendengarannya. "Temen lo dong! Buktinya gue baik tawarin lo duluan sebelum gue tawarin yang laen," balas Eni yang sukses membuat Mae geram dan memilih menyomot satu bakso dari mangkuk temannya. Alhasil Eni memekik mulai melakukan aksi balas dendam. *** Hanya keheningan yang tercipta di dalam ruangan dengan meja melingkar panjang oval dikelilingi oleh kursi yang jumlahnya dua puluh dua itu. Lima menit yang lalu Edward baru sana selesai rapat dengan beberapa staff kantor milik ibunya. Meski bukan dia bos-nya tapi untunglah kepiawaiannya dalam berbisnis mampu mengendalikan perusahaan ini. Karena sejak dia menyukai properti, Edward memutuskan untuk berbisnis jual-beli properti dengan kedua tangannya sendiri daripada meneruskan usaha ayahnya yang memiliki hotel berbintang empat di beberapa kota besar di tanah air. Suara desah napas lolos dari bibirnya. Hampir dua jam lamanya mereka melakukan rapat, akhirnya semua pemegang saham setuju jika dia-Edward Clay Gunawan menjadi CEO atas Pure Purnama Hotel. Dengan harapan ibunya akan siuman jika mendengar berita ini. Berapa kali beliau memohon kepadanya untuk memegang bisnis keluarganya? Satu kali? Lima kali? Tidak. Tidak terhitung sudah berapa kali ibu memintanya untuk menggantikan beliau melanjutkan usaha hotel ini. Tapi sekarang Edward tidak punya pilihan lain. Sama seperti dengan permintaan ibunya untuk segera menikah. Hal itu pun akan ia lakukan. Tak peduli siapa perempuannya asalkan ibu bisa kembali sehat, Edward bersedia melakukannya. Soal Kayana ia akan membicarakannya pada kekasihnya itu. Karena meski ia menikah kelak, rasa cintanya tetap untuk Kayana. Asalkan Kayana bersedia menunggunya. Suara pintu diketuk terdengar di telinga Edward. Selanjutnya seorang pria dengan rambut terpotong rapi dengan kacamata bertengger di hidungnya melangkah masuk. Edward memiringkan tubuhnya dan menemukan Hendra, tangan kanan sekaligus orang kepercayaannya berdiri tegak. "Bagaimana? Kamu berhasil menemukan yang perempuannya?" tanya Edward datar. "Belum Pak. Tapi istri saya sudah menemukan perempuan yang tepat untuk menjadi istri anda. Hanya tinggal menunggu waktu. Saya akan mengirimkan biodata perempuan itu," jawab pria bernama Hendra itu. Edward mengangguk mengerti. "Berikan apa saja yang perempuan itu inginkan. Yang terpenting ibuku bisa kembali sehat." "Baik Pak." Selesai mengatakannya Hendra pamit undur diri. Tapi selang dua menit kemudian ponselnya bergetar. Dalam diam Edward membuka pesan di ponselnya dan saat itulah ia menemukan biodata seorang perempuan yang dimaksud Hendra. "Vanessa Mae." Di tempat lain dengan waktu yang sama Mae bersin-bersin sampai lebih dari tiga kali. Padahal dia yakin jika tadi dirinya masih baik-baik saja. Tapi kenapa sekarang bersin berkelanjutan? "Kamu sakit Mae?" tanya Anya. Teman yang mejanya terletak tepat berseberangan dengan meja Mae. "Nggak kok. Cuma gatel aja ini hidung," jawabnya singkat. "Oh..okay. Kalau nggak enak badan bilang aja. Kamu bisa pulang duluan hari ini," imbuh Anya yang tampak khawatir ketika melihat Mae kembali bersin. "Nggak apa-apa kok. Aku baik-baik aja," katanya meyakinkan. Meski begitu tidak dengan hatinya. Hatinya sedikit bertanya-tanya ada apa dengan hidungnya? Mengapa mendadak menjadi gatal begini? Apa benar kata mitos? Jika bersin-bersin itu artinya ada orang lain yang sedang membicarakan dirinya? Ah...mana mungkin. Dia kan bukan artis terkenal. Jika ada yang membicarakannya pasti ayah. Karena beliau masih terus berusaha mempromosikan putrinya yang berusia dua puluh delapan tahun yang masih betah menjomblo. Mae menarik napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan pekerjaannya. Sedangkan di tempat lain Edward masih memandang biodata milik Mae. Setelah yakin ia langsung menghubungi seseorang. "Aku ingin dia menjadi istriku." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD