Satu

1036 Words
"Maaf ya, Mae. Ibu jadi tidak enak sama kamu. Apalagi kamu sudah jadi penghuni paling lama di kontrakan ini," ujar Ibu Yuda. Pemilik rumah yang sudah Mae tinggali selama tiga tahun terakhir ini. "Iya nggak apa-apa, Bu. Saya juga ngerti kok. Apalagi yang namanya kepepet," sahutnya diiringi tawa hambar. Baru saja Ibu Yuda memberinya info untuk segera pindah dan mencari rumah kontrakan baru karena ayahnya yang terkena kanker paru-paru membutuhkan biaya pengobatan yang cukup besar. Sehingga beliau memutuskan untuk menjual rumah ini. Memang bukan rumah besar. Hanya rumah sederhana yang terdiri kamar satu kamar dan dapur mungil. Meski begitu Mae merasa nyaman. Suasana lingkungannya yang tenang selalu berhasil membuat dirinya bekerja dan beristirahat dengan baik. Belum lagi yang biaya sewanya masih terjangkau dengan gajinya selama ini. "Sekali lagi maaf ya, Mae." Ditepuknya sebelah bahu Mae untuk menutupi rasa bersalah yang memenuhi hatinya. "Minggu depan harus sudah kosong ya," imbuhnya tidak enak. "Baik, Bu." Setelah kepergian Ibu Yuda, Mae menarik napas panjang. "Bagaimana caranya mendapatkan tempat tinggal baru dalam waktu satu minggu? Gajian saja belum," desahnya. Mae bukanlah penduduk asli Ibu Kota. Kota kelahirannya adalah Kota Bandung. Di sanalah dia dibesarkan hingga lulus kuliah. Selesai kuliah dia langsung mencoba mengadu nasib di Ibu Kota, beruntungnya dia dapat bekerja di salah satu kantor percetakan yang membuatnya mendapatkan pekerjaan sebagai editor. Meski gajinya tidak besar tapi Mae sangat menyukai pekerjaannya yang didasarkan dari hobinya yang menulis dan membaca. "Cuti?" ulang Martin selaku kepala redaksi atau lebih tepatnya atasannya Mae. "Iya, Pak. Saya mau ambil cuti saya tahun lalu soalnya saya mesti pindah dalam satu minggu. Jadi, kalau nanti saya sudah mendapatkan tempat baru saya mau izin cuti untuk pindahan," jawab Mae. Martin tampak berpikir sebelum akhirnya mengangguk mengerti. "Baiklah. Tapi saya maukamu  tetap siaga jika ada pekerjaan yang membutuhkanmu." "Baik, Pak. Terima kasih," sahut Mae disertai senyum terbaiknya. Malamnya meski pekerjaan telah selesai Mae menyempatkan diri untuk browsing di beberapa website properti yang menyediakan jasa menyewakan rumah, kost ataupun kamar di apartemen kecil. Setidaknya ia harus segera keluar secepatnya. Jika tidak betah dengan tempat tinggal baru dia bisa mencarinya lagi nanti. Yang terpenting saat ini adalah keluar tepat waktu tanpa perlu diusir. Bukankah memalukan jika sampai diusir? Tanpa terasa sudah satu jam dia berkutat dengan laptopnya. Hingga terdengar ketukan pada meja berhasil mengalihkan tatapan Mae dari layar laptop. "Balik nggak?" tawar Eni. Salah satu editor sekaligus teman terdekat Mae di kantor ini. "Lima menit lagi gue keluar," jawab Mae cepat yang dibalas anggukan oleh Eni. Setelahnya perempuan berusia tiga puluh tahun dengan satu anak perempuan itu melangkah menjauh dari mejanya dan memilih menunggu di dekat lift. Tepat lima menit kemudian Mae selesai dan melangkah bersama menuju parkiran bersama Eni. Saat itulah di perjalanan ia menceritakan masalah yang sedang dialaminya kepada Eni. "Satu minggu? Nggak salah? Mana mungkin semudah itu. Memangnya pindah kelas, tinggal bawa ransel." Eni memandang wajah Mae dengan pandangan tidak percaya. "Maka dari itu gue butuh bantuan lo. Seenggaknya kamar kostan dulu juga oke. Sekalian ngirit tabungan dan tenaga. Lo punya kenalan nggak ibu kost gitu misalnya?" "Eh buset ini anak dikira gue ibu-ibu tukang gosip apa? Maennya sama ibu kost." Mae terkekeh. "Maksud gue siapa tahu lo punya temen yang memang usahanya sewa kamar kost-kostan gitu. Atau rumah kontrakan yang kecil juga boleh." "Kayaknya nggak ada...." Dahi Eni menyatu. Tanda ia sedang berpikir keras. Lalu tiba-tiba langkahnya terhenti. "Kayaknya tetangga gue ada yang mau menyewakan kamar di rumahnya. Gue nggak tahu pasti sih." Mendengar jawaban Eni membuat mata Mae berbinar-binar penuh harap. "Serius? Kalau gitu tolong gue pliiisss..." "Tapi masalahnya gue nggak yakin dia beneran mau sewain atau nggak. Nanti gue tanyain dulu deh sama dia," desah Eni. "Okee... secepatnya. Gue nggak bisa nunggu lama-lama. Keburu ditendang gue yang ada..." perintah Mae. "Siap Ibu Bos." Tangan kanan Eni diangkat menyentuh keningnya seakan memberi hormat. Alhasil Mae tersenyum dibuatnya. Untunglah langkah mereka sampai di depan mobil milik Eni. Dimana seperti biasa Eni  akan dengan baik hati mengantarkannya ke rumah kontrakannya terlebih dahulu karena kebetulan rumah mereka searah. Dan thank's to Eni setidaknya Mae dapat menghemat gaji bulanannya. *** Kesunyian menyelimuti suasana kamar. Dari balik bulu matanya pria itu menatap sosok yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Napasnya yang teratur membuat hatinya sedikit lebih tenang. Harapannya hanya satu, ia ingin ibunya segera sembuh. Ingin melihat wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya bisa tertawa dan mengomelinya lagi. "Keinginannya hanya satu," kata Rudi beberapa hari lalu ketika ibunya masuk ICU. Pria paruh baya yang telah setia menjadi pengacara keluarganya sejak ia masih berusia lima tahun. "Ingin melihat anda menikah." "Saya baru tiga puluh tiga. Mengapa harus menikah secepat itu?" Menikah adalah hal terakhir yang pernah ada di dalam pikirannya. "Karena anda adalah anak tunggalnya. Keluarga satu-satunya. Beliau takut jika beliau pergi sebelum melihat anda menikah," imbuh Rudi mengingatkan. Desah lolos dari bibirnya. Bagaimana caranya dia mengabulkan keinginan ibunya tanpa mengganggu bisnis dan hubungannya dengan Kayana? Pekerjaan Kayana sebagai model membuat perempuan itu belum siap menikah. Terutama saat ini karirnya sedang naik daun! Belum lagi siratan mata ibunya yang tampak tidak menyukai kekasihnya. Bagaimana bisa ia menikahi Kayana jika ibunya selalu bersikap dingin setiap kali mereka bertemu? Edward mengusap wajahnya dengan pikiran yang membuat kepalanya sakit. Kenapa jadi begini? Kenapa juga harus pernikahan? Kenapa ibu tidak minta pesawat jet atau berlian? Mungkin itu akan memudahkan Edward untuk mengabulkan permintaan beliau. Tidak! Edward harus segera memutar otaknya untuk menyelamatkan ibu dan dirinya. Bukankah untuk itu ia diberi IQ di atas seratus empat puluh? Semenit, dua menit, lima menit, sepuluh menit, dan empat belas menit, tiba-tiba saja sebuah ide terlintas di dalam benaknya. Ia tidak bisa menikah. Tapi sepertinya dia bisa menikah kontrak. Yang terpenting adalah mencari istri yang bisa ia kontrak! Setidaknya hubungannya dengan Kayana tetap aman dan Ibunya bisa sehat kembali. Setelah ibunya sehat, mereka bisa bercerai kapan saja. Satu atau dua tahun rasanya cukup untuk membuat pernikahan kontrak itu terasa nyata. Yang terpenting adalah meyakinkan Kayana jika pernikahan itu adalah palsu dan Kayana mau menunggunya. Dengan cepat Edward meraih ponselnya lalu menekan nomor seseorang. Sambil menunggu sambungannya terjawab, ia melangkah keluar kamar. Tepat ia berhasil menutup pintu kamar ibunya, panggilannya terjawab. "Bisa tolong aku?" Edward terdiam sejenak. "Bisa tolong carikan seorang perempuan yang bisa digunakan untuk istri kontrak?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD