Prolog

226 Words
Heran adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Mae saat ini. Kok bisa? Tentu saja bisa! Saat ini hatinya sedang menimbang-nimbang. Haruskah ia menandatangi kertas putih di hadapannya atau tidak? Tanpa sadar Mae mulai menggigiti kuku jari telunjuknya. Kaki kanannya mulai bergoyang-goyang bak tukan penjahit. Keraguan mulai memenuhi hatinya. Haruskah dia menandatangani surat itu atau tidak? "Lama banget sih mikirnya? Apa lagi yang perlu dipikirkan? Sudah jelas keuntunganmu di sini cukup besar," sindir Edward sambil bersedekap. Kekesalan mulai muncul di dalam hatinya. "Bisakah anda bersabar sedikit? Tanda tangan juga ada prosesnya. Loading...." balas Mae cepat.  Akhirnya yang dilakukan Edward hanya mendengus kencang. Sengaja memang. Supaya Mae mendengarnya. Faktanya dia adalah bos di sini. Tapi mengapa dia yang harus menunggu? Hal yang paling jarang dilakukannya selama ini. Mae menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya ia menggerakan bolpoin yang dipegangnya dengan jantung berdebar-debar. Semoga saja ini adalah keputusan yang benar, rapalnya dalam hati berulangkali. Selesai. Dalam dia dan dengan hati yang tegang Mae memandang tanda tangannya yang sudah tertera di atas kertas. Selesai sudah. Ia telah menjual dirinya kepada pria itu untuk dua tahun lamanya. Dalam diam Edward memperhatikan semua itu dan ketika Mae menandatangani kertas tersebut kedua sudut bibirnya naik ke atas. Membentuk senyum kemenangan. "Selamat! Kalian berdua sudah sah menjadi pasangan suami dan istri!" teriak seseorang diantara mereka yang berhasil membuat pasangan tersebut melotot ke arahnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD