Bab 02

3395 Words
Keluarga  hanya lah  ikatan  satu  kali. Karena  di  kehidupan  selanjut nya apakah  saling  mencintai atau  tidak, tetap  tidak akan  bertemu  lagi | | | Tahun 1988.Rumah di ladang gandum, tepi kota. London—Inggris.     Winna menyisir rambut Raya perlahan. Jemari lentik gadis berparas cantik itu terlihat sangat apik memperlakukan rambut ikal milik gadis yang paling kecil di antara mereka tersebut. Apalagi rambut Raya adalah yang paling susah diatur di antara rambut Winna maupun April, berbeda dengan Dere yang meski pun tidak perlu disisir, rambut itu akan tetap terlihat indah seolah tidak terpengaruh angin atau apa pun. Menggunakan sisir yang giginya sudah patah di banyak bagian, Winna tetap saja apik menyisir rambut itu penuh perhatian, sementara Raya asyik bermain dengan boneka lusuh yang dia miliki. Boneka itu di temukan Hetshin saat sedang membuang sampah dari gudang Uncle Bob—si pria tua yang selalu baik memberikan anak-anak itu pekerjaan untuk sekedar mendapatkan makan setiap hari. Meski sudah lusuh dan nyaris tidak berbentuk, serta kotor dan penuh debu. Hetshin merasa kalau benda itu masih layak digunakan setelah dibersihkan, akhir nya setelah Hetshin meminta izin pada Uncle Bob untuk mengambil benda itu agar bisa dia berikan pada Raya, dan sampai saat ini Raya sangat menyayangi boneka yang dia dapatkan dari Hetshin tersebut. “Dere,” panggil Raya pada gadis yang duduk tepat di depan nya, memandang hampa pada dunia, “apakah hari ini Neo juga pergi bekerja?” lanjut nya disela Winna menyisir rambutnya. “Iya, mereka pergi bekerja untuk mencari makanan untuk kita.” Jawab Dere dengan sangat lembut dan senyum yang tersungging indah. “Apa Hetshin juga ikut bersama Neo?”  tanya Raya lagi dengan suara khas anak-anak milik nya. “Allan, Neo dan Hetshin sudah pergi sejak pagi-pagi sekali,” Winna menjawab sambil terus menyisir rambut keriting Raya yang agak sulit diatur. Meski sesekali bocah itu mengaduh karena perih rambutnya tercabut beberapa, Winna tetap saja tidak berhenti.                     “Nanti, kalau Raya juga sudah besar mau ikut membantu Neo bekerja biar bisa dapat makanan dan uang yang banyak!” “Kalau begitu Raya harus banyak belajar agar pintar agar nanti bisa dapat pekerjaan lebih baik dari pada Neo.” Raya tersenyum mendengar penuturan Winna. Dia benar-benar tidak sabar menunggu saat di mana dia jadi dewasa dan bisa membantu ke luarganya memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Sementara Raya berangan menjadi dewasa lebih cepat. Hetshin, Allan, Ben dan Neo sedang sibuk mengangkut ilalang dan batang-batang jagung kering yang sudah tidak terpakai, mengumpulkannya dalam satu gundukan besar agar bisa mereka bakar  setelah semua nya selesai. “Kau kenapa?” tanya Ben saat melihat wajah Hetshin yang semakin pucat. Tapi Hetshin hanya menggeleng. “Kau yakin?” Ben tidak percaya, “sebaiknya kau pulang dan beristirahat, biar aku yang bilang pada Uncle Bob, sepertinya demammu belum benar-benar sembuh?” Sementara dua anak itu mengobrolkan kesehatan Hetshin, Neo yang sedang sibuk menarik batang-batang pohon jagung kering ke gundukan yang sudah dia buat sebelum nya terlihat penasaran karena kedua anak itu hanya berdiri di tengah kegiatan mereka yang belum selesai,  akhir nya Neo meninggalkan sejenak pekerjaan nya dan mendekati mereka karena khawatir. “Ada apa?” tanya Neo sedikit panik. “Tidak, bukan ap—“ “Wajah Hetshin pucat begitu, Neo. Aku akan bilang pada Uncle Bob kalau Hetshin masih butuh istirahat.” Ben memotong kalimat Hetshin sebelum bocah berkepala pelontos itu menyelesaikan kalimatnya. Panik. Tangan Neo segera ditaruh di dahi Hetshin, berlagak seprti orang dewasa untuk mengukur suhu tubuh saudara nya.  “Sebaiknya kau pulang saja, biar Allan yang mengantarmu pulang.” “Tidak,  aku sudah dua hari di rumah dan tidak menghasilkan apa pun biarkan aku di sini dan membantu kalian.” “Tidak! Aku tidak ingin saat kau masih sakit tapi terus tetap bekerja, pulanglah biar Allan yang mengantarmu.” “Neo benar. Sebaiknya kau pulang dan istirahat.”  Ben ikut khawatir. Awalnya Hetshin tidak yakin dengan ide untuk pulang. Karena sudah dua hari ini Neo hanya bekerja sendirian, sementara mereka hanya diam di rumah dan menunggu makanan datang. Tapi dia juga memang tidak bisa memaksakan diri untuk terus bekerja, kepala nya pusing dan rasanya badannya memang tidak bisa dipaksakan untuk terus melakukan kegiantan berat terlalu lama. Hetshin akhir nya menyerah, mengembuskan napas nya pasrah, setelah berdamai dengan dirinya Hetshin mulai mengikuti perintah saudara nya itu untuk pulang. “Baiklah, tapi aku akan pulang setelah minta izin pada Uncle Bob.” “Syukurlah, biar nanti Allan yang mengantarmu.” Ujar Neo lega. “Tidak, aku bisa pulang sendiri.” Hetshin  tersenyum, lalu bergerak mendekat ke arah pria tua buntal dengan tangan yang terus memegang cerutu kayu yang sesekali dia hisap dan dia gigit dengan giginya, saat sedang menulis beberapa kata dalam buku kecil yang dia bawa. “Uncle Bob,” panggil Hetshin untuk mendapatkan perhatian pria itu. “Oh, ada apa?” “Apa, aku boleh minta izin untuk pulang lebih awal hari ini?” Mendengar Hetshin berkata demikian, dia mengalihkan perhatiannya dari catatan yang sejak tadi dia lilhat. Menatap bocah berkepala pelontos yang berdiri takut di depan nya lalu bertanya, “Kenapa? Demammu belum sembuh?” Hetshin mengangguk pelan. Dia belum pernah ditatap seperti itu oleh Uncle Bob sebelumya. Meski pun anak-anak itu tahu kalau Uncle Bob tidaklah semengerikan perawakannya, tapi tetap saja, terkadang mereka takut kalau harus bicara sambil bertatap muka dengan pria tua bertubuh buntal tersebut. “Pulanglah, biar nanti  upah jatahmu hari ini kutitipkan pada saudara-saudaramu.” Ujar Uncle Bob tanpa ragu. “Terimakasih, Uncle.” Hetshin sedikit tersenyum. Kembali menghampiri Neo, Hetshin mengatakan kalau dia sudah meminta izin pada Uncle Bob untuk pulang. “Syukurlah, Allan akan mengantarmu pulang kalau begitu.” “Tidak, aku bi—“ “Tidak! Bagai mana kalau kau pingsan di tengah jalan?” Neo memaksa. Sebenarnya Hetshin tidak pernah suka kalau Neo terlalu memedulikan mereka seperti seorang ayah, padahal mereka juga hanya anak-anak yang butuh perhatian orang tua yang tidak mereka miliki sama sekali, dan rasanya tidak  harus ada yang bersikap demikian di antara mereka. “Baiklah, terima kasih.” Hetshin berjalan bersama Allan, melewati jalanan yang biasa mereka lalui, melewati ladang gandum tinggi yang sebentar lagi memasuki masa panen. Saat tidak lagi melihat dua saudara nya di sana, Neo kembali mengajak Ben untuk melanjutkan pekerjaan mereka. Sementara Neo dan Ben melanjutkan pekerjaan nya,  Raya berlarian di halaman depan rumah kumuh yang menjadi tempat singgah mereka selama ini, gadis kecil itu asyik bermain dengan April, mengayunkan ayunan yang beberapa hari lalu dibuat oleh Allan bersama Hetshin menggunakan tali yang mereka dapatkan saat membersihkan gudang Uncle Bob,  juga sebuah ban bekas yang mereka bawa di pembuangan sampah di dekat kota. Memang tidak terlalu kuat untuk menampung berat badan dua orang, tapi itu cukup kuat jika hanya untuk digunakan oleh Raya. Gadis kecil itu sangat disayangi oleh semua penghuni rumah ini. Bukan hanya karena usianya yang paling kecil dari semua anak-anak itu, tapi karena Raya-lah mereka semua belajar. Dari seorang anak kecil yang tidak pernah melihat wajah orang tuanya sendiri, tapi dia sama sekali tidak pernah mengeluh sementara mereka? Mereka terkadang masih mengeluh untuk bisa memiliki sebuah ke luarga utuh. Meski sebenarnya mereka sudah memiliki ke luarga yang mereka inginkan di rumah ini. April mengayunkan ayunan yang dinaiki Raya,  membuat gadis kecil itu kegirangan sendiri, sedangkan Winna hanya duduk di pelataran rumah bersama Dere, sambil mengepang rambut perak panjang milik gadis dengan warna rambut tidak biasa itu. “Aku penasaran,”  Winna memulai percakapan,  “bagai mana rambutmu bisa sangat indah?” tanya Winna tanpa melepaskan jemari mungilnya dari rambut Dere. “Benarkah?” Dere merespon sangat antusias. Dia tidak pernah dapat pujian sebelum nya untuk rambut yang tidak pernah bisa dia lihat. “Tapi Dere...,” lanjut Winna,  “kenapa waktu Neo menemukanmu, tubuhmu penuh luka?” ingat Winna saat Neo membawa Dere ke rumah ini dengan tubuh penuh luka dan noda darah hampir menutupi seluruh baju yang dia kenakan. Sekarat, mungkin itulah gambaran jelas untuk Dere saat itu. Meski demikian, dengan sangat telaten Neo merawat seluruh luka Dere sampai dia bisa sembuh seperti ini. Hanya saja, alasan kenapa gadis dengan sepasang mata tanpa cahaya kehidupan itu bisa sampai seperti itu, mereka sama sekali tidak pernah tahu. “Aku, tidak tahu ....”  Dere menundukkan wajah nya dan Winna dapat merasakan kalau Dere sama sekali tidak ingin mengingat apa pun soal bagai mana dia mendapat luka-luka itu juga trauma yang membuat nya histeris hampir setiap malam. Berteriak dan selalu dihantui oleh ketakutan. Winna terdiam. Jemarinya yang piawai yang sejak tadi terus mengepang rambut Dere pun ikut berhenti. Selalu itu, selalu kalimat yang sama yang dike luarkan oleh Dere. Mungkin Winna bisa mengesampingkan rasa ingin tahunya sejenak dan membiarkan Dere bersama pikirannya, dia tidak ingin kalau sampai Dere histeris tiba-tiba karena dipaksa terus menerus mengingat kejadian yang mungkin sangat ingin dia lupakan. Ah,   setiap orang punya satu atau dua hal yang coba mereka ditutup rapat-rapat, bukan? Bukan untuk membuat orang lain iri, tapi untuk melindungi dirinya sendiri. Mungkin itu juga yang sadang dilakukan Dere sekarang. Hanya saja ada satu lagi pertanyaan yang bergelayut di kepala Winna, yaitu tentang bagai mana bisa warna rambut seseorang bisa berwarna putih seperti ini? “Winna?!” suara Raya mengagetkan Winna yang sedang memandangi rambut perak indah Dere. Terlonjak karena kaget, Winna nyaris saja memarahi gadis kecil yang selalu memeluk boneka lusuh yang di berikan Hetshin padanya tempo hari. “A—ada apa?” “Apa Neo akan pulang malam lagi hari ini?” “Aku tidak tahu, mungkin saja, karena ladang Uncle Bob masih memanen jagung sekarang, jadi Neo dan yang lainnya mungkin  akan pulang malam lagi.” Medengar jawaban Winna, wajah Raya tiba-tiba berubah sendu. “Kenapa kau sedih?” “Aku, hanya ingin bermain dengan Neo ....” “Raya, Neo itu kan setiap hari pergi bekerja, nanti ka—“ “Raya mau susul mereka, Raya mau ikut pergi kerja sama Neo.” “Raya,” panggil Dere dengan suara lembutnya. Tersenyum sambil mengulurkan tangan nya ke arah gadis kecil itu, meski sebenarnya dia tidak ada di sana. Kasihan melihat Dere mengulurkan tangan nya ke arah yang salah, Raya bergerak mendekati Dere dan menyentuhkan tangan nya pada gadis cantik itu. Menarik tangan putih kurus itu ke arahnya dan dia letakkan tepat di wajah nya.  Merasakan tangan nya menyentuh wajah mungil milik Raya, Dere kembali mengulas sebuah senyum. “Raya jangan ke sana, di sana bukan tempat untuk gadis cantik sepertimu. Nanti aku akan bilang pada Neo kalau Raya merindukan Neo, mungkin Neo bisa untuk tidak pergi bekerja sehari saja agar bisa menemani Raya bermain.” Tuturnya halus menenangkan. Mendengar Dere berkata demikian, senyum yang semula hilang di wajah Raya kembali mengembang lebar. Semua orang di rumah itu tahu kalau Neo tidak akan menolak apa pun yang diinginkan Dere jika dia sudah meminta. “Dia benar, kau seharusnya di rumah sampai Neo kembali.” Suara yang dikenalnya mengagetkan Raya. Spontan Raya menoleh ke belakang dan betapa terkejutnya dia menemukan Hetshin dan Allan yang pulang lebih cepat dari biasa nya. Berteriak, Raya langsung berlari menghambur ke pelukan Hetshin sambil meneriaki namanya. “Kami pulang ....” ujar Hetshin dengan suara lembut, sambil mengelus rambut ikal Raya dalam pelukannya. Tinggi Raya yang hanya sebatas d**a bawahnya membuat Hetshin sama sekali tidak kesulitan untuk mengelus kepala gadis kecil itu. “Kenapa Hetshin dan Allan pulang? Di mana Neo?” “Demam Hetshin masih belum hilang, jadi aku mengantarnya pulang.” Allan menjawab penuh senyum lalu ikut mengelus kepala Raya. “Benarkah?” Raya memastikan, lalu di jawab anggukan oleh bocah berkepala pelontos tersebut, “kalau begitu Hetshin harus banyak istirahat. Ayo ke kamar.” Raya menarik tangan Hetshin, memaksa orang dengan tubuh lebih besar darinya itu untuk patuh dan mengikuti nya. “Kalau begitu aku kembali ke ladang, ya?” Allan memotong. “Kau mau kembali ke ladang?” kali ini Hetshin penasaran. “Iya, kasihan Neo hanya dibantu Ben. Lagi pula pekerjaan hari ini cukup banyak.” “Kalau begitu ... terima kasih sudah mengantarku pulang.” “Tidak masalah, kita ini kan ke luarga, kita harus saling menjaga satu sama lain.” Allan kembali mengatakannya penuh senyum, melambaikan tangan lalu pergi meninggalkan ke luarga kecilnya.   ₪ ₪ ₪   Awan mendung terlihat beriringan menghampiri Neo yang berjalan menyusuri ladang gandum. Melewati jalur yang paling dekat menuju ke rumah, seperti yang selalu dia lakukan setiap hari. Beruntung cuaca terik siang tadi berganti sejuk dengan semilir angin yang menyentuh kulit, bahkan jaket yang dipakai Neo tidak bisa terlalu membuat nya merasa lebih hangat di tengah tempat terbuka seperti ini. Tapi setidak nya, dia bisa sedikit merasa nyaman. Neo hanya berjalan sendirian di tengah gelapnya malam, sementara Ben dan Allan sudah dia suruh pulang duluan setelah mendapat upah bagian mereka juga membawa upah bagiannya terlebih dulu. Dia tahu kalau perut ke luarganya tidak akan bisa menunggu sampai malam tiba.  Celana yang dipakai Neo terlihat sedikit basah karena setelah semua pekerjaan di ladang selesai, dia kembali membantu  anak laki-laki Uncle Bob untuk  membersihkan kandang babi. Sebenarnya itu bukan bagian dari pekerjaan yang dijanjikan oleh pria buntal bernama lengkap Bobby Rothrengrow tersebut, tapi karena seorang pekerja  yang biasa melakukannya sedang sakit, jadi dia dengan suka rela menggantikan pekerjaan tersebut. Berkat pekerjaan tambahan yang dia ambil, Neo mendapatkan makanan lebih untuk dia bawa pulang. Istri Uncle Bob memasak cukup banyak makanan malam ini, seperti biasa nya jika mereka punya sedikit makanan lebih maka mereka selalu membagi apa pun itu pada Neo dan ke luarganya. Dan sekarang, dalam kantung makanan yang dia bawa, berisi beberapa potong ayam goreng yang nikmat. Makanan mewah yang mungkin tidak bisa setiap hari mereka dapatkan. Gelap memang tidak menghalangi Neo untuk terus bergerak lurus menuju ke rumah nya,  bulan bersinar sangat terang di atas sana meski sesekali awan menutup dan menghalangi jalannya, hingga tanpa sadar dia sudah berada di sana. Di ujung ladang gandum yang membawanya pada jalan setapak di mana di ada rumah kumuh dengan sebatang pohon tua yang ditumbuhi benalu. Angin malam sedikit mamainkan ayunan dari seutas tali dan ban bekas yang diikat pada batang pohon besar tersebut. Meski terlihat sedikit mengerikan, tapi tempat itu adalah rumah nya sekarang. Senyum lebar mengembang di wajah Neo, dia benar-benar tidak sabar membagikan makanan yang dia bawa pada seluruh saudara nya. Neo juga yakin kalau Raya pun akan sangat senang apalagi mereka semua sangat jarang makan daging seperti ini. Tapi .... Langkah Neo tiba-tiba berhenti. Gelap menyelimuti seluruh rumah tersebut. Bahkan cahaya rembulan yang bersinar sejak tadi pun tak berhasil membuat nya bisa melihat dengan jelas. Rumah kumuh itu memang tidak pernah seterang rumah-rumah warga pada umumnya yang memiliki banyak penerangan listrik yang menyinari berhagai sudut ruangan, tapi  tetap saja tidak pernah segelap ini. Neo meremat kantung kertas coklat yang dia bawa kuat-kuat. Perasaan khawatir tiba-tiba menyelusup kalut ke dalam pikirannya. Setiap kali dia pulang, Neo memang tidak pernah melihat anak-anak itu berada di luar rumah, tapi seperti yang dia bilang tadi kalau semua nya tidak pernah seperti ini. “Dere? Raya?” Neo coba memanggil ke luarganya tapi tak mendapat respon apa pun. “Allan, Winna? Hetshin...?” panggilnya lagi sambil mencoba berjalan porlahan  menuju ke arah pintu. Meneguk ludahnya, Neo tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana tapi semilir angin yang berembus membuat kuduknya berdiri, memainkan tali ayunan yang dibuat Hetshin dan Allan beberapa hari lalu,  sementara ban yang selalu digunakan Raya bermain sudah ada di atas tanah, tergeletak begitu saja seperti diputus oleh sesuatu. “Mungkin, talinya sudah tidak kuat...?” itulah pikiran Neo, mengingat Hetshin meminta tali itu saat mereka membersihkan gudang  milik Uncle Bob. Mungkin tali itu terlalu rapuh jadi tidak kuat menahan beban yang terlalu berat. “Dere...?” sekali lagi Neo mencoba memanggil, tapi tetap tak ada jawaban. Tiba di depan teras, Neo tidak menemukan  pintu kayu mapple tua yang selalu berderit tiap kali dibuka. Pemandangan yang semakin membuat napas Neo tak beraturan. Tubuhnya tiba-tiba gemetar saat dia sadar kalau ini memang tidak pernah terjadi sebelum nya.  Seolah sesuatu sudah terjadi!  Seharusnya ada banyak anak di rumah ini, namun malam ini kesunyiannya seolah sedang mengalahkan pemakaman. Atmosfer di sekitar Neo  terasa sangat  berat saat hidung bocah beriris zamrud itu mencium bau anyir yang menyeruak memenuhi panca indra saat kaki nya melangkah masuk ke dalam rumah. Beberapa kali kaki nya terantuk serpihan kayu namun dia masih dapat menyeimbangkan tubuhnya untuk terus berdiri dan berjalan. Bahkan sepasang tangan nya pun masih memeluk erat bungkusan makanan yang dia dapatkan dari Uncle Bob. Bau anyir perlahan menyeruak bersama semilir angin yang berembus melewati celah-celah bolong dinding kayu rumah mereka. Membuat nya mual dan sangat ingin muntah tapi, Neo masih terus masuk. Dia ingin menemukan anggota ke luarganya. “Raya, Dere, Alla—“ Suara Neo tercekak saat kaki nya tersandung sesuatu yang lebih besar, membuat nya terjatuh dengan posisi tertelungkup. Yang tentu saja membuat makanan yang dibawanya jatuh berantakan di lantai yang basah. Neo meringis sakit saat dagunya menyentuh lantai dan berdarah. Saat Neo menyentuh dagunya, bukan hanya luka lecet yang dia dapatkan tapi tetesan darah yang dia dapat bukan dari lukanya.  Bukan darah itu yang membuat Neo terkejut, melainkan tubuh seorang anak yang sangat dia kenal tergeletak di lantai bersama bau anyir yang pekat. Bahkan darah yang ke luar dari tubuhnya telah menggenangi lantai dan membuat baju terindah yang dimiliki anak itu berubah menjadi merah kehitaman. Cahaya rembulan yang menyelusup masuk melalui celah atap rumah mereka yang bocor, membantu Neo melihat jelas dalam kegelapan di dalam rumah bobroknya. Membuat nya dengan jelas melihat sosok yang membuat nya tersandung dan jatuh ke dalam kubangan darah berbau anyir yang sangat menyengat. Itu bocah yang sangat dia kenal. Bocah yang sangat dia sayangi dan selalu dia jaga sejak dia menemukannya.             “Ra—Raya ....” bisik Neo pada dirinya sendiri.              Neo mencoba meraih tubuh mungil Raya yang terbaring di lantai. Menggunakan pakaian yang sama yang terakhir kali Neo lihat sebelum dia meninggalkan rumah tadi pagi, memperlihatkan paha mungilnya yang penuh bercak darah dan luka di beberapa tubuhnya.             “Raya ... Raya ....” napas Neo tercekak. Dia tidak tahu apa yang ingin dia katakan dan apa yang harus dia lakukan.             Ditolong cahaya bulan, Neo juga dapat melihat bukan hanya Raya yang tergeletak tanpa nyawa di sana.  Di sana juga ada Ben, Allan dan tak jauh dari kedua orang itu ada Winna dan April yang ditumpuk jadi satu. Tentu saja dengan tubuh penuh darah dan ... tanpa nyawa. Juga kondisi rumah mereka yang sudah tidak seperti rumah lagi. Semua nya berantakan dengan dinding yang hancur dan perabot yang ada pun semua nya rusak.             Gemetar, air mata Neo jatuh tanpa suara.  Napas nya menggebu makin hebat dengan keringat dingin yang bercucur. Dia bahkan sudah melupakan kegembiraan yang dia dapatkan saat istri Uncle Bob memberinya beberapa potong ayam untuk tambahan makan malam mereka.             Perlahan tangan Neo mencoba meraih tubuh Raya, meski takut dia tetap mencoba.             Menggguncang tubuh mungil Raya, dan terus mencoba membangunkanya tapi ... Raya tetap tidak bangun. Seberapa keras pun dia berteriak meminta anggota ke luarganya untuk bangun tetap mereka tidak bisa mendengar teriakannya.             Neo melepaskan tangan nya dari Raya, bergerak mendekati Winna, April dan yang lainnya. Tapi ... langkahnya terhenti saat dia melihat seseorang ke luar dari kegelapan. Mendekatinya.             Neo memincingkan matanya. Dia tidak bisa melihat orang itu dengan jelas di tengah kegelapan, bahkan cahaya bulan pun tak dapat menolongnya sekarang. Siapa orang itu?  Kenapa kegelapan menyembunyikannya di dalam bayangan?             “Si—siapa kau?”             “Neo Arguandral.”  Sepasang mata Neo terbelalak saat orang itu menyebutkan nama lengkapnya dengan sangat fasih. Bukan hanya itu, Neo juga sangat mengenal suara itu, tapi ... dia tidak bisa melihat siapa orang itu dengan kegelapan seperti ini.             “Mungkin ini terdengar tidak adil untukmu tapi, karena kau adalah salah satu kelinci percobaan Garnet, aku tidak bisa berbuat banyak.” Ucapnya sambil bergerak perlahan mendekati Neo. Takut ... Neo pun bergerak mundur setiap orang itu semakin mendekatinya.              “kupikir aku bisa membawa Lucifer dengan mudah tapi ternyata, semua nya di luar perhitungan kami.”             “A—apa maksudmu?”             “Maaf karena kau harus kehilangan ke luargamu.” Ujarnya sangat datar. Neo tidak tahu siapa orang ini, tapi dia benar-benar mengenal suara itu. Suara yang sudah ada bersama nya cukup lama dan jadi bagian dari ke luarga mereka.             Belum habis keterkejutan Neo atas kehilangan yang dia dapapatkan. saat cahaya bulan yang kembali menyelusup melalui celah berlubang di atap rumah nya.  Memperlihatkan seseorang yang bicara padanya di dalam bayangan, dia adalah orang yang sangat dikenal Neo, sangat dia sayangi bahkan melebihi dirinya sendiri.             “Hetshin...?”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD