Bab 14 - Orang Misterius

1429 Words
Setibanya di depan agensi, Devan dan Ara mendapati Jenny yang sudah menunggu di depan, kebetulan ia baru saja memarkirkan mobil di parkiran. “Hei! Aku baru saja datang. Kalian udah mau pulang?” “Iya Kak, bisakah antarin kami sekarang?” “Ya, bisalah. Ayo!” Jenny lebih dulu melangkah menuju mobil sedan yang terparkir tak jauh dari sana dan dua lainnya mengikuti dari belakang. Ara mengambil tempat di sebelah kemudi sedangkan Devan duduk di jok belakang. “Jadi, apa yang sebenarnya terjadi sih? Aku sudah membaca berita tapi aku belum terlalu mengerti.” celetuk Jenny membuka suara di tengah perjalanan. Ara dan Devan saling berpandangan dari kaca spion depan mobil, “Nanti aja aku ceritain ya kak kalau sudah sampai rumah. Nanti antarkan Kak Devan aja dulu ke rumahnya baru antarin aku.” “Oh, ya udah kalau begitu.” Dan setelah itu hening kembali tercipta, Jenny sesekali melirik orang di sebelahnya maupun orang yang berada di jok belakang dari kaca spion depan mobil, tampak hanya diam memperhatikan jalanan. Setibanya di rumah Devan, Jenny memarkirkan mobil di halaman rumah bercat abu-abu itu. “Hm, kalau begitu aku turun ya, terima kasih atas tumpangannya.” “Iya sama-sama.” jawab Jenny. “Kak, maaf ya.” celetuk Ara tiba-tiba, Devan yang mengerti maksud dari Ara sontak menganggukan kepalanya. Sementara Jenny terlihat mengerutkan keningnya bingung. Devan pun turun dari mobil dan Jenny kembali mengemudikan mobilnya meninggalkan kediaman Devan. Selama di perjalanan Jenny kembali mencuri pandang ke arah orang di sebelahnya. “Ra!” “Eung?” Ara sontak mengalihkan pandangannya ke Jenny. “Kamu kenapa sih? Aku perhatiin daritadi kamu diam aja terus kamu kelihatan sedih. Kamu kenapa?” “Ah, benarkah? Aku ngga apa-apa kok, biasa aja.” “Apa masih berkaitan dengan berita baru-baru ini? Apa kamu tidak mau cerita sekarang?” “Nanti aja ya Kak kalau sudah sampai di apartemenku.” “Ya udah,” *** Kini Ara dan Jenny sudah berada di ruang tamu, Ara juga mengambilkan minuman dan snack ringan untuk Jenny. “Makasih ya Ra,” “Iya,” Ara pun mengambil duduk di salah satu sofa yang berbeda dengan yang di duduki Jenny. Jenny pun meneguk sedikit minuman dingin itu, kebetulan dia juga haus. “Aku egois ngga sih Kak sebenarnya?” Ara tiba-tiba bersuara hingga membuat Jenny yang sedang meneguk minuman mengalihkan pandangannya ke Ara. “Apa maksudmu?” “Kakak sudah dengar berita tadi pagi 'kan?” “Iya, sudah. Kamu dan Kak Devan berpacaran 'kan? Tapi, di sini ada yang ingin kutanyakan. Apa semua itu benar? Kamu dan dia sedang dalam suatu hubungan spesial? Kok aku bisa ngga tahu ya,” “Sebenarnya aku terpaksa menjawabnya begitu Kak. Karena kamu tahu 'kan kalau ada orang yang memberi kabar bila Kak Devan bermalam di tempatku hingga paginya kabar itu sudah beredar di kalangan para wartawan dan jurnalis dari berbagai media. Aku bingung harus menjawab apa, hingga akhirnya aku terpaksa menjawab begitu. Aku tidak ingin orang-orang berpikiran macam-macam padaku dan Kak Devan, karena Kak Devan diketahui bermalam di tempatku. Tapi, serius kami tidak berbuat apa-apa Kak, kami hanya tidur karena kebetulan semalam hujan deras dan mati lampu. Jadi, dia menginap di sini.” “Jadi, begitu ceritanya? Terus kenapa dia bisa sampai bermalam di tempatmu? Bukankah kemarin kamu tidak ada jadwal? Mau ngapain dia kemari?" “Iya, memang tidak. Aku sendiri yang memintanya untuk membantuku membersihkan apartemen sekaligus makan siang dan makan malam bersama di sini. Tapi, sekarang aku malah menyesal karena membuatnya terlibat dalam masalah ini.” Ara menunduk seraya mengerucutkan bibirnya. “Terus kamu sudah bicarakan sama dia tentang settingan hubungan kalian ini? Apa dia setuju dan mau berpura-pura menjadi kekasihmu?” “Aku sudah bicara sama dia dan Kak Ryan tadi di agensi dan dia menyetujuinya. Dia benar-benar sangat baik. Dan karena dia sangat baik itupun membuatku menjadi semakin tidak enak.” “Kalau dia menyetujuinya, tidak apa untuk sementara waktu ini kalian bisa berpura-pura. Aku rasa 1-2 bulan cukup lalu setelah itu kalian bisa mengabarkan kepada masyarakat kalau hubungan kalian sudah berakhir.” “Apa ini akan mendatangkan kontra?” tanya Ara seraya menatap Jenny, menunggu jawaban. “Apapun yang dilakukan publik figur pasti ada pro dan kontranya. Kita tidak bisa mengontrol mulut orang-orang. Jadi, yang harus kamu lakukan sekarang adalah melindungi citramu.” Ara mengangguk. “Iya Kak,” “Tapi, tunggu deh Ra! Aku tiba-tiba kepikiran sesuatu. Selama ini aku perhatiin kamu kayak beda gitu sama Devan.” “Beda gimana maksudnya Kak?” “Ya, kayak ada rasa ketertarikan gitu. Apa kamu menyukainya?” Jenny mencondongkan tubuhnya ke arah Ara dengan mata yang menyipit selidik. Sontak Ara mengerakkan bola matanya gelisah, ia benar-benar bingung harus menjawab apa. “Hmm ... Bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu Kak?” “Ya, habisnya kamu kelihatan beda aja setelah kenal Kak Devan. Kamu seperti menunjukkan ketertarikan padanya.” Ara terdiam dan sedikit menunduk, ia juga terlihat mengusap tengkuknya dengan gugup. “Kamu jujur ajalah Ra sama aku. Biasanya kamu juga suka cerita.” Ara mendongak menatap Jenny dengan bibir yang sedikit mengerucut. “Hm ... Sebenarnya a-aku, aku memang menyukai Kak Devan.” Jenny tersenyum. “Sudah kuduga, akhirnya kamu mengaku juga.” “Tapi, jangan kasih tahu dia ya Kak. Pleasee ....” “Kenapa?” “Aku malu Kak, aku 'kan cewek masa aku harus kelihatan terang-terangan ngejar dia. Terus, kalau dia ngga ada rasa sama aku gimana? Malu banget aku.” Jenny tertawa, “Astaga, kamu pikir kamu sekarang hidup di zaman apa? Zaman sekarang orang menyatakan cinta tidak memandang gender, kalau kamu cinta sama dia, kamu harus cepat kejar dia dan akui perasaanmu padanya sebelum diambil orang lain. Memangnya kamu mau kalau ada orang yang merebut Kak Devan dari kamu?” “Ya, ngga maulah Kak. Aku ingin selalu bersama Kak Devan.” “Ya udah gercep makanya, kita 'kan ngga tahu isi dalam hatinya.” Ara terdiam dan tiba-tiba memikirkan sesuatu dalam benaknya. *** “Dev, kamu dari mana aja? Kenapa baru pulang sekarang?” Devan tampak mencium tangan Mamanya setelah masuk rumah. “Aku, aku habis pulang kerja Ma,” Wanita paruh baya berambut pendek dan berkacamata itu tampak mengerutkan keningnya. “Hah, pulang kerja? Kamu itu dari kemarin pagi loh bilangnya mau berangkat kerja, masa baru sekarang pulangnya? Dari mana aja kamu?” “Aku beneran habis pulang kerja Ma. Kemarin itu memang agak sibuk jadi baru bisa pulang sekarang.” Resti, Mama Devan masih tampak belum bisa percaya. “Benarkah?” “Iya Ma, beneran.” Resti lalu memperhatikan penampilan anak semata wayangnya itu. “Terus, jas kamu ke mana? Kenapa ngga kamu pake?” Devan sontak menunduk memperhatikan tampilannya, 'Astaga! Aku baru sadar kalau ngga pakai jas. Di mana ya jasku? Apa aku meninggalkannya di tempat Ara?’ batinnya. “Dev!” Resti mengguncang lengan Devan. “Kok kamu diam?” “Oh, itu Ma kayaknya ketinggalan di agensinya Ara. Kemarin sempat ke agensinya juga soalnya.” Resti diam dan masih menunjukkan ekspresi curiganya lalu Devan menunjukkan senyum lebarnya agar mamanya tidak berpikiran aneh-aneh lagi. “Ya udah, kamu cepat ganti baju dan bersih-bersih. Mama mau siapin makan siang dulu, nanti kita makan siang bareng.” “Iya Ma,” Resti mengusap lengan Devan sejenak lalu pergi melangkah ke dapur. Sementara Devan langsung menghembuskan napas lega. 'Untung ngga ketahuan, jangan sampai Mama tahu kalau semalam aku bermalam di tempat Ara.’ Trakk! Devan sontak berbalik dan mengalihkan pandangannya keluar di mana suara keras itu berasal. Ia mengintip dari jendela depan rumahnya dan mendapati pot bunga di halaman depan rumahnya ada yang jatuh dan terpecah menjadi dua bagian, “Siapa orang itu?” gumamnya ketika juga mendapati ada seseorang dengan pakaian serba tertutup tampak berlari menjauhi rumahnya. Pakaiannya serba hitam dan tertutup hingga membuat Devan tidak bisa mengenalinya, bahkan ia tidak tahu apa dia pria atau wanita. “Dev!” Devan kembali berbalik ketika Mamanya telah berada di belakangnya. “Iya Ma?” “Suara apa itu tadi?” “Hm, ada pot bunga yang jatuh Ma, sepertinya cara meletakkannya kurang benar jadi goyang dan jatuh dari raknya.” “Ah, benarkah? Perasaan Mama sudah meletakkannya dengan benar.” Resti lalu ikut menngintip keluar jendela. “Ya ampun bunga mawar Mama sayang banget.” “Udah gak apa-apa Ma, nanti aku pindahkan aja bunganya ke pot yang baru.” “Hm, ya udah. Tapi, sekarang kamu cepat bersih-bersih sama ganti baju ya.” “Ya udah Ma, aku ke kamar dulu ya.” Resti mengangguk lalu kembali menatap pot bunga yang telah terbelah dua itu dengan wajah sedihnya. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD