'Sebelum menilai seseorang ketahui dahulu kebenarannya, jangan asal berbicara jika tak tau apa-apa dan beeakhir permasalahan yang membawa emosi didalamnya.'
* * *
Ica memandang langit-langit kamar dengan Fai yang berada disampingnya, pandangannya terasa kosong. Hatinya hampa, ia bingung dengan semua ini. Ia mulai merenungi akibat dari semua ulah yang telah ia perbuat, dan itu semua berimbas kepada orang-orang yang sangat ia sayangi. Semakin lama ia berpikir, ucapan Gus Faris beberapa waktu lalu ada benarnya. Ia layak direndahkan seperti itu karena kenyataannya memang begitu walaupun itu semua tak sepenuhnya benar, tapi ia masih tak terima karena perlakuannya orangtuanya mendapat cap buruk. Semua salah dan kenakalannya, mengapa orangtuanya selalu dibawa-bawa?
Ia yang nakal dan pembangkang kenapa orang-orang selalu mengatakan bahwa kedua orangtuanya tak becus mendidiknya? Nyatanya ialah yang tidak mau menurut. Bukan sekali dua kali ia mendapat cemoohan seperti itu, berkali-kali ia mendengar dari guru dan para tetangganya yang selalu mencibirnya. Biasanya ia hanya menganggap angin lalu itu semua, namun ketika Gus Faris yang mengatakannya hatinya terasa sakit. Lebih sakit dari goresan belati yang menusuk hatinya.
Senakal-nakal dirinya ia tak pernah memasuki pergaulan yang bebas, ia masih bisa membatasi dirinya sendiri. Mengetahui mana yang baik dan benar dan yang harus dilakukan ataupun dihindari, memang beberapa kali ia pergi ke sebuah club malam bersama Fai namun itu hanya berkumpul bersama teman-temannya. Ia belum pernah menyentuh minuman alkohol barang setetes pun, karena Bundanya selalu mewanti-wanti dirinya agar tidak menyentuh apalagi meminum minuman haram itu.
Berkali-kali helaan nafas berhembus dari bibirnya, ia tak menyukai keadaannya yang sekarang. Ia sangat ingin bertemu dengan Gus Faris, rasa rindu yang seharusnya hilang malah kian bertambah karena ia tak sempat memperhatikan wajah tampan itu dengan intens. Konflik yang terjadi antara mereka berdua hanya karena masalah kecil baginya harus berakhir ia yang menampar wajah Gus Faris, mengingatnya ia meringis. Pasti sakit sekali tamparan itu, Gus Faris pasti sedang dilanda masalah besar sehingga ia memarahinya sedemikian rupa sehingga seperti itu. Meskipun ia baru beberapa minggu di pesantren ini namun ia sedikit tau sifat dari Gus Faris, karena ia yang selalu memperhatikan laki-laki itu.
Pertemuan pertama setelah seminggu tak bertemu malah menjadi pertemuan yang paling tidak mengesankan semasa hidupnya, seharusnya ia masih dapat menggoda atau menatap Gus Faris sesuka hatinya. Namun karena masalah tadi ia menjadi sedikit takut, takut dihina dan direndahkan seperti tadi.
Ica menatap Fai yang tertidur pulas disampingnya begitupun dengan para santri lain, ia beranjak dengan perlahan takut membangunkan santri lain karena pergerakannya. Setelah ia berada diluar, ia berjalan dengam santai menuju lantai atas tempat biasanya mereka menjemur pakaian. Ia membutuhkan ketenangan, mungkin ketika ia berada disana sambil menikmati hilir angin malam juga pemandangan dari atas hatinya akan sedikit tenang.
Ternyata apa yang diperkirakan olehnya benar adanya, hatinya menjadi lebih tenang ketika telah sampai. Dihirupnya angin malam dengan rakus, seakan ia kehabisan oksigen. Pemandangan dari atas sini memang obat paling ampuh menenangkan hati yang sedang kacau, walaupun sebenarnya obat paling ampuh adalah mendekatkan diri kepada Allah dan membaca al-qur'an. Namun ia tak se alim itu yang selalu shalat malam atau kegiatan mendekatkan diri lainnya, ia hanya perempuan hina yang tak sengaja terdampar disini seperti yang Gus Faris katakan. Mengingat itu kembali sebagian hati kecilnya serasa diremas kuat-kuat, sangat menyesakkan.
Jika ia boleh memilih lebih baik ia tak pernah jatuh cinta seumur hidupnya, karena ternyata rasanya sangat menyakitkan. Dan itu hanya jika ia bisa memilih, namun nyatanya hati itu tidak dapat diprediksi dapat jatuh cinta dengan siapa. Kalau ia tidak jatuh sedalam-dalamnya kedalam pelukan Gus Faris ia tak akan merasa sakit dan sesak seperti ini, namun sekali lagi ia harus mengalah dengan hati yang telah sepenuhnya tertanam nama Gus Faris. Dan itu semakin membuatnya ingin berteriak kepada dunia bahwa ia tidak sanggup, anggaplah ia lebay namun terserah ia tidak peduli dikatakan seperti apa. Ia hanya seorang perempuan yang mencoba menjadi kuat namun nyatanya hati perempuan sangatlah rapuh, sekuat apapun ia berusaha hati itu tetap akan hancur hanya karena seorang yang ia cintai.
Helaan nafas berkali-kali berhembus, ia melirik jam yang ada dipergelangan tangannya. Hari semakin malam, lebih baik ia bersegera kembali menuju kamarnya. Dengan gontai ia berjalan menuruni tangga dengan wajah tertunduk. Sesampainya ia dibawah, ia seperti menabrak sesuatu yang keras. Dengan segera ia mendongak menatap apa yang ia tabrak dan ternyata itu adalah sebuah punggung tegap milik seseorang yang beberapa waktu ini ia pikiirkan, bersegera ia menunduk ketika Gus Faris menatapnya.
"Untuk apa kamu malam-malam seperti ini masih keluyuran?" Pertanyaan itu membuat Ica menunduk dalam, ia mempersiapkan diri untuk kembali diberikan ucapan pedas dan menyakitkan dari laki-laki itu.
Gus Faris memghela nafas, ia menatap Ica dengan wajah bersalahnya. Perempuan itu seperti tak biasanya, ia menunduk dalam seakan menghindari tatapannya. Ingatlah Faris, kamu yang membuat dia menjadi seperti ini padamu. Batinnya bersuara.
"Lain kali jangan diulang lagi." Ica langsung mendongak, ia mengernyitkan dahinya. Ia tak akan dimarahi atau dikata-katai lagi? Ia hanya mengangguk lalu mulai berjalan untuk meninggalkan Gus Faris ketika sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Anissa." Panggilan itu terdengar lirih, membuat degup jantung Ica bergemuruh seketika.
"I-iya?" Gugupnya, Ica membalikkan tubuhnya menghadap Gus Faris.
"Maaf." Ica mengernyit, tak mengerti kenapa Gus Faris berucap maaf. Ia hanya diam, menunggu kata demi kata yang selanjutnya Gus Faris ucapkan.
"Saya minta maaf telah merendahkan kamu, saya hanya terbawa emosi. Pikiran saya tadi sedang kacau sehingga berkata yang tidak-tidak tentang kamu, jujur saya mengatakan hal itu semua hanya didalam mulut tidak dengan hati saya yang tidak menyetujui itu semua. Senakal-nakalnya kamu, saya tau kamu tidak akan melebihi batas. Karena saya tau kamu tidak akan pernah mau membuat kedua orangtua kamu kecewa, sekali lagi saya minta maaf." Ica mengerjap, Gus Faris meminta maaf kepadanya? Benarkah? Apakah ini mimpi? Ia menepuk pipinya agar sadar, ia merasakan tepukan itu terasa jadi ini benar nyata dan bukan mimpi ataupun halusinasi.
"Saya sudah memaafkan Pak Ustadz kok." Gus Faris menatap Ica tak percaya, perempuan itu memaafkannya semudah itu? Padahal menurutnya ia telah menyakit hati perempuan itu dengan perkataannya namun ia masih memaafkannya.
"Benarkah?" Tanyanya tak yakin dengan Ica yang semudah itu memaafkannya, Ica tersenyum seraya mengangguk.
"Tapi saya telah menyakiti kamu dengan perkataan saya dan juga saya telah keterlaluan menuduh kamu sembarangan tanpa adanya bukti yang jelas, dan semudah itukah kamu memaafkan saya?" Ica menatap Gus Faris dengan tatapan heran, nih Pak Ustadz aneh banget dimaafin bukannya bersyukur malah aneh kayak gitu. Pikirnya.
"Ya sudah Ica gak jadi maafin Pak Ustadz."
"Loh? Mana bisa gitu kamu kan udah maafin saya. Gak bisa ditarik kenbali." Protes Gus Faris karena Ica yang akan mencabut maafnya.
"Ya Pak Ustadz aneh, dimaafin bukannya bersyukur malah gak percaya kayak gitu." Kesal Ica.
"Saya bukannya gak bersyukur, tapi saya masih gak percaya kamu memaafkan saya dengan mudahnya. Padahal saya telah menyakiti hati kamu didepan banyak santri, tapi kamu masih memaafkan saya dengan mudah."
"Kan Ica udah nampar Pak Ustadz, jadi kita imbang dong. Ica minta maaf juga ya Pak Ustadz udah nampar muka gantengnya sampai merah."
"Tidak apa, ini tidak sebanding." Gus Faris mengelus pipinya sendiri, bekas tamparan Ica.
"Ya udah kalau gitu Ica pamit ke kamar, duluan ya Pak Ustadz. Eh, good night Pak Ustadz ganteng." Ica mengedipkan matanya lalu pergi meinggalkan Gus Faris yang tanpa sadar menyunggingkan senyum tipisnya.
"Bersabarlah, sebentar lagi." Gumamnya seraya menggelang lalu melangkahkan kakinya menuju ndalem.
Ica memasuki kamar dengan senyum yang mengembang, ia seperti orang gila yang tiada hentinya tersenyum sendiri. Mengingat permintaan maaf Gus Faris membuat senyumnya semakin mengembang, ternyata rasanya jatuh cinta tak semenyeramkan dan semenyedihkan yang pernah ia takutkan. Adakalanya jatuh cinta bisa semenyenangkan ini bila kamu dapat melihat orang yang kemu cintai setiap saat.
Ica menggeleng, ia mulai merebahkan dirinya disamping Fai dan menutup kedua matanya. Selamat malam Pak Ustadz ganteng, semoga Ica mimpiin Pak Ustadz.
Sedangka ditempat lain, Gus Faris memasuki ndalem dengan senyum tipisnya membuat Nyai Ziah heran melihat binar mata Gus Faris. Gus Faris mendudukan dirinya disamping Bu Nyai, sedangkan Pak Kyai telah memasuki kamar terlebih dahulu.
"Gimana? Udah minta maaf belum sama Nissa?" Tanya Bu Nyai sambil menyelesaikan pekerjaannya.
"Udah Umi."
"Terus dimaafin?" Baru saja Gus Faris akan menjawab namun Bu Nyai kembali membuka suara.
"Ah Umi tau, pasti dimaafin."
"Kok Umi bisa tau?" Heran Gus Faris.
"Kelihatan dari aura sama mata berbinarmu." Gus Faris salah tingkah, sebegitu terlihatkah? Ia jadi malu sendiri dengan Uminya.
"Gak usah malu sama Umi, Umi juga pernah muda." Gus Faris hanya tersenyum masih dalam mode salah tingkah.
"Lain kali makanya kalau bicara tahan emosi, jangan asal menyimpulkan. Untung saja Nissa mau memaafkan kamu, kalaupun tidak Umi tidak akan ikut membantu. Itu semua kesalahanmu dan kamulah yang harus menyelesaikannya." Bu Nyai bisa mengetahui masalah yang terjadi antara Gus Faris dan Ica karena ada salah satu santri yang melapor, ia langsung menceritakan semua tentang Ica dan menyuruh Gus Faris meminta maaf kepada perempuan itu Gus Faris mengiyakan karena ia pun merasa bersalah karena telah menuduh sembarangan hanya karena ia yang terbawa emosi yang sebelumnya tak pernah terpancing.
"Iya Umi, Faris gak tau kenapa tadi Faris gak bisa mengontrol emosi Faris dan berakhir berbicara hal yang tidak-tidak mengenai Anissa."
"Ya sudah kamu sana masuk kekamar, istirahatlah. Umi juga sebentar lagi masuk." Faris mengangguk menuruti permintaan Bu Nyai.
Didalam kamar, Faris berbaring diatas kasur sambil menatap langit kamar. Ia kembali tersenyum, senyum yang tak pernah ia meunculkan kecuali dengan seseorang itu.
"Sebentar lagi." Gumamnya lalu mulai menutup matanya menuju alam mimpi.