'Kontrol dan tenangkan diri, perbanyaklah istighfar insyaallah Allah akan membantumu mengendalikan diri dari amarahmu.'
* * *
Para santri telah siap dengan peralatan mengaji mereka, tinggal berangkat menuju langgar saja. Namun tidak dengan dua santri yang masih duduk santai sambil berdandan ria, mengabaikan santri lainnya yang sibuk keluar untuk segera pergi. Rutinitas biasa, kegiatan yang menurut mereka membosankan membuat salah satu perempuan itu ingin tampil beda dengan dandanannya. Dipolesnya lip cream berwarna merah muda dibibir tipisnya, perempuan disampingnya yang tengah memakai bedak mengernyit.
"Ca, lo kok pakai lip cream sih? Disini kan gak boleh pakai pewarna bibir." Fai menegur Ica, Ica yang masih memoles lip cream dibibirnya menoleh sekilas kearah Fai lalu kembali ke pekerjaannya yaitu mewarnai bibirnya.
"Udah, lo gak usah berisik. Gue hari ini mau tampil beda, Pak Ustadz ganteng kan kembali mengajar hari ini. Jadi gue menyambutnya dengan dandanan gue lah, siapa tau Pak Ustadz itu terpikat sama kecantikan gue." Fai menggeleng melihat Ica yang menurutnya aneh, ia melirik jam dinding yang tertera. Seketika matanya melotot, ia mengguncang bahu Ica membuat sang empunya merengut kesal.
"Apaan sih?"
"Gawat Ca, kita telat!!." Ica membulatkan matanya ketika melihat jam ditangannya, ia dengan segera mengambil alat mengajinya lalu menarik tangan Fai keluar kamar.
Sesampainya di langgar, ia melihat para santri tengah sibuk mengaji. Dilihatnya Gus Faris yang sibuk mengajari salah satu santri, mereka mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Naila. Mereka menyesal tak segera berangkat ketika Naila mengajak mereka, sekarang lihatlah. Bagaimana mereka bisa masuk ke sana diam-diam kalau Gus Faris selalu memperhatikan setiap gerak gerik para santri walaupun ia tengah mengajari salah seorang santri didepan.
"Ca gimana nih?"
"Kok lo tanya gue? Ya mana gue taulah."
"Kan lo yang kelamaan dandan makanya kita telat."
"Lo juga kali, gak usah nyalahin gue."
"Ya udah kita sama-sama salah, terus sekarang gimana? Gak mungkin kalau kita langsung nyelonong masuk kesana yang ada nanti kita malah dihukum."
"Ikut gue." Ica menarik lengan Fai, mereka berdua mengendap-endap.
Ketika Gus Faris lengah tak memperhatikan kearah mereka, dengam sigap mereka langsung berlari kemudian duduk disamping Naila yang memang duduk dibagian belakang.
Naila yang sedari tadi fokus kedepan tersentak ketika mengalihkan pandangannya kesamping dan mendapati Ica dan Fai yang duduk disampingnya.
"Astaghfirullah, kapan kalian datang?" Kagetnya.
Ica dan Fai menyengir. "Baru aja kok."
"ANISSA, FAISYA!!. KALIAN MAJU KEDEPAN!" Sebuah suara dingin dan datar milik Gus Faris membuat tubuh Ica dan Fai kaku.
"Matilah kita." Gumam mereka.
Dengan kaku mereka berdua berdiri lalu menghampiri Gus Faris, tatapan tajam, datar, dingin dari Gus Faris membuat mereka berdua menundukkan kepalanya. Memandang lantai lebih indah daripada memandang wajah menyeramkan dari Gus Faris, biasanya Ica akan sibuk menggoda Gus Faris namun kali ini ia tak berani karena wajah itu lebih seram dari biasanya.
"Kapan kalian datang?" Mereka langsung mendongak.
"Dari tadi kok Pak Ustadz." Dusta Ica.
"Tadi saya tidak melihat kedatangan kalian berdua." Sebuah pernyataan daru Gus Faris membuat mereka saling pandang.
'Duh, gimana nih?'
"K-kita a-da kok, y-ya kan Fai?" Dengan ragu Fai mengangguk.
Gus Faris menatap Ica dan Fai dengan tatapan menyelidik, ia menatap para santrinya dan ketika sebuah pertanyaan keluar membuat Ica dan Fai ketar ketir sendiri.
"Apakah kalian melihat kedatangan mereka berdua?"
"TIDAK GUS FARIS!" Teriak mereka bersama, habislah riwayat kalian berdua.
"Kalian baru saja datang." Pernyataan kembali terlontar, daripada mereka berbohong lagi lebih baik jujur. Toh mereka sudah ketahuan, semoga saja hukumannya tidak berat.
"Di pesantren ini tidak diperbolehkan berkata dusta, lebih baik jujur daripada berdusta yang pada akhirnya akan tetap sama. Siapa yang mengajari kalian berdusta hah!?" Ica dan Fai diam menunduk seraya memilin ujung baju mereka, mereka takut menatap wajah Gus Faris yang sepertinya menahan amarah.
"Sudah berapa lama kalian disini?"
"H-hampir satu bulan Gus."
"Satu bulan? Dan kelakuan kalian masih seperti ini? Huh.. mengesankan." Gus Faris tertawa yang menurut mereka malah terkesan menyeramkan, Ica dan Fai semakin menunduk.
"Apa yang orangtua kalian ajarkan selama ini? Setidak becusnya orangtua kalian sehingga tidak bisa mengajarkan hal-hal yang baik hingga kalian berani bedusta? Dan sekarang mereka malah mengantarkan kalian kesini untuk menambah beban di pesantren ini?" Gus Faris paling tidak menyukai jika santrinya ada yang berani berdusta, untuk apa di pesantren kalau berdusta pun sepertinya mereka tak takut akan dosa. Lebih baik jujur bila terlambat daripada harus berdusta, ia akan mentolerir semuanya.
Sedangkan Ica mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat seraya memejamkan matanya, ia memang menyukai Gus Faris. Namun jika ada orang yang berani menyalahkan atau menjelekkan kedua orangtuanya karena kesalahannya, ia tak dapat terima. Meskipun ia harus memaki orang yang ia sukai, ia akan melakukannya. Sebisa mungkin ia menahan emosi, karena ia tak ingin kedua orangtuanya mendengar semua kelakuannya selama ini di pesantren. Ia takut akan menyakiti hati keduanya, telah banyak rasa kecewa yang orangtuanya dapat darinya. Ia tak ingin mengulang kembali yang sudah pernah ia lakukan.
"Oh, saya tau. Mereka mengantarkan kalian kesini pasti karena mereka sudah lelah mengurus kalian hingga membuang kalian kesini, ya untuk apa mengurus anak yang suka berdusta seperti kalian. Saya tau selama ini kalian sering berdusta." Fai yang melihat Ica seperti akan meledak menggenggam erat tangan sepupunya, ia tau luar dalam perempuan yang ada disampingnya ini.
"Dan coba lihat dirimu, santri macam apa yang bermakeup seperti ini? Ini pesantren bukan diskotik, jika kau ingin berdandan bukan disini tempatnya. Kau ingin menjadi seorang muslimah atau ingin menjadi jalang? Sebai-.."
"CUKUP!" Ica mendongak menatap Gus Faris tajam, tatapan yang tak pernah keluar dari dalam dirinya. Ia sadar ia memang salah, tapi tak sepatutnya Gus Faris merendahkan dirinya dan mengatakan kedua orantuanya tak becus dalam mendidiknya.
"Saya rasa ucapan anda terlalu keterlaluan sebagai seorang Ustadz." Ica masih menatap Gus Faris tajam, yang dibalas dengan tatapan datar.
"Keterlaluan bagaimana? Saya hanya mengatakan hal yang sebenarnya, disini tidak ada santri yang keterlaluan seperti kamu. Semua santri disini sangat patuh akan semua peraturan terkecuali kalian berdua." Gus Faris menunjuk Ica dan Fai dengan jari telunjuknya.
"Saya tau saya memang salah, tapi tidak seharusnya anda merendahkan saya dan menjelekkan orangtua saya."
"Kenyataannya begitu, orangtua kalian tidak becus mendidikmu sehingga mereka malah meninggalkan kalian disini."
"CUKUP! SAYA BILANG CUKUP MEMBAWA NAMA ORANGTUA SAYA!Mereka tidak salah mendidik saya, disini saya yang pembangkang. Jika anda bermasalah dengan saya jangan bawa-bawa orangtua saya." Ica berucap dengan amarah, Fai mencoba mengelus lengan Ica menyabarkan sahabat sekaligus sepupunya itu.
"Kamu berani membentak Ustadz-mu sendiri? Itulah orang kota, perkataan dan perbuatannya memang buruk sekali. Ataukah kamu memang sering pergi ke diskotik sehingga tabiatmu seperti ini? Orangtua macam apa yang membiarkan anaknya ke tempat terlarang bagi agama."
Para santri menonton kejadian itu dengan raut wajah tak percayanya, mereka tidak menyangka Gus Faris seseorang yang mereka kenal begitu dingin dan pendiam, berani berbicara panjang lebar dengan ucapan yang sungguh memyakitkan hati.
"Anda berkata seakan anda paling benar di dunia ini, jangan sok tau dengan kehidupan saya jika anda memang tidak mengetahuinya. Untuk apa gelar Master yang anda raih jika perkataan anda sekarang ini seperti orang yang tidak berpendidikan, saya memang nakal tapi saya tak senakal itu. Jangan cuma memandang rendah seseorang hanya karena kesalahan kecil yang diperbuat, atau anda memang suka sekali membesar-besarkan masalah?" Hati Ica sebenarnya sakit mendengar semua ucapan menyakitkan Gus Faris, air mata rasanya ingin mengalir dipipinya. Namun ia harus kuat, ia tak boleh terlihat lemah dihadapan seseorang yang beberapa jam lalu ia sukai. Entah sekarang ia masih menyukai laki-laki dihadapannya atau tidak.
"Kau berkata seakan menasehatiku heh? Tidak perlu saya mengetahuinya, karena semuanya terlihat. Atau saya perjelas lagi bahwa kau suka pergi ketempat terlarang atau yang disebut jal-.."
'PLAAAK.'
Ucapan Gus Faris terhenti ketika sebuah tamparan mengenai tepat dipipinya hingga menimbulka bekas kemerahan, Ica menatap Gus Faris dengan tatapan terluka atas perkataan laki-laki itu.
"Kalau lo gak tau apa-apa tentang gue, gak usah lo sok tau sama kehidupan gue!" Setelah mengatakan itu, Ica berlari disusul Fai yang mengejarnya.
Gus Faris memandang punggung Ica yang semakin menjauh, samar-samar ia melihat Ica memgusap pipinya menggunakan tangannya. Ia menatap sekelilingnya, masih ada para santri yang menonton adegan tadi.
"BUBAR SEMUA!" Para santri langsung berlarian meninggalkan Gus Faris sendirian, yang merutuki semua ucapannya.
"Astaghfirullah ya Allah, apa yang sudah aku perbuat. Aku telah melukainya dengan semua perkataanku, maafkan aku." Kalau saja ia tak memiliki banyak masalah, mungkin ia tidak ada berkata sekasar itu. Ada apa dengan dirinya saat ini? Ia sulit sekali mengendalikan emosi hingga menimbulkan dosa atas perkataanya.
"Ara maafkan kakak." Gumamnya lalu berjalan lesu dengan perasaan tak menentu.
Sedangkan disebuah toilet, Ica menangis dengan Fai yang mengelus punggungnya. Ia tadi langsung berlari ke kamar mandi karena tidak mungkin ia menuju kamarnya yang pasti terdapat banyak santri, ia tak mau orang lain melihatnya menangis.
"Gue emang suka sama dia, tapi gue gak terima sama apa yang dia ucapkan ke gue. Tau apa dia tentang hidup gue, hingga dia berani merendahkan gue. Sekalinya gue ke club, gue gak pernah yang namanya tidur sama laki-laki. Lo tau sendiri kan gue gimana? Jangankan ngelakuin itu, ciuman aja gue gak pernah ... hiks ... hiks ... dia jahat ... gue benci sama dia ... hiks."
"Tapi lo suka."
"Iya hiks ...."
"Udahlah Ca, ucapan Gus Faris tadi gak usah lo masukin ke hati. Mungkin dia khilaf dan ada banyak masalah makanya dia bisa ngomong gitu." Fai masih terus mengelus punggung Ica yang bergetar.
"Eh, tapi tadi gue nampar dia hiks ... itu pasti sakit hiks ... banget."
"Gak apa-apa sebagai balasan untuk dia yang udah ngatain lo."
"Tapi tadi mukanya merah hiks... terus nanti kalau ada bekasnya gimana? Nanti kalau dia jadi jelek gimana Fai? Gue gak mau nantinya punya suami yang gak ganteng lagi hiks ...." Fai menepuk dahinya.
"Ya Allah Ica, disaat seperti ini lo masih mikirin hal yang gak penting seperti itu? Ampun deh gue punya sahabat aneh kayak lo mana sepupu lagi, nasib... nasib." Ica kemudian tertawa melihat wajah cengo Fai, kemudian Fai ikut tersenyum melihat Ica yang tak lagi sedih.