'Rindu, suatu rasa gundah gulana yang berada didalam hati ketika aku tak dapat melihatmu barang satu detikpun itu.'
* * *
Sudah lebih dari satu minggu Ica tak melihat Pak Ustadz gantengnya itu, membuat ia rindu setengah mati. Ia selalu menghadiri acara mengaji dengan malas dan berakhir kebosanan karena Ustadz yang mengajari mereka bukan sesuai keinginannya, tidak ada Pak Ustadz ganteng membuat semangatnya menurun drastis. Ia ingin mencari tau kemanakah Bapak pujaan hatinya itu, namun ia bingung bertanya kepada siapakah dirinya. Tidak mungkinkan ia harus ke ndalem lalu menanyakannya langsung kepada Kyai Malik atau Nyai Ziah tentang keberadaan Pak Ustadz yang dirindukannya, bisa-bisa ia dipikir santri kurang ajar nantinya. Walaupun sebenarnya Bu Nyai Dan Pak Kyai memberikan ia dan Fai kebebasan untuk pergi ke ndalem mengingat Pak Kyai yang adalah sahabat Kakek mereka, namun mereka juga memiliki batasan tersendiri.
Ica menatap Ustadz Akbar yang tengah mengajari salah satu santri dengan bosan, ia bosan melihat Ustadz Akbar terus yang mengajari tak adakah Ustadz yang lainnya kah?. Namun jika Ustadz itu Gus Faris ia tidak akan pernah merasa bosan walau seumur hidupnya sekalipun, ia rela kok. Apalagi kalau bisa jadi istrinya, ia akan bernazar dengan segera kalau itu kesampaian. Akibat kerinduan yang tak dapat terbendung lagi ia malah memikirkan hal yang aneh-aneh, kadang cemberut, tersenyum, rusuh sendiri membuat Fai dan Naila yang berada disamping Ica heran dengan kelakuannya.
"Sst ... Ca, lo kenapa sih dari tadi gak bisa diem? Kadang senyum-senyum terus cemberut dan lagi gak bisa diem." Ica menatap Fai yang menunggu jawabannya.
"Gue kangen sama Pak Ustadz ganteng." Fai dan Naila menghela nafas, itu lagi... itu lagi. Pikir mereka.
Bukan tanpa sebab mereka berpikir demikian, masalahnya Ica selalu berkata demikian membuat telinga mereka bosan mendengar segala celotehan Ica yang tak jauh-jauh dari Pak Ustadz gantengnya itu. Dari pagi, siang, sore hingga malam mereka mendengar pertanyaan yang sama berulang kali dan juga cerita yang sama, bagaimana mungkin mereka tak bosan mendengarnya.
"Kapan sih Pak Ustadz baliknya? Emang urusan apa sih?" Nah kan.
"Udah sih Ca, ngurusin Gus Farisnya. Gue bosen denger omongan dan pertanyaan yang sama berulang kali, lo mau telinga gue budeg gara-gara dengerin cerita gak berfaedah lo?." Ica menatap Fai dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Lo mah gak asik, namanya juga gue lagi falling love. Sehari gak ketemu itu berasa satu tahun, apalagi seminggu berarti tujuh tahun dong. Lama kan?" Ica cemberut.
Fai dan Naila saling tatap, tak lama terdengar helaan nafas dari mereka berdua.
"Rindu sih rindu, tapi gak usah selebai itu kali."
"Gue gak lebai tau, cuma terlalu berlebihan aja."
"Itu sama aja nonong."
"Udah-udah, kalian ini. Tuh Ustadz Akbar dari tadi ngeliatin kita mulu." Ica dan Fai menatap kedepan, terlihat Ustadz Akbar yang melihat mereka dengan tatapan tajam penuh peringatan 'jangan berisik', kira-kira seperti itulah. Mereka hanya menyengir lalu pura-pura membaca dan menghafal hingga Ustadz Akbar tak melihat mereka lagi, akhirnya mereka menghela nafas.
'Gak Ustadz Akbar, gak Pak Ustadz ganteng. Sama-sama nyeremin, apa semua Ustadz kayak gitu ya? Untung gue sayang Pak Ustadz ganteng kalau enggak udah gue pites kali. Eh ... istighfar Ica gak boleh ngomong kayak gitu.'
"Nyeremin," bisik Ica, mereka mengangguk mengiyakan.
Kini giliran Ica yang menghadap Ustadz Akbar untuk diajari mengaji, Ica mengaji dengan perasaan tak semangatnya hingga menuai banyak kesalahan. Dengan sabar Ustadz Akbar memperbaiki kesalahan tanda baca yang ia salah baca, ia malas sekali sebenarnya menghadiri ngaji tanpa adanya sang penyemangat hidup. Namun sudah kepalang tanggung, ia berharap besok Pak Ustadznya sudah pulang dan mulai mengajari mereka mengajar kembali.
Rutinitas dan kegiatan yang sama setiap harinya membuat Ica dan Fai bosan setengah mati, apalagi bagi Ica yang tak ada penyemangat hidupnya. Sungguh sangat membosankan, tidak ada Pak Ustadz yang dapat ia bercandai dan tidak ada orang yang dapat menghapus kebosanannya. Kurang dari satu bulan mereka disini saja sudah bosan setengah mati, apalagi jika bertahun-tahun. Rasanya mereka tak akan kuat, untunglah bagi Ica karena adanya Gus Faris ia jadi sedikit betah disini, hanya sedikit.
"Akhirnya ..." helaan nafas lega terdengar di indera pendengaran Fai dan juga Naila, mereka tersenyum geli menatap Ica.
"Senang amat selesai, biasanya kalau Gus Faris yang mengajar gak mau cepat-cepat selesai" Sindir Fai, Ica menatap Fai sebal.
"Itu kan kalau Pak Ustadz yang ngajarin, gue semangat banget. Tapi kan sekarang Pak Ustadz ganteng gue gak ada mungkin tertelan bumi hingga jatuh diplanet lain, lama banget gak pulang-pulang." Ica mendramatisir membuat Fai dan Naila bergidik seraya menggeleng.
"Semerdeka lo aja lah Ca." Ica memgangkat bahunya acuh.
Mereka bertiga berjalan berdampingan menuju tempat menjemur pakaian, mereka akan mengangkat pakaian mereka karena hari telah sore. Tempat jemuran berada dilantai paling atas, tempat inilah juga yang menjadi tempat kesukaan Ica. Karena ia dapat melihat pemandangan pesantren Al-Awaliah dari atas, menurutnya ini sangat mengagumkan. Melihat dari atas sambil ditemani angin sepoy-sepoy yang menyejukkan, ia ingin berlama-lama di tempat ini.
"Eh Ca, lo angkat gih pakaian lo. Malah nyantai-nyantai," tegur Fai, Ica mendengus sebal seraya mengambil pakaiannya yang tergantung satu persatu dengan kasar.
"Lo mah gak bisa liat gue seneng dikit, Naila aja gak protes."
"Naila bukannya gak protes ya cuma dia gak berani ganggu singa galak kayak lo."
"Sembarangan lo ngatain gue singa galak, gue nih ya putri keraton di rumah gue tau." Ica tak terima dengan ucapan Fai.
"Iya kalau dirumah, kalau disini lo emang singa galak. Diganggu dikit aja langsung nyakar, eh dirumah lo juga gitu. Kata si Eza."
"Eza yang bilang? Awas aja tuh si adek laknat, gue pulang nanti gue kasih pelajaran. Sembarangan ngatain Kakaknya yang syantik jeulita gini singa galak, gue galakkin beneran baru tau rasa dia." Gerutu Ica seraya menggeram, ia akan membuat perhitungan terhadap adik laknatnya itu.
"Udah-udah, lebih baik kita turun yuk. Hari udah menjelang maghrib, sebentar lagi adzan maghrib. Gak baik berlama-lama disini." Ica lesu mendengar ucapan Naila, padahal ia masih ingin berlama-lama disini.
Menikmati indahnya pemandangan dari atas seraya memikirkan Ustadz gantengnya itu, ah ... mengingatnya membuat ia kembali merindukan sang pangeran tampannya itu.
"Yah, padahal gue masih pengen disini."
"Nanti kita kesini lagi, lebih baik kita langsung turun yuk. Kasian nanti Mbak Syifa nyariin kita, karena lama gak balik kekamar." Ica dan Fai mengangguk lalu mereka berjalan beriringan menuruni tangga, kamar mereka memang terdapat dilantai bawah. Tepatnya berada di kamar nomor 4 Aisyah, nama-nama kamar disini diambil dari nama-nama perempuan terdahulu dijaman rasulullah SAW.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Kalian darimana aja? Mbak cariin gak ada." Syifa menghampiri Ica, Fai dan Naila yang baru saja memasuki kamar.
Ica, Fai dan Naila menaruh pakaian mereka dipojok ruangan, nanti malam mereka akan melipat pakaian mereka.
"Tadi kami dari atas Mbak ngangkat jemuran, makanya waktu Mbak nyariin gak ada." Syifa mengangguk mendengar penuturan Naila.
"Ya udah, yuk kita ngambil jatah makan. Sebentar lagi udah masuk maghrib, kalian sih ngangkat jemurannya kelamaan jadi tinggal kalian yang belum makan" jelas Syifa.
"Mbak udah makan belum?"
"Belum, Mbak nungguin kalian dari tadi."
"Wah maaf ya Mbak, gara-gara kita Mbak jadi telat makan."
"Ah enggak apa-apa Mbak juga tadi belum lapar." Syifa mengibaskan tangannya tanda tak apa.
"Ya udah kalau gitu yuk." Mereka berempat pergi ke tempat mengambil jatah makan, dilihat Mbak yang memang bertugas didapur sedang membereskan nasi dan lauk.
"Mbak Cici minta jatah makan dong, Ica belum makan nih." Ica menengadahkan tangannya kepada Cici.
"Makanya kalau belum makan mbok jangan keluyuran dulu." Ucapnya dengan logat bahasa jawa yang kentara sekali.
"Kita gak keluyuran Mbak, tadi kita lagi ngangkat jemuran diatas makanya terlambat datang." Cici menggeleng seraya memasukkan nasi beserta lauknya lalu memberikannya kepada Ica, Fai dan Naila.
"Loh Mbak Syifa gak dikasih?" Syifa tersenyum.
"Nanti Mbak sama Mbak yang lainnya makannya dibelakang, kalian duluan aja gak apa-apa."
"Beneran?" Syifa mengangguk.
"Ya udah kalau gitu kita duluan ya Mbak, makasih Mbak Cici makanannya." Cici mengangguk, Mereka pun pergi mencari tempat untuk menikmati makanannya.
"Piringnya jangan lupa di cuci terus kembalikan ke dapur ya?"
"Iya Mbak Cici syantieeek."
Ica mulai menyuap makanannya dengan lahap, faktor kelaparan membuatnya begitu lahap memakan makanannya tanpa perduli rasanya yang memang tak seenak buatan sang Bunda. Namun masih terasa enak karena ia mulai terbiasa dengan rasanya, awalnya ia banyak melakukan protes tentang segala rasa namun lama kelamaan ia mulai membiasakan dirinya. Karena ia tau ia pasti akan lama berada disini.
Mereka menandaskan makan mereka lalu mengucap hamdalah, bersama-sama. Alhamdulillah perut kenyang dan astaghfirullah hati tak tenang, bagi Ica. Ica sibuk dengan segala kerinduannya terhadap Gus Faris, ia merasa tak tenang dan tentram bila belum melihat wajah datar sedatar papan triplek milik laki-laki itu. Sedang apakah ia disana? Sudah makan apa belum? Sudahkah urusan disana? Apakah laki-laki itu juga merindukannya?Pertanyaan demi pertanyaan bersarang didalam hati dan pikirannya membuat ia tak sadar bahwa sedari tadi Naila yang berada disampingnya mengajaknya bicara.
"Ca kamu dengerin aku ngomong enggak?"
"Eh?" Ica mengerjap seraya menatap Naila dan Fai bergantian.
"Lo tadi emang ngomong apa?"
"Gus Faris udah pulang dari urusannya, jadi nanti malam yang mimpin shalat maghrib sama ngajarin kita ngaji Gus Faris bukan Ustadz Akbar lagi." Jelas Naila, Ica langsung memekik kesenangan mendengarnya.
Akhirnya Pak Ustadz gantengnya itu telah kembali, akhirnya ia dapat bertemu Pak Ustadznya itu. Akhirnya ia dapat menghapus segala rasa rindunya yang bersarang dihatinya selama satu minggu ini, uhhh.. rindunya dirinya dengan kedataran wajah Pak Ustadz gantengnya. Pak Ustadz, tunggulah Ica dihadapanmu.