'Terkadang hidup dapat berada diatas pun juga bisa di bawah, tergantung usaha dan doa yang menyertai.'
* * *
Seorang perempuan tengah memperhatikan ke arah depan dengan tatapan bosannya, ia menatap kearah sampingnya lalu berbisik.
"Nai, Pak Ustadz kemana? Kok yang ngajarin kita malah Ustadz Akbar sih?" Perempuan yang dipanggil Nai olehnya menoleh kearahnya seraya tersenyum.
"Katanya Gus Faris lagi ada urusan makanya Ustadz Akbar yang gantiin, perasaan tadi Ustadz Akbar udah jelasin deh didepan. Kamu sih malah sibuk celingak-celinguk nyariin seseorang." Perempuan yang tak lain adalah Ica, menyengir.
"He ... he ... gue kan lagi nyariin Pak Ustadz ganteng." Naila menggeleng pelan.
"Gus Faris mulu pikirannya." Lagi-lagi Ica hanya menyengir membuat Naila tersenyum geli dibuatnya.
Mereka memang sudah berteman setelah berkenalan, kebetulan Naila memang sekamar dengannya dan juga Fai. Ia bisa berteman dengan Naila karena Naila yang cenderung seperti dijauhi oleh para santri perempuan lain karena penampilannya yang berkaca mata. Ica memang mantan primadona di SMA nya dulu namun ia tak pernah membeda-bedakan seseorang. Ia berteman dengan siapapun, itulah yang membuat semua orang kagum terhadapnya ketika SMA. Bukan hanya karena kecantikannya saja namun karena ia memang sangat peduli terhadap siswa-siswi yang dianiaya atau bahasa gaulnya dibully, ia selalu menjadi orang nomor satu yang membela. Kenakalan dirinya bukan kenakalan luar biasa, hanya kenakalan yang biasa saja layaknya remaja lainnya. Namun Bundanya saja yang terlalu berlebihan karena ia tak kunjung mengenakan hijab sehingga mau berinisiatif mengantarkannya ketempat terkutuk ini, eh terkadang ia juga pernah khilaf membolos pelajaran dan bahkan sering membuat Bundanya marah ding.
Tapi ia tak menyesal telah diantarkan kesini oleh kedua orangtuanya, bukan karena ia betah ya. Sebenarnya ia ingin sekali pulang dari sini, kerap kali dia dan Fai mencoba kabur dari gerbang belakang pesantren namun selalu saja ada orang yang mengetahuinya. Orang yang sama pula, dan juga orang yang dapat menggetarkan hatinya ketika pertama kali ia melihatnya. Orang yang sering ia panggil Pak Ustadz ganteng, Gus Faris.
Huh ... mengingat namanya saja sudah membuat ia rindu setengah mati, anggap saja ia lebai karena ia dan Gus Faris tidak bertemu hari ini saja namun ia sudah se lebai ini apalagi kalau bertahun-tahun bisa bunuh diri paling si Ica karena kelewat rindunya. Semua ini gara-gara Gus Faris, kenapa sih laki-laki itu harus ada urusan sekali dan menyuruh Ustadz Akbar yang menggantikan. Coba saja jika dia lebih mengedepankan urusan mengajar santri-santri, ia pasti tidak akan merasa semenyedihkan ini. Mana ia sangat bosan tidak ada teman mengobrol, Fai sedang ada tamu bulanan jadi tidak ikut mengaji. Namun jangan salah mengira kalau Fai sekarang sedang berleha-leha, nyatanya ada kegiatan lain yang wajib para santri yang memang sedang tidak bisa mengerjakan ibadah yang harus mereka ikuti.
Mengandalkan mengobrol dengan Naila? Sepertinya itu ide yang buruk, karena ia yakin Naila tidak akan mau mengobrol ketika Ustadz Akbar sedang menjelaskan. Lihatlah Naila sekarang, ia terfokus dengan penjelasan Ustadz itu dan malah membiarkan ia mati kebosanan. Tak ada objek yang dapat menjadi bahan cuci mata untuknya, Ustadz Akbar memang tampan namun menurutnya tak ada yang dapat membuat hati dan matanya tertarik selain Gus Faris. Oh Pak Ustadz ganteng i miss you too, emangnya Pak Ustadz rindu lo juga? Ngimpi kali. Fyuh Ica menghela nafas, ia menatap Ustadz Akbar yang sepertinya telah selesai. Akhirnya ia bisa terbebas dari yang namanya kebosanan, ia ingin sekali cepat-cepat pergi dari sini menemui Fai lalu menceritakan sepanjang kebosananya tadi.
Ica dan Naila berjalan beriringan menuju kamar mereka yang terletak tak jauh dari langgar tempat mereka mengaji, sepanjang perjalanan para santri perempuan lain berbisik-bisik membicarakan mereka berdua. Sedari tadi Naila hanya menundukkan pandangannya mendengar cemoohan dirinya yang dikatai tidak pantas bila berteman dengan Ica yang notabennya adalah anak orang kaya, Ica rasanya ingin sekali melempar sendal lnya kearah mulut seorang santri yang sepertinya tidak disekolahkan itu. Telinganya panas mendengar bisikan-bisikan kejam itu, rupanya tak hanya disekolahnya saja yang banyak sekali orang memandang rendah orang lain. Namun ternyata di pesantren yang adalah tempat islami seperti ini ada saja santri yang seperti itu, memang tempat tidak menjamin sifat dan tata bicara seseorang akan menjadi baik. Tergantung kepada diri kita sendiri yang berusaha memperbaikinya atau malah ingin menambah keburukan.
"Liat deh tuh Naila si upik abu, anaknya orang miskin. Berani banget dia temenan sama orang kaya begitu, kalau aku sadar diri lah. Udah miskin, jelek, gak tau malu lagi. Dia nya juga tuh mau-mau aja temenan sama Naila, udah tau si Naila palingan cuma mau nyari ketenaran dan manfaatin dia doang. Dih emang dasar si miskin." Bisikan yang terdengat jelas dari telinga Ica semakin membuatnya panas, ia sedari tadi sudah bersabar untuk tak menghajar mulut rombeng santri itu. Namun santri itu semakin dibiarkan, mulutnya semakin tak dapat dijaga.
Tidak sadarkah dirinya bahwa perkataanya telah melukai Naila yang tida memiliki salah apa-apa, Naila adalah sahabatnya. Ia tidak akan membiarkan sabahatnya dihinia sedemikian oleh santri itu, dengan wajah penuh kekesalannya Ica membalikkan tubuhnya menatap santri yang sedari tadi membicarakan mereka. Ingin sekali ia berteriak 'kalau mau bisik-bisik itu jangan kedengaran orangnya, situ bisik-bisik apa mau promosi. Suaranya kok kenceng amat.
"Barusan lo ngomong apa tadi?" Kedua santri itu tersentak ketika melihat Ica yang menatap mereka dengan wajah memerah.
"Coba lo ulangin lagi, gue mau denger." Kedua santri itu hanya menundukkan kepalanya.
"I-Ica udah, a-aku gak apa-apa." Naila berusaha menenangkan Ica dengan memegang tangannya, berharap bahwa Ica tak mencari masalah hanya karena dirinya. Ia tak mau Ica dan Vera-orang yang selalu berlaku sinis kepadanya itu bertengkar.
Ica menghela nafas lalu menatap dua santri itu tajam. "Kalau sampai gue denger lo ngomongin Naila lagi, gue gak akan segan-segan buat perhitungan." Ancamnya, kedua santri itu bergidik mendengar ancaman Ica yang seperti preman pasar.
Ica memang akan menjadi preman bila berurusan dengan orang-orang yang mencari masalah dengannya dan juga orang terdekatnya, ia tidak akan pernah takut dengan konsekuensi yang akan ia peroleh nantinya bila ia benar-benar membuat perhitungan kepada dua santri nyinyir itu. Namun ia lebih takut bila sampai Naila dan kedua orangtuanya terlibat hanya karena masalah yang ia anggap sepele ini.
"Ayo Nai." Ica menarik pergelangan tangan Naila mengajaknya melanjutkan langkah mereka.
"Cih si upik abu di belain." Baru saja Ica ingin membalikkan tubuhnya namun Naila memegang lengannya seraya menggeleng, Ica menghela nafas lalu melanjutkan langkahnya menuju kamar mereka dengan Naila yang berada disampingnya.
Sesampainya mereka dikamar, mereka melihat Fai yang tengah duduk bersama Syifa sambil mengipasi dirinya menggunakan buku. Mereka menghampiri Fai dan Syifa sebelumnya mereka telah mengucap salam.
"Kenapa tuh muka, kayak lagi nahan BAB aja." Pertanyaan dari Fai membuat Ica mendelik, Syifa dan Naila hanya tertawa.
"Ini tuh lagi nahan amarah, bukan BAB Fai." Kesal Ica, Fai mengernyit.
"Lah, lo marah sama siapa emang?"
"Tuh tadi si santri mulutnya rombeng, bisik-bisik tapi kenceng banget. Panas telinga gue dengernya." Fai semakin mengernyit.
"Emangnya apa yang mereka omongin sampai-sampai lo marah gitu?"
"Tadi tuh si dua santri mulut rombeng ngehina sahabat baru kita, Naila. Gue udah berusaha sabar buat, tapi makin kenceng aja tuh suara. Ya gue tegurlah, mereka cuma nunduk. Terus kita lanjut jalan dan mereka ngomingin kita lagi, kalau tadi Naila enggak nahan gue udah gue kasih pelajaran tuh si dua mulut rombeng. Berani-beraninya dia ngehina orang lain, gak nyadar tuh sama uang mereka yang juga dari orangtua" Jelas Ica panjang lebar.
"Wah coba aja gue tadi disana udah gue bejek-bejek tuh dua mulut rombeng, siapa tuh namanya biar kita kasih pelajaran." Fai mengepalkan tangannya, jiwa premannya muncul ketika mendengar cerita panjang lebar dari Ica.
"Namanya tadi kalau enggak salah Ve-.. Ve.. siapa sih? Terus sama si Mo-... Mo..." Ica berusaha mengingat-ingat nama dua mulut rombeng itu.
"Vera sama Mosi, udah kalian gak usah ngasih pelajaran sama mereka. Nanti kalian yang kena masalah, aku udah biasa kok dibeginiin." Naila menunduk setelah mengucapkan hal itu, ada rasa sedih didalam hatinya ketika mengatakannya. Ia sepenuhnya sadar bahwa ia hanya orang miskin dan jelek yang beruntung dapat masuk ke pesantren yang lumayan terkenal ini, ia tidak ingin mencari musuh ia hanya ingin mencari ilmu agar kelak dapat membuat bangga orangtuanya.
"Nah iya si Per sama si kue Mochi, emang ya mereka awas aja. Loh maksudnya gak usah apa? Tenang aja kita gak akan kena masalah kok. Ya karena lo udah sering digituin harusnya lo ngelawan dong, jangan mau dinyinyirin sama mereka."
"Aku gak mau cari masalah disini, aku cuma mau cari ilmu supaya Bapak sama Ibu bangga. Mereka udah susah payah ngebesarin aku, aku pengen banget ngebales semua jasa mereka. Tapi kayaknya gak bakal bisa deh, aku cuma orang miskin yang kebetulan bisa mondok disini." Naila menunduk, Ica, Fai dan Syifa menatap Naila dengan iba. Mereka kasihan dengan kondisi Naila yang memang orang tak berada ditambah dengan ia yang selalu mendapat nyinyiran pedas dari santri lain yang seharusnya mereka menguatkan dan bukannya malah merendahkan hingga membuat kepercayaan dirinya turun.
"Lo jangan ngomong kayak gitu, rezeki udah diatur sama Allah. Kita gak tau orang yang berada dibawah bisa aja dia nanti berada diatas begitu pula sebaliknya, tergantung usaha dan doa masing-masing." Ica tertegun dengan ucapannya sendiri, tumben sekali ia menjadi bijak seperti ini.
"Lo gak perlu lagi merasa direndahkan, karena disini ada kami yang selalu menganggap lo sama seperti yang lainnya." Naila tersenyum haru, ia langsung memeluk Ica.
"Makasih kalian udah mau berteman sama aku yang miskin ini." Naila menatap Ica, Fai dan Syifa bergantian. Setetes air mata haru hinggap dipipinya.
"Jangan ngomong kayak gitu lagi, semua makhluk dihadapan Allah itu setara." Ica menghapus air mata yang bersarang dipipi Naila seraya tersenyum.
Ya karena pada dasarnya semua makhluk yang Allah ciptakan setara, tak ada yang diatas dan dibawah. Allah menganggap sama, orang yang paling mulia adalah orang yang menganggap semua sama tak membeda-bedakan saudara seimannya.