5. Berdampingan

1608 Words
'Bagaimana mungkin otakku akan memikirkan hal lain, sedang hati dan pikiran ini selalu terbesit rupa menawanmu.' * * * Adzan subuh telah berkumandang namun tak membangunkan kedua gadis cantik yang tertidur dengan pulasnya, seorang perempuan yang merupakan pengurus atau ketua kamar yang dua gadis itu tempati mencoba membangunkan keduanya dengan menggoyangkan badan mereka namun sepertinya itu tak berhasil karena mereka tetap dengan tidur pulasnya. Ia mencari akal, dengan cepat ia meraih gelas yang berisi air lalu mencipratkannya ke wajah kedua gadis itu dan berhasil, keduanya membuka matanya dengan perlahan. "Aduh Mbak Syifa, kenapa sih pake nyipratin air segala ke muka Ica? Ini masih pagi Mbak, Ica masih ngantuk pengen tidur lagi." Ica kembali merebahkan tubuhnya namun langsung ditahan oleh Syifa. "Justru itu, sekarang kalian siap-siap gih. Wudhu terus langsung ke musholla, shalat subuh berjamaah." Dengan malas Ica melirik Fai yang masih mengerjapkan kedua matanya, ia menarik tangan Fai agar berdiri. "Fai ayo kita wudhu, Mbak kita duluan ya." Dengan mata yang masih setengah terbuka, keduanya berjalan menuju tempat wudhu. Karena masih kurang fokus mereka berdua hampir saja menabrak pintu kamar, untunglah dengan sigap mereka menghindar. Syifa yang melihat tingkah keduanya hanya tersenyum seraya menggeleng, ia menyusul mereka untuk mengambil air wudhu. Ica dan Fai tersentak kaget ketika tangan keduanya bertabrakan dengan air yang mengalir deras dari kran, mereka berdua saling pandang lalu menatap air yang mengalir itu dengan tatapan ngeri. "Duh males banget Fai gue wudhu, airnya dingin banget." Gidik Ica, Fai pun mengangguk membenarkan apa yang Ica ucapkan. "Terus gimana dong? Gak mungkinkan kita gak wudhu?" Ica mengetukkan jarinya diatas dagunya. "Biasanya juga kita gak pernah bangun sepagi ini, shalat sih shalat. Tapi masa sih harus sepagi ini?" gerutu Ica karena ia tak memikirkan sebuah cara yang akan menyelamatkan mereka berdua dari dinginnya air yang melebihi air es ini. "Udah ah kita wudhu aja, gak ada pilihan lain. Gak mungkin bisa kita kabur, Mbak Syifa tuh kelihatannya ngawasin kita mulu. " Bisik Ica lalu dengan ogah-ogahan ia mengambil air wudhu, Fai melirik kebelakang. Ternyata benar apa yang Ica katakan, Syifa sedang mengawasi mereka dengan berdiri disamping pintu masuk tempat berwudhu seraya matanya mengawasi satu persatu santri. Ia pun mengikuti Ica mengambil air wudhu, ia harus menahan rasa dinginnya air es ini daripada kena omel dan lebih parahnya kena hukuman. Karena disini salah sedikit saja diberi hukuman, apa-apa hukuman. Dasar menyebalkan, Ayah... Bunda... Fai pingin pulang. Setelah mereka mengambil air wudhu dengan cepat, mereka kembali ke kamar untuk mengambil alat shalat dan langsung menuju ke mushola. Di tengah jalan ia tak sengaja bertemu dengan Gus Faris, Ica dengan segera mensejajarkan langkahnya agar berjalan berdampingan dengan Gus Faris. Fai dengan pasrah mengikuti Ica yang sedari tadi menariknya, kalau bukan sepupu sudah dia bumi hanguskan Ica karena dengan seenaknya menarik-narik tangannya. "Assalamualaikum, Pak Ustadz ganteng." Gus Faris melirik Ica dan Fai sekilas lalu pandangannya kembali kedepan. "Waalaikumsalam." Gus Faris menjawab dengan wajah sedatar papan triplek membuat Ica yang melihatnya mendengus kesal sedangkan Fai hanya tersenyum saja. "Datar amat tuh muka Pak, mau saya setrika biar sekalian mata sama hidungnya juga datar?" kesal Ica, Gus Faris terlihat tidak menanggapi ucapan Ica membuat perempuan itu lagi-lagi mendengus kesal. "Kasih senyum kek ngomong kek, senyum sama orang itu ibadah loh Pak. Nanti kalau Bapak senyum sama saya pahala Bapak bertambah dan saya dapet rezeki." Gus Faris tak mengerti apa yang Ica ucapkan, ia mengernyitkan dahinya. "Rezeki?" Tanpa sadar ia menyuarakan rasa penasarannya membuat Ica melengkungkan bibirnya membentuk sebuah senyuman yang membuat Gus Faris terpana beberapa saat. "Iyalah, kan kalau Bapak senyum. Bapak jadi kelihatan makin ganteng, nah mumpung disini Ica gak pernah ngelihat cowok ganteng karena santri putri sama santri putra tempatnya dibatasi jadi Bapak deh salah satu sasaran Ica untuk cuci mata." Gus Faris membelalakkan matanya tak percaya dengan ucapan blak-blakan Ica. "Emangnya saya mangsa dan kamu predatornya apa? Sasaran-sasaran." Protes Gus Faris, Ica tergelak ia menatap Gus Faris dengan mengedipkan sebelah matanya. "Kalau Bapak yang jadi mangsanya, Ica mau deh jadi predatornya." Goda Ica, Gus Faris hanya menggeleng. Ia tak lagi menanggapi ucapan Ica yang semakin ngawur itu, dan akhirnya mereka bertiga tiba di mushola. Santri putri menatap Ica dan Fai iri karena mereka berdua bisa berjalan berdampingan dengan Gus Faris, Fai telah menyadari kalau mereka telah menjadi pusat perhatian namun Ica sepertinya seakan tak perduli. Dengan cuek Ica melangkah memasuki mushola diikuti Fai yang berjalan disampingnya Tanpa sadar, ketika memasuki mushola. Gus Faris melengkungkan sudut bibirnya membuat segaris senyum tipis terpatri diwajah tampannya, ia menggeleng pelan lalu mulai mengimami shalat subuh. * * * Ica melipat mukenanya lalu menyatukannya dengan sajadah, ia melirik Fai yang tengah menunggunya. Matanya memperhatikan sekitar, seperti mencari sesuatu. "Eh Ca." "Hmm." Ica masih sibuk berkelana dengan pencariannya. "Lo merhatiin gak kalau sedari tadi santri-santri yang lain pada natap lo." Ica melirik sekitarnya, yang diucapkan Fai memang benar. Santri-santri putri kerap mencuri pandang kearahnya, pandangan matanya seakan menelisik tubuhnya dari atas hingga bawah membuat Ica risih. Ia memelototkan matanya kearah mereka. "Apa lo liat-liat?" Dengan tergagap mereka menundukan pandangan mereka, Ica tersenyum puas. "Udah lah gak usah dipikirin, anak-anak disini pada polos-polos semua." Ica beranjak diikuti Fai, matanya tak sengaja menatap Gus Faris yang hendak keluar musholla. Dengan segera ia menghampiri Gus Faris, Sedangkan Fai hanya bisa mengikuti Ica dengan pasrah. "Pak Ustadz ganteng," panggil Ica, Gus Faris menoleh kebelakang. "Pak, tau gak tadi yang mengimami shalat subuh siapa? Duh suaranya tadi bagus banget, bacaannya fashih. Boleh dong Pak Ustadz ngenalin orang itu ke Ica? Please." Ica memasang wajah seimut mungkin agar Gus Faris mau mengabulkan permintaannya, Gus Faris hanya menatap Ica datar. "Itu saya." "Hah?" "Yang jadi imam itu saya." Ica menganggukkan kepalanya, seakan tersadar ia menatap Gus Faris tak percaya. "Owh, jadi tadi itu Pak Ustadz ganteng?Woah Ica gak percaya ternyata suara Bapak bagus begitu, biasanya kan kalau orangnya udah ganteng pasti ada kekurangan yang lain. Pak Ustadz mah emang calon suami idaman deh." Gus Faris menatap Ica dengan tatapan aneh. "Untuk apa kamu memikirkan suami-suami, usiamu masih remaja. Lebih baik perbaiki dulu tingkah dan kelakuanmu, perbanyak belajar ngaji tajwid dan kitab. Jodoh akan datang pada waktunya nanti." Setelah mengatakan itu, Gus Faris pergi meninggalkan Ica yang terbengong-bengong dengan ucapannya. "Fiks, Pak Ustadz ganteng itu harus jadi suami gue titik." Tekad Ica, sedangkan Fai hanya melongo mendengarnya. "Lo yakin?." Ica menatap Fai bingung. "Hah yakin? Yakin apa?" "Bisa dapetin Gus Faris." Ica menatap Fai sombong. "Yakinlah, siapa coba yang bisa nolak Ica. Cantik iya, pinter iya, seksi iya, manja iya. Ica pokoknya segala-galanya deh." Fai menggeleng mendengar tingkat kepercayaan diri Ica yang terlampau tinggi. "Jangan kebanyakan bermimpi, nanti kalau jatuh. Sakitnya tuh disini." Fai menunjuk dadanya sendiri seraya menatap Ica geli, sedangkan yang ditatap hanya mendengus sebal. "Udah yuk balik ke kamar ngambil peralatan ngaji, gue gak sabar pengen ketemu Pak Ustadz ganteng lagi." Mata Ica berbinar-binar menandakan bahwa ia sedang dilanda jatuh cinta, Fai menatap Ica ngeri. Fyuh untunglah ia tak seperti itu bila jatuh cinta, atau mungkin belum. "Fai buruan, kelamaan. Keburu ngajinya dimulai tuh." Ica menatap Fai sebal, sedangkan Fai hanya memutar bola matanya malas. Ia masih sibuk mencari al-qur'an miliknya. "Sabar dulu, gue lagi nyari qur'an gue ... nah ketemu, akhirnya." Ia menghampiri Ica. "Lama banget lo, yuk buruan." Fai mensejajarkan langkahnya dengan langkah cepat Ica. "Sabar elah, tumben-tumbenan lo semangat gini mau ngaji. Biasanya aja males-malesan." Ica menyengir. "Ya iyalah, secara kan Ustadz kita ini akan jadi jodoh masa depan gue. Jadi gue harus selalu ketemu dong, supaya dia cepat-cepat ada rasa sama gue." Fai menggeleng. "Semerdeka lo aja deh." Mereka sampai tepat waktu, karena setelah mereka duduk Gus Faris datang. Ica menatap Gus Faris yang menurutnya semakin hari ketampanannya semakin bertambah, ah kapan ya dia bisa bersama-sama Gus Faris. "Eh Fai, kok perasaan gue Pak Ustadz itu makin hari makin ganteng aja ya?" "Perasaan lo aja kali, menurut gue sama aja lah sama hari lain. Sama-sama ganteng." Ica berdecak. "Lo mah, gak bisa diajak ngomong deh." Fai Fokus dengan penjelasan Gus Faris yang menerangkan tentang ilmu tajwid, ia mengabaikan Ica yang sedari tadi mengomel tak jelas. Bukannya ia tak mau menanggapi, hanya saja ia tak ingin nantinya dihukum karena keseringan mengobrol seperti beberapa hari yang lalu. "Ish Fai, lo dengerin gue ngomong gak?" "Anissa, maju kedepan!" Ica langsung menoleh kesumber suara, ia meneguk ludahnya susah payah ketika melihat tatapan tajam dan datar dari Gus Faris. "Ayo." Ica akhirnya maju, ia menatap Gus Faris takut-takut. Ia takut dengan tatapan itu. "A-da apa P-pak Ustadz?" "Coba kamu jelaskan ulang apa yang sedari tadi saya jelaskan." Mata Ica membola, ia menatap Fai yang tengah menatapnya resah. Ia tau bahwa sahabatnya itu sedari tadi tidak memperhatikan penjelasan Gus Faris. 'Mati aja lo Ica.' Ica menatap papan tulis putih yang tertulis Ghunnah, ia mengernyit bingung. Ghunnah? Apa ya? Pikirnya. Ica menggeleng. "Ica gak bisa Ustadz." Gus Faris menatap Ica lalu menghela nafasnya. "Dari tadi saya nerangin ini semua, kamu dimana Anissa?" "Saya disini kok Pak Ustadz, Bapak kan bisa lihat sendiri kan?" "Maksud saya pikiran kamu dimana? Ragamu ada disini namun pikiranmu entah menghilang kemana sehingga tidak mendengar apa yang saya jelaskan." "Pikiran Ica gak kemana-mana kok Pak Ustadz, masih sama. Sama-sama memikirkanmu, aseeek." Gus Faris mengerjap, ia memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. "Ya sudah sana, lain kali bila saya menerangkan pikiranmu jangan kemana-mana." Ica mengangguk patuh, tumben. Gus Faris menerangkan kembali materi tajwid dengan Ica yang memperhatikan, namun bukan materinya melainkan wajah tampan sang Ustadz. Masya allah Ica, ck ... ck ... Adakah yang sama seperti Ica?....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD