4. Ganteng-Ganteng Ketus

1572 Words
* * * 'Jatuhku bukan sekedar jatuh, namun jatuhku telah meruntuhkan seluruh ego dan pertahanan sepanjang hidupku selama ini.' * * * Pemandangan pesantren yang menenangkan hati tak membuat hati dua gadis yang sedari tadi mengeluh merasakan ketenangan, malah sebaliknya yang mereka rasakan. Hati mereka panas mendengar berbagai lantunan ayat suci al-qur'an, mungkin karena tak pernahnya mereka membaca qur'an ketika menginjak usia remaja setan-setan menumpuk ditubuh dua gadis itu. Sedari tadi mereka mengobrol dengan kekesalan tiada tara karena kedua orangtua mereka tega meninggalkan mereka di tempat yang menurut mereka sangat tidak nyaman ini, mereka yang biasanya dapat bermain dengan bebas namun sekarang harus terjebak disebuah tempat yang menurut mereka lebih menyeramkan daripada rumah hantu. "Fai, kuping gue panas nih. Kapan sih ni anak-anak berhenti?" bisik Ica ditelinga Fai. "Gak cuma lo aja, gue juga. Biasanya kita bisa nonton film dan ngedengerin lagu romantis, tapi sekarang malah ngedengerin dan ngelihat hal yang membosankan kayak gini." "Gimana dong? Kita keluar aja yuk. Gerah nih disini." "Nanti kalau kita dimarahin terus dihukum gimana?" "Udah lo gak usah takut, Ustadz yang ngajar aja belum dateng." Akhirnya tanpa berpikir mereka berdua berjalan mengendap-endap mengambil sendal dengan cepat lalu mengenakannya, untunglah mereka berdua duduk dibarisan paling belakang. Jadi lebih memudahkan mereka berdua untuk kabur. Mereka berdua membalikkan badan dengan senyum yang mengembang, namun senyum itu luruh begitu saja ketika melihat seorang laki-laki berdiri menjulang seraya bersedekap d**a. Laki-laki itu menatap mereka datar, Ica memandangi laki-laki itu dari atas hingga bawah. Ia berdecak kagum, laki-laki ini sangat tampan. Tubuh tinggi tegapnya menjulang, dirinya hanya sebatas bahu laki-laki itu. Kulit putih bersih dengan hidung mancung, rasa-rasanya Ica menyukainya dalam pandangan pertama. Ia menatap laki-laki yang berada dihadapannya tak berkedip, sebelum kemudian laki-laki itu bersuara dingin dan datar. "Mau kemana?" Ica dan Fai gelagapan, mereka bingung ingin menjawab apa. Mereka memang tidak mengenal laki-laki ini, namun mereka tau sepertinya laki-laki ini merupakan orang penting dipesantren ini. "Gimana dong Ca?" Fai berbisik ditelinga Ica, Ica hanya berdeham lalu menatap Fai sekilas. "Mau pergi lah Bapak ganteng." Laki-laki itu melotot mendengar panggilan Ica untuknya, ia menetralkan kembali ekspresinya. Merubah wajahnya menjadi datar kembali. "Bapak ... Bapak ... saya bukan Bapak kamu, lagipula saya terlalu muda untuk dipanggil Bapak." Suara dingin dan ketus itu tak membuat Ica gentar sama sekali, sepertinya seru bermain kata dengan Bapak ganteng dihadapannya ini. "Terus saya harus panggil apa dong Pak?" tanyanya polos. Laki-laki yang ternyata adalah Gus Faris, melirik Ica dan Fai bergantian. "Mau kemana kalian?" tanyanya lagi mengabaikan pertanyaan polos Ica barusan. "Aduh Bapak, ganteng-ganteng kok lemot sih. Ini loh Pak Ica mau keluar, gerah Pak disini. Berisik ... Ica sama Fai gak tenang ada disini." "Kalian ini, kembali ketempat kalian. Acara mengajinya akan segera dimulai," titah Gus Faris, Ica dan Fai saling tatap. "Oke deh Pak, sampai ketemu lagi ya." Daripada mereka kena masalah yang berimbas akan melapor kepada kedua orangtua mereka, alhasil mereka mengikuti saja apa yang diperintahkan Gus Faris. Yaitu kembali bersama santri yang lainnya, sesekali Ica tersenyum sendiri membuat Fai heran dengan tingkah Ica. "Eh lo ngapain senyum-senyum sendiri? Udah hilang kewarasan otak lo?" "Sembarangan, gue tadi lagi mikirin Bapak ganteng tadi lo. Mungkin aja dia jadi jodoh gue ya kan?" Fai mencubit lengan Ica membuat perempuan itu mengaduh. "Ngaco lo, mana mau dia sama lo. Berandalan gini, sok-sokan mau dapetin selevel Ustadz." "Eh lo tau darimana kalau dia itu Ustadz? Belum tentu kan?" Fai menunjuk seseorang yang kini berdiri didepan dengan dagunya, seketika bola mata Ica hampir keluar dari tempatnya ketika ia melihat objek apa yang ditunjuk oleh Fai. "J-jadi dia itu Ustadz kita?" Ica meneguk ludahnya susah payah, gagal sudah deh mendapatkan orang ganteng. Ustadz itu mana mau dengannya yang mantan berandalan seperti ini, ia menghela nafas lalu menatap Fai dengan tatapan sedihnya. Belum sempat ia membuka suara, suara dingin dan ketus mengintrupsi keduanya. "Yang dibelakang kenapa? Mau belajar ngaji atau belajar ngegosip?" Sindiran Gus Faris membuat Ica dan Fai cengengesan. "Dua-duanya Pak, he ... he ... he ...." Gus Faris menggeleng mendengar ucapan Ica, ia menatap Ica datar lalu menyuruh perempuan itu maju. "Anissa, sini kamu maju." Ica menatap Gus Faris bingung, loh? Kok Bapak ganteng tau nama gue ya? Atau jangan-jangan dia naksir gue juga terus nyari info tentang gue? Meskipun bingung, Ica tetap maju. "Kok Bapak tau nama saya?" Gus Faris mengabaikan pertanyaan Ica. "Sekarang kamu buka al-qur'an yang kamu bawa, terus baca dihadapan saya." Mata Ica melotot mendengar perintah Gus Faris. "Loh untuk apa?" "Ya supaya saya tau kemampuan baca al-qur'an kamu seberapa." Dengan kepercayaam diri yang tinggi, Ica mulai membaca al-qur'an. Ia membaca surah An-Nissa sesuai namanya yang diambil dari nama surah itu, untunglah walaupun ia jarang mengaji dan lebih banyak menghabiskan waktu bermain dan shopping ia tidak melupakan huruf arab. Jadinya ia bisa membaca walaupun tidak lancar dan masih tersendat-sendat. Gus Faris mengangguk-angguk mendengar suara Ica yang merdu ketika ia mulai melantunkan beberapa ayat surah An-Nissa, walaupun tersendat-sendat namun itu cukup bagus. Ia berpikir dua perempuan yang diamanahkan dari kedua orangtuanya untuk ia ajari mengaji tidak mengerti huruf arab sama sekali, namun ia salah besar. Bacaan Ica memang tidak lancar dan tajwidnya pun kurang pas, sepertinya hanya itu yang akan ia ajarkan kepadanya. Alhamdulillah, rupanya tugasnya tidak terlalu berat. "Baiklah cukup." "Shadaqallahul adzim." "Gimana Pak Ustadz ganteng ? Bacaan saya bagus kan?" Ica mengedipkan matanya, membuat Gus Faris sedikit risih dengan apa yang Ica perbuat. Ia juga sedikit geli mendengar panggilan Ica untuknya. "Hmm, bacaan kamu cukup bagus. Namun ada beberapa yang perlu dipelajari, yaitu tajwid atau tanda bacanya kurang pas. Bacaan kamu juga tidak lancar, saya harap perbanyak membaca al-qur'an, ya sudah itu saja. Silahkan kembali ketempat." Gus Faris memang dapat berbicara banyak bila mengenai hal menasehati atau hal bermanfaat lainnya, namun bila diluar jam mengaji ia akan irit bicara. Bahkan bila ada yang menegurnya saja hanya diberi anggukan kepala pelan darinya tanpa membuka suaranya. "Gak sekalian saya disini aja Pak Ustadz? Nemenin Pak Ustadz gitu." Ica sepertinya mulai suka menggoda Ustadz gantengnya ini, walaupun ia sebenarnya tidak tau nama Ustadznya ini siapa. Ah nanti ia akan tanyakan. "Kembali ke tempatmu segera." Gus Faris berucap ketus membuat Ica hanya mendengus sebal. "Ganteng-ganteng ketus," gumamnya lalu kembali ke tempat duduknya. Ia menatap Fai yang tersenyum geli kearahnya, Ica merengut. "Kenapa lo? Ngetawain gue?" Fai hanya menggeleng. "Faisya, giliran kamu maju." Santri perempuan lainnya menatap Gus Faris protes. "Yah Gus Faris, kapan kita majunya?" Mendengar suara salah seorang, Ica hanya mengangkat bahunya acuh ketika melihat Fai mulai maju. Namun matanya melebar ketika menyadari ada kata yang barusan santri perempuan itu ucapkan, Gus Faris. Jadi dia yang namanya Faris? Dan tunggu Gus? Berarti dia anak Kyai malik dong? Apa iya seorang Gus akan mau bila bersanding dengannya? Karena jujur selama 17 tahun ia hidup didunia ini. Ia baru merasakan debaran aneh bila berada didekat Pak Ustadz gantengnya itu. Ya allah jika dia jodohku dekatkanlah, dan jika jodohnya orang lain jadikanlah aku orang lain itu. Amiiin. Konyolkah dirinya saat ini? Bodo amat ia tak perduli, yang terpenting sekarang Ia menyukai Pak Ustadz ganteng yang bernama Faris anaknya Kyai Malik. Titik. Fai kembali duduk disamping Ica hingga membuat perempuan itu terkejut dengan Fai yang tiba-tiba telah ada disampingnya. "Eh, ngagetin aja lo. Sejak kapan lo udah balik ke sini lagi?" Fai menatap Ica dengan bingung. "Barusan kok, kenapa lo kaget? Ngelamun ya?" Tebak Fai. "Enggak kok," Elak Ica. Ica mengalihkan pandangannya kedepan, ia menatap Gus Faris dengan seksama. Setelah diperhatikan lebih lama dan detail, ia seperti pernah mengenali Bapak Ustadz gantengnya ini. Tapi dimana ya?, ia membuang jauh-jauh pemikirannya. Mana mungkin seorang Gus bisa mengenal dirinya yang ilmu agamanya saja masih cetek begini, tapi sekarang mereka telah mengenal kan?. Berarti tidak ada salahnya dong kalau ia ber PDKT dengan Pak Ustadz ganteng ini, tidak ada hukum yang melarang kan? Ia tersenyum-senyum sendiri dengan pemikirannya barusan, ia menggelengkan kepalanya berusaha memburkan bayangan Gus Faris yang telah memenuhi pikiran dan hatinya. Sepertinya memang ia sudah gila, iya gila karena cinta. Fai yang melihat Ica tersenyum-senyum begitu menatap ngeri sahabat sekaligus sepupunya ini. Semenjak bertemu dengan Gus Faris, Ica sering tersenyum-senyum. Tidak seperti sebelum bertemu yang mukanya selalu masam semenjak mereka telah ditetapkan akan menetap disini dalam jangka waktu yang mereka pun tak tau, kapan mereka pulang. Fai kembali menatap Ica, sepertinya ia tau apa yang sahabat sekaligus sepupunya ini rasakan. Ica sedang jatuh cinta, aneh sekali memang. Menngingat Ica yang selalu menolak laki-laki yang berusaha mendekatinya, namun sekarang hanya bertemu beberapa kali saja dengan Gus Faris perempuan itu seakan mendapatkan lotre yang isinya sebuah tiket keliling dunia. Senangnya bukan main. "Ca, lo suka ya sama Gus Faris?" Fai langsung membuka suara karena tak tahan dengan tingkah Ica. Ia tak mau membuang waktu dengan berbasa basi jadi ia langsung bertanya ke intinya saja, yaitu alasan Ica tersenyum gak jelas itu. "Hah? Apa?" Ica yang sedari tadi sibuk melamun sambil menatap Gus Faris yang masih mengajari santri perempuan yang lain mengaji mengerjapkan kedua matanya ketika mendengar pertenyaan mendadak dari Fai. "Iya gue suka." Ucapnya kemudian , sedangkan Fai hanya bisa melongo mendengarnya. Ica ini kelewat jujur atau gimana sih? Tidak ada acara mengelak sama sekali ia langsung menjawab dengan pasti. Emang dasar sepupu plus sahabat terbalik eh maksudnya terbaik. Fai menatap Ica yang masih mengembangkan senyumnya, seketika ia bergidik. Apa jatuh cinta semenyeramkan itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD