Bab 1. Pengkhianatan Davin
"Jadi kapan kau akan meninggalkan Alexa, Davin?"
Suara seorang wanita terdengar oleh Alexa Wilson yang sedang berdiri di depan pintu sebuah room Klub Malam. Malam ini, ia memiliki janji untuk bertemu Davin di tempat ini demi mendiskusikan rencana pernikahan mereka.
Namun, yang ia dapatkan justru pengkhianatan dari tunangannya itu yang kini sedang asyik menghinanya bersama para sahabatnya dan juga kekasih barunya.
"Quinn benar, sekarang kau sudah sukses. Untuk apa kau masih mempertahankan Kasir Minimart itu? Lagipula, bukankah kau sendiri yang telah mengatakan pada kami kalau wanita itu sama sekali tidak ingin kau sentuh? Miskin saja sombong."
"Hei, tenanglah. Aku memang sudah berniat untuk melepaskannya malam ini. Sebentar lagi dia pasti akan datang."
Alexa mengepalkan kedua telapak tangannya dengan keras saat ia mendengar percakapan itu, membuat kuku-kukunya menancap ke telapak tangannya hingga terasa sakit. Ia tidak pernah menyangka bahwa Davin, pria yang telah ia kejar selama ini dan telah berjanji akan mencintainya selamanya, akan melakukan hal ini padanya. Berselingkuh di belakangnya dengan putri seorang jutawan yang juga merupakan Bos kekasihnya itu di Perusahaan tempat Davin bekerja.
Davin tidak tahu kalau ia telah bersusah payah bersembunyi di Glasgow ini, meninggalkan kehangatan rumah mewahnya dengan harapan bisa menikah dengan pria itu yang telah menjadi kekasihnya selama satu tahun belakangan ini hanya gara-gara kakeknya tidak menyetujui hubungan mereka.
Bahkan, ia terpaksa bekerja sebagai kasir di sebuah Minimart dan tinggal di sebuah apartemen mungil. Karena sejak ia memutuskan untuk kabur dari rumah mewahnya— sebuah mansion besar bak Istana, baik kartu kreditnya, maupun kartu banknya, semua telah diblokir oleh kakeknya agar ia segera pulang.
Alexa tidak pernah memberitahu Davin bahwa ia bukan berasal dari keluarga menengah ke bawah seperti yang selalu dipikirkan oleh tunangannya itu tentangnya selama ini. Berharap, nantinya pria itu bisa mencintainya dengan tulus. Sayangnya, Davin tetaplah manusia biasa. Pria itu sama sekali tidak tahu jika Alexa telah mempersiapkan kejutan besar untuknya jika Davin bersedia menikah dengannya yang hanya seorang kasir Minimart.
Dengan kepala tertunduk dan tangan gemetar, Alexa mengambil ponselnya dari dalam tas sandangnya. Jarinya bergerak cepat mengusap layar ponsel, mencari nomor kakeknya.
Di sudut lounge yang gelap, di tengah hiruk-pikuk suara musik, ia menunggu hingga panggilannya diangkat. Alexa duduk menghadap sebuah meja kecil sambil menggigit kukunya. Ia mengenakan mantel tebal untuk menutupi setelan murahan yang ia kenakan di tubuhnya, tudung mantel itu menutupi kepalanya, menyembunyikan wajahnya yang pucat.
"Anak nakal, apa sekarang kau sudah menyerah dan memutuskan untuk pulang?"
Suara berat kakeknya menyapa indera pendengaran Alexa setelah cukup lama ia menunggu. Ia tersenyum getir ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh kakeknya itu padanya.
"Kek, aku ... merasa sangat lelah," ucapnya lirih.
Selama beberapa saat sambungan ponsel sontak menjadi hening. Seorang pelayan datang menghampirinya untuk mengantarkan pesanannya. Segelas waterfall dinyalakan di hadapannya, api di dalam gelas itu berwarna biru. Saat api itu padam, Alexa segera menghabiskan minuman itu hanya dalam satu kali sedot. Cairan panas membasahi mulutnya, sangat panas seakan mampu membakar batang tenggorokannya. Tetapi tidak lebih panas dari api yang sedang berkobar di dalam hatinya saat ini.
"Berikan aku dua gelas lagi," titahnya sembari menyerahkan lembaran seratus pound pada pelayan yang baru saja mengantarkan minumannya. Pelayan yang masih setia menunggu di samping meja yang ia tempati.
Pelayan itu mengangguk dan bergegas pergi untuk mengambilkan pesanan Alexa.
"Anak nakal, apa kau sekarang sedang berada di Bar murahan? Apa Davin b******k itu yang telah membawamu ke sana?"
"Kek!" tukas Alexa menginterupsi, "Besok aku akan pulang, tetapi malam ini ... tolong izinkan aku melakukan apapun yang kuinginkan. Setelah itu, aku akan menuruti semua keinginan Kakek. Menjadi Cucu yang patuh."
Helaan napas berat terdengar dari seberang panggilan, disusul oleh suara kakeknya setelahnya. "Apa uangmu masih cukup? Karena kau sudah memutuskan untuk pulang, Kakek akan membuka kedua kartumu malam ini. Nikmatilah hidupmu, setelah itu tinggalkan b******n sialan itu. Dia tak pantas untukmu."
"Akan kulakukan." Sebutir bulir bening turun di sudut mata Alexa yang langsung dihapus dengan kasar olehnya. "Aku sayang Kakek."
"Kakek juga menyayangimu."
Sambungan ponsel pun terputus beberapa saat kemudian, meninggalkan Alexa sendiri dengan dua gelas minuman yang telah diantarkan ke mejanya.
"Tidak ada pria yang bisa dipercaya di Dunia ini," gumamnya. Alexa menggigit bibirnya seraya memperhatikan salah satu waterfall yang telah dinyalakan di hadapannya. Ia pernah beberapa kali minum whisky secara diam-diam dulu tanpa sepengetahuan kakeknya, tapi hal itu sudah lama sekali.
Dengan sedotan alumunium, ia menyesap kembali segelas waterfall. Menghabiskan dua gelas minuman dalam waktu 30 menit demi meredakan kesedihannya—efeknya langsung terasa olehnya. Kepalanya mulai terasa pusing, pandangannya tidak lagi sejernih sebelum ia minum. Namun Alexa tidak berhenti, sekali lagi menghabiskan segelas waterfall sebelum ia beranjak dari sofa single yang telah ia duduki sejak ia pergi dari depan room yang diisi oleh Davin bersama para sahabatnya juga kekasih barunya.
Dengan langkah tertatih, ia menyeruak kerumunan pengunjung Klub. Berusaha keras agar tetap tersadar di tengah aroma parfum yang beraneka ragam dari tiap orang yang ia lewati.
Saat berhasil membebaskan dirinya, di salah satu sofa, tatapannya jatuh pada seorang pria bertubuh ramping. Otot tubuh pria itu tercetak di kemeja hitam yang melekat di tubuhnya. Dua kancing teratas kemejanya tampak terbuka, sementara lengan kemeja pria itu tergulung rapi hingga ke siku. Ada tatto di lengan kerasnya, dan dari penampilannya— pria itu mirip sekali dengan seorang berandalan. Wajahnya kaku, bibirnya membentuk garis lurus. Pria itu duduk santai dengan dua pria lain yang jauh lebih rapi darinya.
"Hei!" tegur Alexa, menghampiri pria itu sambil memegang kepalanya yang terasa semakin pusing. Tiba di depan sofa yang pria itu duduki, ia langsung menurunkan bokongnya yang ramping di samping pria itu. "Aku akan membayarmu sebanyak 5000 pounds kalau kau bersedia menghabiskan malam denganku."
Dengan punggung bersandar pada sandaran sofa, dan salah satu lengannya tergeletak di atas sandaran itu—Razor Spencer melirik ke arah wanita yang baru saja menegurnya. Salah satu alisnya terangkat naik melihat mantel murahan yang wanita itu kenakan. Dua pria yang sedang duduk bersamanya tampak ingin memprotes perbuatan wanita itu padanya, namun Razor memberi isyarat dengan gerakan tangannya agar kedua pria itu tetap menutup rapat mulut mereka.
"Kau ingin tidur denganku?" lontarnya dingin, matanya yang tajam mengamati penampilan Alexa. "Kau yakin bisa membayarku sebanyak 5000 pounds?" sindirnya.
Alexa merasa isi perutnya seakan naik ke d**a. Sejenak, ia menarik napas dalam-dalam demi meredakan mabuknya. "Ya, aku yakin! Dan bisa memberikan uang itu padamu."
"Hmm, bagaimana jika kau perlihatkan wajahmu padaku? Jika aku menyukainya, aku akan menyetujui permintaanmu itu."
Alexa menurunkan tudung yang menutupi kepalanya. Tanpa tudung itu, ia bisa melihat wajah pria yang berada di sampingnya saat ini. Meski sedikit kabur, ia tahu jika pria itu memiliki tatapan mata yang tajam dan dingin, wajah yang keras, serta rahang yang indah.
Seperti Alexa mengamati dirinya, Razor juga memperhatikan wajah wanita itu yang terlihat pucat di bawah lampu lounge yang temaram. Tetapi Alexa memiliki mata yang besar dengan bulu mata yang lentik, hidung yang ramping dan tinggi, juga bibir yang tipis. Sayang sekali wajah secantik itu justru terlihat putus asa.
"Siapa namamu?" tanyanya sambil menegakkan tubuhnya, bergerak perlahan mendekati Alexa. "Kita tidak bisa melakukan transaksi jika aku tidak tahu siapa namamu."
"Alexa, namaku Alexa Wilson," tukas Alexa cepat.
"Dan alasanmu ingin menghabiskan malam denganku?"
"Agar kau bisa membantuku untuk melupakan pria b******k itu!" Alexa mendengus dengan kedua tangan terkepal di atas pangkuannya. Kelopak matanya semakin turun, kesadarannya mulai menipis.
Razor memperhatikan wanita itu sembari tersenyum smirk, "Ternyata sedang patah hati?" ledeknya.
"Aku sedang patah hati atau tidak, sama sekali tidak ada hubungannya denganmu," sungut Alexa gemas. Andai ia tidak sedang sangat mabuk sekarang, rasanya ia ingin memukul wajah pria yang sedang berbicara dengannya ini. "Dan, sebaiknya permainanmu sangat bagus, atau aku tidak akan membayarmu jika kau tidak bisa membuatku melupakan b******n itu!" imbuhnya lagi.
Razor terkekeh pelan, "Jadi ... pria itu sudah menikmati tubuhmu lalu pergi begitu saja?"
"Tidak, bukan seperti itu." Alexa kembali menggigit bibirnya, "Aku ... belum pernah tidur dengannya. Aku belum pernah tidur dengan siapapun."
Sudut bibir Razor melengkung tipis ke atas. "Menarik," bisiknya. Lalu langsung beranjak dari sofa, membungkuk, kemudian mengulurkan kedua tangannya. Mengangkat Alexa ala bridal style. "Namaku Razor Spencer. Aku tidak peduli apa alasanmu untuk tidur denganku. Yang kuinginkan adalah ... kau harus mengingat namaku ketika aku menyentuh setiap inci tubuhmu."