“Ya Allah, bisa-bisanya kamu tidak membawa mukena di sini. Apa jangan-jangan kamu tidak punya mukena di rumah?” Rida masih gemas dengan kenyataan Najma tidak membawa mukena sama sekali, padahal itu hal yang wajib di bawa oleh kaum perempuan saat berpergian karena salat adalah kewajiban setiap muslim.
Selama neneknya mengoceh, Najma hanya diam sambil memainkan kuku-kukunya. Tampak sekali Najma yang tidak peduli akan ucapan neneknya itu. Bagi Najma, neneknya terlalu membesar-besarkan masalah.
“Najma!” tegur Rida karena sadar tidak diperhatikan oleh cucunya itu.
“Ya namanya juga lupa,” jawab Najma seadanya. Dibanding lupa, Najma bahkan tidak terbersit sedikit pun untuk membawa mukena miliknya.
“Kamu bisa mengaji?” tanya Rida memastikan karena dia tidak bisa mengabaikan hal yang mungkin bagi orang-orang terlihat sepele seperti ini. Dengan Najma yang lupa membawa mukena saja itu sudah membuat Rida tahu bahwa Najma tidak selalu melakukan salat, bahkan melakukan kewajiban yang lainnya.
“Nenek kenapa nanya hal itu sih.” Pertanyaan tentang agama memang suatu hal yang sensitif bagi Najma. Dia tidak begitu ikut campur jika sudah ada yang membahas agama, bahkan tidak pernah ada yang menanyakannya tentang hal yang berurusan agama juga padanya.
“Ya kamu tinggal jawab saja, kamu bisa mengaji atau belum? Nenek bertanya seperti ini agar Nenek tahu harus memperlakukanmu seperti apa.”
Najma terdiam, matanya memandangi neneknya dengan pandangan kesal. Baru saja Najma ingin menjawab ucapan neneknya itu, neneknya lebih dahulu berucap dengan lantang.
“Diammu Nenek anggap kamu memang tidak bisa mengaji. Setelah salat isya kamu akan Nenek ajarkan dari iqro.”
Bibir Najma ternganga mendengar itu, bisa-bisanya dia harus belajar iqro? “Nek, aku bisa iqro!” ucap Najma tak terima. Untuk apa dia belajar iqro lagi coba, dulu juga dia sudah pernah belajar iqro dan seingat Najma dia bisa.
“Ya nanti kamu buktikan.” Rida tidak peduli dengan tatapan kesal dari Najma. Dari jendela ruang tamu yang sedikit terbuka, Rida melihat Liana yang sudah kembali dengan membawa mukena yang dimintanya untuk dipinjamkan ke Najma.
“Ayo bangun, Lia sudah datang membawa mukenanya.”
Mukena yang dibawa Liana sukses membuat Najma kaget. Liana hanya berbeda dua tahun darinya, tapi kenapa mukena yang diberikan Liana bergambar princess! Tidak hanya mukena yang diberikan Liana saja, tapi mukena yang dipakai Liana juga bergambar princess.
“Aku enggak mau pakai.” Najma meletakkan kembali mukena yang hampir saja dia pakai itu.
“Kamu mau pakai mukena Nenek?”
Najma tentu saja menggeleng karena dia juga tidak ingin menggunakan mukena neneknya yang sangat jadul, bahkan mukena neneknya memakai sarung yang biasa dipakai bapak-bapak ngeronda.
“Ya makanya pakai saja itu.”
“Aku enggak suka princess, geli banget pakek gituan.” Membayangkan dirinya memakai mukena bergambar princess membuat Najma bergidik ngeri.
“Tapi Lia cuman punya mukena gambar princess aja Kak.” Liana tampak sedih karena Najma ternyata tidak suka dengan mukenanya.
“Pakai itu untuk hari ini, besok pagi kita ke pasar beli mukena yang sesuai selera kamu.”
“Ya salatnya besok aja,” jawab Najma enteng. Ini belum satu hari dia di rumah neneknya tapi dia sudah dipaksa seperti ini. Bagaimana jika dia selama sebulan di sini? Bisa mati dia.
“Kehidupan pesantren bahkan lebih berat dari ini”
Ucapan neneknya sukses membuat Najma dengan berat hati memakai mukena milik Liana. Najma tidak mau masuk pesantren, kehidupan yang penuh aturan itu akan membuatnya tersiksa. Membayangkan dirinya masuk ke pesantren saja sudah membuat bulu kuduk Najma berdiri.
Mukena warna pink bergambar princess itu akhirnya terpakai di tubuh Najma. Najma tidak masalah dengan warna pink, tapi pink yang mencolok seperti ini dan dengan gambar princess benar-benar membuatnya sakit mata.
Sepanjang perjalanan menuju masjid, Najma hanya bisa menundukkan wajahnya karena terlalu malu. Apalagi banyak orang yang menatapnya, bahkan mereka dengan sengaja berjalan bersama neneknya karena merasa penasaran.
“Winda mana Nek Rida? Enggak ikut ke sini?”
“Dia sibuk jadi langsung pulang.”
“Udah lama banget rasanya, dulu Najma masih kecil banget sekarang udah besar dan cantik.”
Najma memutar bola matanya bosan mendengar basa-basi itu. Orang-orang di desa ini tampak sekali sok akrabnya. Najma yakin jika di kepala mereka penuh dengan hujatan untuk keluarganya. Anak mana yang tidak pernah pulang kampung? Mungkin kalimat itu akan muncul di kepala mereka. Jika rumah neneknya di tempat yang lebih layak dari di desa ini, Najma yakin jika mamanya tidak masalah jika harus sering-sering pulang.
“Najma kira-kira sampai kapan ya di sini?”
“Mungkin satu bulanan, tapi bisa saja lebih cepat dari itu karena dia harus mengurus keperluan masuk ke sekolah yang baru.”
“Emangnya Najma sekarang mau masuk apa, SMP?” tanya ibu-ibu itu.
Najma mendapatkan senggolan dari neneknya. Najma pun segera menjawab, “Iya, ini baru mau masuk SMP.”
“Oh baru mau masuk. Nanti pas masuk SMP pasti jadi rebutan.”
Najma melirik ke arah ibu-ibu sok akrab itu, ibu-ibu itu tampak tersenyum ke arahnya, sayangnya senyum itu tidak terlihat tulus di mata Najma.
“Sayang banget ya si Liana sama teman-temannya masih sekolah, jadi Najma di sini enggak ada temen kalau pagi.”
Lagi dan lagi Najma dibuat kesal oleh ibu itu. Dia sudah tidak tahan lagi untuk tidak membalas ucapan ngaco dari ibu itu. “Siapa juga yang butuh main sama anak-anak sini. Mau mereka sekolah kek, enggak kek, aku enggak peduli.” Najma mendengus kesal.
“Najma yang sopan,” tegur Rida. Rida cukup kaget dengan Najma yang berani menjawab dengan tidak sopannya. Setidaknya, jika Najma tidak suka dengan situasi seperti ini, Najma bisa menahannya. Jika seperti ini orang-orang akan tahu jika dia anak yang tidak pernah diajarkan sopan santun oleh orangtuanya.
“Maaf,” ucap Najma dengan berat hati pada ibu-ibu itu. Najma bisa melihat bagaimana tatapan ibu-ibu itu yang cukup kaget dan tak percaya. Najma yakin jika setelah ini ibu-ibu itu akan menyebarkan kejadian ini.
Sesampainya di masjid magrib masih ada waktu untuk Najma termenung sebelum azan magrib berkumandang. Najma merasa tidak nyaman dengan semua hal asing ini. Apa dia benar-benar bisa bertahan di tempat seperti ini? Najma baru melihat bagaimana sedikit kekejaman neneknya, bagaimana jika dia sudah melihat semua kekejaman itu? Membayangkan dirinya mendapatkan kekejaman yang lainnya membuat Najma bergidik ngeri. Najma ingin kabur saja dari sini, tapi dia tidak memiliki sepersen uangpun.
“Haaaah….” Najma menghela napas berat kemudian bertopang dagu. Dia meratapi nasibnya yang buruk sekali.
“Berhenti melakukan hal itu,” tegur Rida karena mendapati Najma bertopang dagu. Dia tidak suka melihat seseorang bertopang dagu ditambah dengan wajah memelas.
Masih dengan posisi menopang dagu, Najma melirik neneknya. Neneknya yang melotot membuat Najma memutuskan untuk berhenti menopang dagunya. Untuk hal seperti ini saja dia ditegur.Oh Tuhan, mimpi buruknya benar-benar terjadi sekarang.
Duduk diam di samping neneknya membuat Najma merasa gerah. Dia melirik ke penjuru ruangan dan mendapati Liana dan teman-temannya ada di pojok ruangan dan agak sedikit belakang. Kenapa hanya dirinya yang dipaksa menemani neneknya? Kenapa Liana tidak melakukan hal yang serupa?
Jika Liana saja diijinkan duduk dengan teman-temannya, setidaknya Najma juga harus duduk di sana bukan? Walau Najma tidak yakin dia bisa suka dengan bocah ingusan itu, tapi itu lebih baik dibandingkan harus bersama neneknya. Ini jelas ketidak adilan bagi Najma.
“Cepat bangun,” bisik Rida kemudian berdiri dengan sedikit susah payah.
Najma tidak langsung berdiri karena dia bingung kenapa dia harus berdiri. Saat melihat ke sekelilingnya, Najma baru sadar bahwa semua orang sudah siap untuk melakukan salat berjamaah. Dengan berat hati Najma bangun dari duduknya dan mulai bersiap-siap untuk ikut salat berjamaah.
Saat akan membaca niat salat, Najma terdiam. Dia ternyata banyak melupakan niat salat. Ini jelas situasi yang genting. Jangan sampai neneknya mengetes bacaan salatnya juga karena Najma tidak tahu harus melihat contekannya di mana. Jika di sekolah, Najma bisa mencarinya di internet dan di buku kemudian menghapalkannya, tapi di sini Najma tidak bisa melakukannya.
Di setiap rakaat salatnya Najma mendapatkan insiden, entah itu kepalanya yang tanpa sengaja terkena kaki orang di depannya atau ujung mukenanya yang duduki oleh orang di sampingnya. Puncak insiden itu tepat di rakaat ketiganya di mana mukena yang dikenakan Najma lagi-lagi diduduki orang di sampingnya, hal itu membuat kepala Najma sampai miring dan dengan kesal Najma menarik mukenanya itu dengan cukup keras.
Sabar, sabar, sabar, batin Najma dalam hati dengan semua insiden yang dialaminya ini.
Penderitaan Najma tidak sampai di sana saja. Najma kira, dia bisa pulang setelah selesai sholat maghrib, tapi ternyata tidak sama sekali. Ada pengajian di masjid yang membuat Najma tidak bisa pulang. Sekarang Najma mengerti apa maksud dari neneknya tadi siang. Apa neneknya tidak kasihan jika dia baru saja datang jauh-jauh dari kota ke desa ini? Jika jaraknya hanya puluhan kilo meter itu tidak masalah, ini ratusan!
“Nek capek.” Setelah mencoba bertahan di tengah pengajian yang berlangsung Najma akhirnya memberanikan dirinya untuk mengutarakan isi hatinya.
Rida sudah bisa menduga Najma akan mengatakan hal ini dan pengakuan Najma ini cukup lama dibandingkan perkiraannya. “Habis isya kita pulang,” jawab Rida enteng.
“Ngantuk,” lirih Najma dengan wajah memelasnya.
Rida hanya tersenyum dan menggeleng kemudian kembali fokus ke depan di mana seorang ustaz tengah memberikan ceramah.
Najma menghela napas lelah lalu menyenderkan tubuhnya di pilar yang ada di sampingnya. Berada di dekat pilar memang suatu keuntungan karena bisa menjadi tempat sandaran, tapi tetap saja Najma ingin merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Mengingat kembali rasa tempat tidur yang tidak ada empuk-empuknya dibandingkan tempat tidurnya di kota membuat Najma menghela napas.
Lelah dan ingin istirahat, Najma sudah tidak sanggup lagi berada di sini.