Setelah melakukan banyak aktivitas, tidur akan terasa sangat nyenyak. Terbuai akan perasaan nyaman itu akan membuat orang-orang akan enggan untuk membuka matanya, termasuk Najma. Najma yang kemarin mengalami banyak kejadian tampak tidur dengan sangat nyenyaknya. Saking nyenyaknya, Najma sampai tidak mendengar suara ketukan dari pintu.
Najma menggeliat tidak nyaman saat merasakan sesuatu yang dingin jatuh ke wajahnya. Sesuatu yang dingin dan basah itu semakin intens jatuh di atas wajah Najma dan hal itu membuat Najma mau tidak mau membuka sedikit matanya dan saat itu mendapati siluet wajah yang tidak asing diingatannya.
“Najma, Najma, Najma bangun!”
Panggilan itu terdengar berulang namun Najma terlalu malas untuk menanggapinya. Yang Najma lakukan saat itu hanya mengusap wajahnya yang basah dan kembali tidur karena rasa kantuknya kembali datang yang membuat matanya kembali tertutup. Begitu mata itu tertutup, Najma kembali merasakan sesuatu yang dingin dan basah itu jatuh di atas wajahnya. Najma sontak membuka matanya, dia tampak kaget saat melihat neneknya berdiri sambil membawa gayung.
“Bangun, bangun, bangu, sebentar lagi subuh,” ucap Rida sambil mencoba menarik tangan Najma agar bangun dari tidurnya.
Tangan yang ditarik membuat tubuh Najma akhirnya terduduk namun dengan sengaja Najma kembali merebahkan tubuhnya. Najma sebenarnya belum sadar sepenuhnya, dia bahkan masih bingung dengan kehadiran neneknya di kamarnya. Yang sekarang Najma butuhkan adalah tidur jadi pertanyaan yang sempat terbersit di kepalanya itu dia abaikan.
“Najma!” ucap Rida cukup keras dan penuh penekanan yang membuat Najma sontak tersadar dan mengingat apa yang sudah pernah dia lalui kemarin. Semuanya yang terasa seperti mimpi buruk itu ternyata adalah kenyataan yang tidak dapat Najma hindari.
“Nek aku masih ngantuk, aku tidur lagi ya?” pinta Najma baik-baik, Najma bahkan memberikan senyum permohonannya.
“Habis mandi kamu tidak akan ngantuk lagi. Jadi, ayo bangun.” Mau memohon seperti apapun, jika itu berhubungan dengan meninggalkan salat, Rida tidak akan mengiyakan hal itu.
Mendengar kata mandi Najma sontak melihat jam dinding yang ada di kamar itu dan baru jam 4:40 pagi. Apa neneknya sekarang bercanda menyuruhnya untuk mandi di jam sepagi ini? Tidakkah neneknya merasakan hawa dingin yang sekarang terasa? Bahkan hawa dingin masuk dengan mudahnya di rumah ini dan mandi di keadaan seperti ini bisa-bisa dia terkena hipotermia.
“Nek, ini kepagian buat mandi, terus airnya pasti dingin banget, di rumah aja aku baru mandi jam 6 dan itu airnya cukup dingin loh, apalagi di sinikan?” Membayangkan tubuhnya yang terkena air sedingin es batu membuat Najma bergidik ngeri.
“Di sini tidak ada yang namanya kepagian. Semua orang di desa ini melakukan hal ini dan semuanya baik-baik saja.”
“Ya itu di sini, akukan orang kota.” Setelah mengatakan itu Najma membalikkan tubuhnya untuk memunggungi neneknya. Najma terlalu malas untuk melihat wajah neneknya yang terlihat sangat menyebalkan. Bisa-bisanya dia menyamakan kehidupan orang kota dan desa, jelas dua hal itu sangat berbeda bahkan bertolak belakang.
Baru sebentar Najma memejamkan matanya, Najma merasaka percikap air jatuh membasahi bagian punggungnya dan itu membuat Najma menaikkan selimut yang dikenakannya.
“Jangan sampai Nenek mandikan kamu di dalam kamar, Najma. Kamu tahukan Nenek tidak pernah bercanda?”
Najma mencoba mengabaikan ocehan neneknya tapi ocehan neneknya terus berlanjut yang membuat Najma akhirnya lelah dan memutuskan untuk bangun dan mengikuti perintah neneknya untuk mandi pagi. Mungkin selama 11 tahun hidupnya ini, ini kali pertama Najma mandi saat matahari bahkan belum muncul sama sekali. Najma tidak bisa membayangkan di desa ini semua orang mandi saat dini hari seperti ini. Apa mereka semua tidak merasakan rasa dingin yang sampai terasa ke tulang-tulang?
“Jika kamu selalu mengikuti ucapan Nenek, semuanya akan jauh lebih baik. Nenek melakukan ini tentu bukan untuk menyiksamu karena Nenek tahu apa yang terbaik.”
Di belakang Najma mencibir ucapan neneknya. Tahu yang terbaik? Jangan bercanda, tidak ada yang tahu apa yang terbaik untuknya kecuali dirinya sendiri.
“Mandi, Nenek tunggu di sini.”
“Iya-iya.” Najma melangkah masuk ke kamar mandi dengan malas.
Najma mengikat tinggi-tinggi rambutnya yang panjang dan mulai membuka seluruh pakaiannya. Yang Najma lakukan setelah itu duduk termenung dengan jari yang masuk ke dalam bak mandi. Airnya sangat dingin dan Najma tidak yakin bisa menahan rasa dingin yang akan menyambutnya.
“Jangan lupa keramas!”
Seruan dari neneknya itu membuat Najma sontak menoleh ke arah pintu dan melotot. Kedua tangan Najma terkepal erat dan dengan kesal Najma membuka ikatan rambutnya dan membuangnya dengan kesal.
“Menyebalkaaaaan….” desis Najma dengan emosi yang dia tahan.
“Cepat mandi!”
Mendengar teguran dari neneknya lagi membuat Najma yang kesal tanpa sadar mengambil gayung dan menyiram isinya ke tubuhnya. Sontak saja hal itu langsung membuat Najma memekik karena merasakan dingin yang tak tertahankan.
Suara air yang jatuh dan diikuti pekikan itu membuat Rida yang ada di luar geleng-geleng kepala. Terdengar samar-samar suara Najma yang mendumel. “Biar enggak dingin jangan berhenti!” tegurnya.
Najma melirik ke arah pintu. Dia jelas sangat kesal dengan neneknya. Najma pun mengikuti perintah neneknya. Semakin banyak air yang membasahi tubuhnya, Najma ternyata menjadi sedikit terbiasa dengan hawa dingin yang melingkupinya. Dan tanpa terasa Najma sudah selesai dari kegiatan mandi paginya itu.
Rasa dingin yang tadi sempat sedikit berkurang ternyata kembali terasa saat Najma sudah selesai dengan kegiatannya itu. Saat keluar dari kamar mandi Najma terus menggigil karena kedinginan.
“Sudah wudu?”
Najma hanya menatap neneknya dengan kebingungan. Kebingungan Najma lantas membuat Rida kembali berucap, “Kembali masuk ke kamar mandi untuk wudu!”
Suara tegas neneknya membuat Najma menarik napas dalam-dalam lalu berbalik dan kembali masuk ke dalam kamar mandi untuk wudu. Terlihat sangat jelas jika Najma sudah sangat kesal dengan neneknya itu.
“Siapa yang mengajari cara wudu seperti itu!”
Teriakan keras itu membuat Najma sontak kaget. Najma bahkan langsung menoleh ke belakang dan tepat di ambang pintu neneknya berdiri dengan wajah masamnya. Najma meneguk ludahnya takut.
“Tangannya dibasuh sampai siku, terlihat sekali kamu tidak niat wudu. Apa perlu kamu Nenek wuduin?”
“Enggak usah, ini aku ulangi.” Najma mengulang wudu yang dilakukannya. Sekarang Najma melakukannya dengan lebih niat dan sesuai arahan neneknya.
Selesai berwudu, Najma harus mengikuti neneknya pergi ke masjid untuk salat subuh berjamaah. Sepanjang perjalanan Najma terus-terusan menggigil karena dingin yang tidak biasa dia rasakan. Suara gemertak gigi Najma bahkan terdengar memecah kesunyian.
Rida menghela napas, dia sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah Najma. “Berlebihan sekali kamu ini,” ucapnya.
“Ya kalau Nenek tinggal di kota dan baru pertama kali ke sini, Nenek pasti ngalamin hal yang sam,” balas Najma tak terima.
“Pertama kali Nenek ke sini, Nenek tidak pernah bertingkah seperti kamu….” Rida sama seperti cucunya. Lahir dan besar di kota, tapi Rida harus mengikuti suaminya untuk tinggal di sini dan Rida sangat nyaman di sini.
“Itukan Nenek….”
“Nenek saja bisa beradaptasi, kamu juga pasti bisa dong, bahkan di zaman Nenek itu,”
“Ya Nenek baik-baik ke aku makanya,” potong Najma cepat karena tidak ingin mendengar dongengan neneknya.
“Tentu Nenek akan baik ke kamu, tapi kamu juga harus baik dan patuh sama Nenek.”
Najma menghentikan langkahnya dan memandangi neneknya dengan lekat. “Jadi menurut Nenek aku enggak baik?”
Rida yang menyadari itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Najma. “Kamu baik, hanya saja tidak patuh. Ayo cepat jalan, azan sudah berkumandang.”
Najma mendengus kesal dan mengikuti langkah neneknya yang sekarang berjalan lebih cepat karena azan sudah berkumandang. Najma kesal dipandang sebelah mata seperti itu oleh neneknya. Dia kurang baik dan patuh dari mana coba? Hanya karena dia suka bermain game dan nilainya sedikit turun dia mendapat cap anak tidak baik dan tidak patuh? Yang benar saja.
Sampai di masjid Najma memandangi sekelilingnya yang ternyata tidak seramai saat magrib dan isya. Jika yang lain saja tidak ke masjid, kenapa dia harus ke sini coba? Salat di rumah sajakan bisa. Sayangnya pertanyaan itu hanya bisa Najma simpan dalam hatinya karena salat langsung dimulai begitu mereka tiba di masjid.
Begitu salat subuh selesai, dipikiran Najma dia akan bebas karena salat zuhur masih lama, jadi dia punya waktu untuk kembali tidur. Beberapa jam sepulang dari masjid Najma memang diberikan waktu untuk sendiri, tapi begitu masuk waktu sarapan, Najma sudah mulai merasa sesuatu yang tidak benar akan terjadi.
Perasaan Najma memang tidak salah karena begitu selesai sarapan, dia langsung diajak pergi ke pasar. Ajakan itu tentu saja langsung ditolak oleh Najma. Mendengar kata pasar saja Najma sudah merinding, apalagi jika dia benar-benar ada di dalam pasar. Dulu Najma pernah harus melewati pasar untuk pergi ke sekolah dan saat melewati itu, semua hal yang tidak disukainya ada di sana.
Sekeras-kerasnya Najma menolak, pada akhirnya dia tetap pergi juga karena neneknya lagi-lagi mengancam. Najma sadar jika sekarang hidupnya penuh dengan ancaman dan paksaan. Hidup seperti apa ini?
“Nek, pasarnya masih jauh?” Najma menghela napas lelah. Dia baru saja keluar dari rumah dan dia sudah sangat capek sekali. Badannya lelah karena semua kegiatannya kemarin, apalagi dia yang kurang tidur seperti ini. Oh ya, seingat Najma dia tidak melihat pasar di dekat tempat neneknya.
“Di sini enggak ada pasar, adanya di tempat lain.”
Najma tampak kaget. Tidak mungkin mereka akan berjalan ke pasarkan?
“Kita jalan sampai sana.” Tunjuk Rida pada ujung jalan.
“Terus ke pasarnya naik apa?”
“Kita harus naik angdes dulu.”
“Angdes?”
“Kalau di kota angkot, di sini angdes.”
Najma akhirnya melihat penampakan dari angdes, ternyata memang sama seperti angkot. Najma tahu angkot karena beberapa temannya pulang dengan itu dan teman-temannya yang lain merasa nyaman-nyaman saja pulang dengan angkot. Melihat angdes yang mirip dengan angkot, Najma kira angdes yang akan digunakannya ke pasar sama seperti angkot-angkot yang digunakan beberapa temannya. Tapi ternyata Najma salah, karena saat naik angdes Najma harus menahan napasnya karena aroma yang tercium di dalam angdes sangat beranekaragam.
Aksi Najma yang menahan napasnya itu tentu saja tidak lepas dari penglihatan Rida. Najma memang harus dibiasakan melakukan hal-hal yang dia tidak suka agar Najma sadar jika hidup tidak hanya enaknya saja.
“Bernapas tidak akan membuatmu mati,” ucap Rida begitu melihat Najma mengambil sedikit udara dan kembali menahan napasnya.
“Itu menurut Nenek.” Najma masih kekeh dengan menahan napasnya karena aroma yang tidak enak dari dalam angdes.
“Ya sudah terserah kamu.” Bagaimanapun juga Rida yakin jika Najma tidak bisa menahan napasnya dalam waktu puluhan menit. Mau tidak mau Najma pasti akan bernapas. Tidak peduli dia suka atau tidak suka, bernapas adalah hal utama yang membuat manusia bisa hidup.
Usaha Najma untuk menahan napas akhirnya sampai di titik batasnya. Di satu sisi Najma ingin bernapas, di sisi lain Najma tidak ingin melakukannya karena aroma angdes ini sangat bau. Najma memutuskan untuk mengambil sedikit udara kemudian menahan napasnya lagi selama beberapa saat dan dia terus mengulang kegiatan itu hingga akhirnya dia pasrah.
Baru di angdes dan Najma sudah mencium aroma seperti ini, bagaimana dengan pasar? Najma harap dia pingsan saja agar tidak merasakan penderitaan yang berat ini.