Bab 4

1832 Words
Hiruk pikuk pedagang dan pembeli menyambut Najma begitu sampai di pasar. Jalan yang lebar penuh dengan manusia yang tengah melakukan teransaksi jual beli. Najma belum masuk sepenuhnya ke dalam pasar, tapi aroma tidak sedap itu langsung tercium dengan jelas. “Ayo jalan.” Rida mengambil tangan Najma dan menggenggamnya erat. Jika dia tidak melakukan ini bisa-bisa Najma hilang di pasar seramain ini dan itu pasti akan sangat merepotkan. Najma memperhatikan tangannya yang digenggam erat oleh neneknya dan kemudian menyeletuk, “Aku enggak akan kabur kali Nek.” “Kamu bisa hilang di sini, mau?” Seketika Najma langsung diam dan tidak bereaksi apa-apa dengan ucapan neneknya. Hilang di tengah-tengah pasar seperti ini adalah hal yang sangat menakutkan dan Najma tidak ingin itu terjadi. Sepanjang jalan Najma sangat berhati-hati dalam langkahnya karena jalan yang dilaluinya ini merupakan jalan yang becek. Untuk berjalan saja Najma harus berdesak-desakan dengan orang-orang dan Najma sudah pasrah dengan hidungnya yang mencium aroma tidak enak. “Air panas, air panas, air panas.” Suara yang cukup keras terdengar tepat di belakangnya, Najma sontak ke pinggir dengan paniknya agar tidak terkena air panas seperti apa yang orang itu teriakkan. Kejadian itu menyebabkan kakinya Najma terkena cipratan kubangan air. Melihat air yang berwarna hitam itu di atas telapak kakinya, Najma tidak bisa bergerak sama sekali. Rida yang menyadari Najma tidak bergerak segera menoleh. Ekspresi Najma yang ingin menangis itu membuat Rida menghela napas berat. Dia tidak boleh lemah hanya karena melihat cucunya yang ingin menangis. “Ayo jalan lagi, bahaya di sini.” Rida menarik tangan Najma agar mau melanjutkan langkahnya namun Najma tetap diam di tempatnya. “Ayo jalan,” ucap Rida lagi. “Aku mau pulang!” teriak Najma kesal. Teriakan Najma sukses membuat orang-orang yang ada di dekat mereka melirik dan mulai tampak penasaran dengan apa yang terjadi. “Ya sudah sana pulang sendiri kalau begitu.” Rida melepaskan pegangan tangannya agar Najma bebas pergi. Rida berbalik dan melanjutkan kembali langkahnya meninggalkan Najma. Baru beberapa langkah Rida merasakan ujung bajunya di genggam dengan erat. Rida sejujurnya cukup takut menggertak Najma seperti tadi karena bisa saja Najma benar-benar pergi meninggalkannya, tapi ternyata Najma takut juga untuk pergi. Bagian depan pasar yang becek cukup berbanding terbalik dengan bagian dalam yang kering dan penuh dengan penjual pakaian dan keperluan rumah tangga lainnya. Najma sedikit bisa bernapas lega karena dia sudah tidak perlu khawatir dengan kakinya yang mungkin saja menginjak genangan air lagi. Neneknya yang terus berjalan melewati pedagang-pedagang mukena. Apa neneknya berniat untuk berkeliling pasar dulu baru membeli mukena yang menjadi tujuan mereka datang ke sini? Ingin sekali Najma berkomentar tentang apa yang sekarang neneknya lakukan, sayangnya Najma sudah tidak punya nyali untuk melakukannya. Tiba-tiba langkah kaki neneknya berhenti, Najma pun ikut berhenti dan dia sadar jika di depannya ada toilet umum. Najma tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Cuci kaki sana, Nenek tunggu di sini.” Ucapan neneknya lantas langsung diiyakan Najma. Dia berlari ke dalam toilet dengan senangnya. Akhirnya Najma bisa menghilangnya bekas air menjijikan di kakinya ini. Setiba di dalam toilet Najma langsung mencuci kakinya hingga bersih. Sebenarnya Najma masih tidak percaya neneknya sampai mau mengantarnya ke toilet dulu dibandingkan membeli keperluannya. Najma jadi curiga, apa kebaikan neneknya ini memiliki maksud tersembunyi? Mulai sekarang Najma harus waspada. “Sudah?” tanya Rida begitu Najma keluar dari kamar mandi. “Sudah.” Najma mencoba untuk bersikap biasa saja, seakan kejadian tadi tidak pernah terjadi. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari neneknya lagi. Neneknya hanya memberi kode untuk mengikutinya dan Najma pun mengikuti setiap langkah neneknya itu. Ternyata tujuan mereka tidak jauh dari toilet tadi dan yang neneknya datangi ternyata sebuah toko buku tua. “Iqro, jus amma dan buku panduan salatnya berapa?” Tanpa bertanya pun Najma tahu jika itu semua untuknya. Najma masih tak percaya jika dia harus belajar mengaji lagi dan yang mengajarinya adalah neneknya! Seharusnya hari-hari liburan ini Najma pakai untuk liburan, tapi kenapa dia harus belajar. “35 aja.” “Bungkusin.” Melihat neneknya yang tidak menawar membuat Najma bingung karena sepanjang jalan Najma mendengar tawar menawar antara pedagang dan pembeli dan neneknya dengan gampang langsung membeli tiga buku tanpa menawar sepersenpun. “Nek, kenapa enggak nawar kek yang lain?” tanya Najma begitu mereka sedikit menjauh dari toko buku itu. “Orang sini tidak akan ngambil untung banyak, apalagi buat buku. Ayo sekarang beli mukena.” Untuk mukena Najma memilih sesuai seleranya. Mukena polos dengan warna hitam menjadi pilihan Najma. Lebih baik warna hitam dibandingkan warna pink dengan gambar princess. Setelah selesai membeli mukena, Rida tidak langsung mengajak Najma pulang. Mereka ada di pasar dan akan sangat disayangkan jika pulang begitu saja. Rida ingin sekalian membeli keperluannya yang lain. Yang menjadi masalahnya sekarang, jika Rida mengajak Najma membeli keperluan yang lain terutama bahan makanan, Najma pasti sudah sangat tersiksa. “Kamu diem di sini, pesan saja apa yang kamu mau.” “Terus Nenek mau ke mana?!” seru Najma. Dia tidak mungkin di tinggalkan di warung makan yang ada di tengah-tengah pasar seperti ini bukan? “Nenek mau beli sayur sama daging, kamu mau ikut?” Gelengan tegas Najma berikan sebagai jawaban. Sayur dan daging, tempat itu pasti akan sama buruknya dengan bagian depan pasar yang becek dan bau. Ikut pergi bersama neneknya membeli itu sama saja dengan bunuh diri dan Najma tidak ingin mati sia-sia di tempat seperti. “Ya sudah, Nenek pergi dulu.” Setelah kepergian neneknya, tinggallah Najma sendirian. Di dalam warung seperti ini Najma hanya bisa duduk kaku di antara pembeli lainnya yang tampak lahap menyantap makanan mereka. Melihat itu Najma hanya bisa meneguk ludahnya yang mendadak terasa berat. Dipikiran Najma sekarang, dia sangat tidak percaya melihat ada orang yang bernafsu makan di tempat seperti ini. Walau di tempat ini lebih baik dibandingkan bagian depan pasar, tapi tetap saja sedikit aroma tidak sedap itu ada. Jangankan aromanya, di tempat ini bahkan tidak bisa dipastikan kebersihannya. Akan banyak bakteri dan virus yang akan hinggap di makanan-makanan itu. “Dek mau makan apa?” tanya Penjual yang melihat Najma hanya duduk kaku. Najma menggeleng. Dia terlalu tegang sehingga tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun. Yang Najma hanya bisa lakukan hanyalah duduk diam hingga neneknya datang. Lagi-lagi Najma meneguk ludahnya. Tenggorokannya terasa sangat kering sekali dan Najma butuh minum. Mata Najma bergulir mencari sesuatu yang mungkin bisa dia minum dan mata Najma terhenti saat melihat air mineral yang tersegel rapat dan tak mungkin terkontaminasi oleh bakteri dan virus. Perasaan senang tidak bisa Najma pungkiri saat itu juga. Najma mengambil air mineral itu dan meneguknya dengan cepat sekali. Dalam waktu singkat Najma sudah menghabiskan setengah air mineral itu. Dia ternyata sangat kehausan. Berada di tempat ini membuat Najma sadar jika banyak sekali tenaga yang harus dia keluarkan. Sangat berbeda sekali saat Najma hidup di kota, semuanya terasa nyaman dan mudah. Ah, Najma jadi rindu rumah jika terus-terusan membandingkan kehidupannya sekarang. “Bu, es tehnya dua ya.” Entah kenapa Najma malah menoleh ke arah sumber suara. Orang yang baru saja memesan es teh ternyata ada di sampingnya dan mendadak menoleh ke arah Najma juga. Mereka tidak sengaja bertatapan dan orang itu hanya langsung tersenyum. “Numpang duduk ya, Dek,” ucap laki-laki itu dengan masih tersenyum lebar dan teman laki-laki itupun juga ikutan tersenyum. Sebelah bibir Najma terangkat menanggapi ucapan laki-laki asing itu dan dengan buru-buru Najma kembali ke posisinya semula. Najma tidak suka disenyum-senyumin seperti tadi, apalagi sama orang asing. Najma mencoba tidak memperdulikan orang asing di sampingnya yang mulai tampak heboh berbicara dengan temannya. Selain heboh, orang asing di sampingnya ini ternyata memakai seragam. Najma sadar itu seragam saat tak sengaja melihat teman di samping orang itu memakai seragam yang sama. Sadar itu seragam Najma menjadi curiga, kenapa anak sekolahan malah main di pasar? Dua orang ini jelas bukan kelas 3 yang sudah terbebas dari sekolah karena sudah menyelesaikan ujian nasional karena masih menggunakan seragam. Tersadar akan dirinya yang malah memikirkan hal yang tidak penting membuat Najma merutuki dirinya sendiri. “Dek sendirian aja?” Hal yang tidak ingin Najma alami terjadi juga. Dia malah diajak mengobrol oleh orang asing mengganggu itu. “Hati-hati di pasar bahaya.” Kali ini Najma sedikit menolehkan kepalanya dan berucap, “Iya.” Setelah mengatakan itu Najma menunduk. Najma harap orang asing itu sadar jika dia tidak ingin diganggu. “Kalian udah selesai?” Najma yang menunduk perlahan mengangkat pandangannya dan dari kaca etalase warung, Najma bisa melihat seseorang baru saja masuk yang ternyata teman dari dua orang di sampingnya karena orang itu juga memakai seragam yang sama. “Ibra, sini duduk sambil minum.” “Ini sudah waktu pulang, ayo cepat.” “Iya-iya! Ini juga udah diusahain.” Najma hanya diam mendengar pembicaraan orang-orang asing itu. Najma berharap dua orang di sampingnya ini segera pergi karena dari tadi mereka berdua sangat berisik membicarakan hal yang Najma tidak mengerti. Bahkan pembicaraan para buruh pasar masih bisa dimengerti Najma daripada dua orang asing ini. “Nih, Bu bayarnya. Ehm, Dek kita permisi dulu ya.” Najma tidak menanggapi ucapan itu dan orang asing itu akhirnya pergi juga dan sekarang Najma merasa lebih nyaman. Tak berapa lama dari kepergian orang-orang itu akhirnya Najma dijemput oleh neneknya. “Kenapa tidak makan?” tanya Rida setelah keluar dari warung makan. Najma ternyata hanya membeli air mineral saja. “Masih kenyang,” elak Najma padahal dia merasa sedikit lapar. Rida menghela napas. “Makan di sini tidak akan meracunimu,” katanya dengan suara yang lelah. “Tapi bisa bikin sakit, kalau sakit bisa mati.” “Buktinya orang-orrang di sini sehat-sehat.” “Iya deh terserah Nenek aja.” Najma malas berdebat dengan neneknya, suka-suka neneknya saja ingin berkata seperti apa. Najma baru sadar jika mereka keluar dari pasar melewati jalan yang berbeda dengan yang pertama. Tidak ada bedanya sebenarnya, hanya saja lebih lenggang. Sesampainya di luar pasar Najma langsung dibawa masuk ke dalam angdes. Kesialan nampaknya tidak pernah pergi dari Najma. Angdes yang dimasukinya ternyata penuh dengan belanjaan dan parahnya ada ayam yang masih hidup juga. Keadaan itu membuat Najma menahan napasnya lagi. “Nek, aku duduk di sana,” pinta Najma. “Jangan banyak mengeluh Najma.” “Aku mau di situ, Nek!” teriak Najma. “Dek, cepet duduk kalau enggak mau jatuh,” tegur si sopir angdes yang memperhatikan mereka. Dengan terpaksa Najma duduk tepat di samping ibu-ibu yang membawa ayam. Najma tidak percaya jika neneknya tidak mau mengalah untuk duduk di bagian pojok angkot dan membiarkannya bersebelahan dengan orang asing yang bau karena membawa ayam. Baru saja angdes berjalan Najma sudah merasa tidak nyaman karena ibu-ibu di sampingnya ternyata tidak bisa diam. Aroma keringat dari ibu di sampingnya bahkan tercium sangat bau sekali. Bau keringat dan bau ayam yang khas menguar menjadi satu. Ini jelas lebih menyiksa dibandingkan saat berangkat. Mulai dari sekarang Najma akan mem-blacklist pasar. Jika sampai Najma mendapatkan perintah ke pasar lagi, maka Najma tidak akan mau dan akan melakukan segala cara agar bisa bebas. Persetan dengan ancaman neneknya, jika itu ke pasar Najma lebih baik dihukum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD