bc

Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku

book_age18+
4.0K
FOLLOW
21.2K
READ
goodgirl
brilliant
office/work place
polygamy
like
intro-logo
Blurb

Kegagalan membina rumah tangga, membuat Armala lebih berhati-hati dalam menentukan keputusan. Semula dia ingin mempertahankan rumah tangga, tetapi urung ketika sang suami -Mirza- kedapatan memiliki wanita simpanan. Tidak hanya itu, hubungan dengan mertua juga tidak berjalan dengan baik, sehingga Armala memutuskan bercerai dari Mirza. Pergolakan batin menyiksa, ketika mengenal langsung Hesti, wanita simpanan sang suami.

Bagaimana nasib Armala pasca perceraian? Mampukah dia bangkit di tengah keterpurukan? Lalu, apa alasan sebenarnya Mirza menjadikannya Hesti wanita kedua?

chap-preview
Free preview
Wanita di dalam Mobil Suamiku
"Mbak, kayaknya itu Mas Mirza, deh," ucap Ayu saat menemaniku berbelanja. Aku mengikuti arah telunjuknya. Tak mendapati siapapun seperti penuturannya. "Mas Mirza 'kan ke luar kota," jawabku santai sambil memasukkan barang-barang dalam keranjang belanjaan. "Mobilnya, Mbak. Di dalam ada seorang wanita lo, Mbak." "Sudah dibilangin kalau mas Mirza keluar kota. Lagian, mobil seperti itu banyak," ucapku lagi menyangkal. Ayu berdecak kesal karena aku tidak mengindahkan ucapannya. "Coba dilihat baik-baik. Masa aku sebagai tetangga lebih hafal suaminya Mbak Mala." Kali ini Ayu terdengar memaksa. Aku menyipit, sedikit tersinggung dengan ucapannya. Tapi ... tak ada salahnya kudengar. "Mana mungkin mas Mirza di sini. Dia baru saja pergi ke tadi sore, berpamitan ke luar kota untuk urusan kantor," ucapku bernada kesal. Aku mengamati mobil silver yang ditunjukkan Ayu. Kebetulan pintu dan bagian depan minimarket yang kusambangi ini seluruhnya kaca. Jadi lebih leluasa mengamati keadaan luar. Mirip, mobil itu mirip kepunyaan mas Mirza yang baru. Ada seorang wanita di dalam sana. Terlihat dari kaca mobil. Netraku menyipit mengingat-ingat sosok wanita itu. Tapi ... nihil. Gak kenal. Ayu salah, aku pastikan bukan mobil mas Mirza. Baru akan berpindah tempat untuk melanjutkan berbelanja lagi, mendadak kaki ini terasa kaku. Tanpa sadar, pouch yang kupegang terlepas dan jatuh. Aku berjongkok untuk mengambilkan. Tanganku gemetar seketika melihat punggung lelakiku baru saja keluar toko roti di sebelah minimarket ini dan langsung masuk ke mobil itu. "Benar kan," celetuk Ayu secara tiba-tiba. "Bawa motornya, Yu. Kita ikuti." Aku menyerahkan pouch tadi, Ayu gelagapan. "Belanjanya?" Dia sempat mengajukan pertanyaan. "Buruan!" bentakku sambil mendorong pintu. Belanjaan? Lain kali bisa datang lagi, pikirku. Terlambat. Mas Mirza sudah melajukan mobilnya. Ayu buru-buru mengeluarkan kunci motor di dalam pouch, lalu berputar haluan ke arah mobil yang baru saja pergi. "Telat, sudah pergi!" ucapku sangat kesal. "Cepetan, Mbak!" Kali ini, aku yang mendapat bentakan. Aku menurut saja ketika Ayu membawaku membelah jalanan kota. Nekat mengikuti mobil mas Mirza tak tampak lagi. Namun, Ayu masih saja berusaha mengikuti jejaknya.a "Kita kehilangan jejak, Mbak. Coba telepon mas Mirza," perintah Ayu memberikan masukan. Seperti kerbau dicucuk hidungnya, aku memenuhi perintah Ayu. Menelepon mas Mirza yang katanya ke luar kota. Tanpa sadar, aku sudah terisak. Rasa sakit tiba-tiba menghujani hati. Benarkah lelaki yang mendengungkan sumpahnya di hadapan bapak sudah berkhianat? Di tengah rasa tak percaya, tetapi mencoba berusaha kuat. Sepertinya Ayu mendengar isakanku. "Jangan nangis, Mbak. Kita cari dulu, mana tau aku yang salah lihat," ucapnya berusaha menenangkan. Salah lihat bagaimana? Jelas-jelas itu memang mas Mirza. Aku hanya membatin, tak sanggup menjawab. Masih banyak memegangi ponsel di telinga, aku sama sekali tidak mendengar jawaban. "Gak diangkat, Yu." "Eh, lihat deh. Bukannya itu mobilnya?" Tiba-tiba Ayu menepuk pelan lututku. Aku mengamati bagian depan jalanan yang kami tuju. Mobil mas Mirza berbelok arah ke ... rumah ibu? "Ikuti saja, Yu. Ini arah ke rumah ibu." "Mas Mirza mengantarkan saudara ibunya mungkin," tebaknya. Aku tau, Ayu berusaha berpikir positif. Tetapi tidak denganku. Mas Mirza berpamitan ke luar kota, tiba-tiba saja dia masih di sini. Ini adalah kebohongan pertama. Lalu wanita di balik kaca mobil tadi, bukanlah saudara dari ibu. Lima tahun menjadi menantu di keluarga mas Mirza, tak satupun saudara dekatnya yang tidak aku kenali. Lebih terkejut lagi, mobil itu kini berhenti di depan rumah mertuaku. "Jaga jarak ya, Mbak. Biar gak ketauan," ucap Ayu. Kami berhenti di depan rumah tetangga ibu. Sengaja segera mematikan motor, lalu berdiri memperhatikan setiap gerak dua orang di dalam mobil. Tak lama kemudian, mas Mirza keluar. Ibu terlihat membuka pintu, lalu mendekat. Mas Mirza berbelok ke sisi kiri dan membuka pintu untuk wanita itu. Batinku berontak. Selama menjadi istrinya, aku tak pernah diperlakukan seperti halnya di depan mata saat ini. Di mana mas Mirza menuntun seorang wanita yang sedang ... hamil? Ibu membantu memapah. Aku bergerak maju andai saja Ayu tidak menarik lengan, lalu membungkam mulutku. "Jangan bersuara, Mbak. Malu dilihat tetangga kalau ada ribut-ribut." "Lihat, Yu. Mas Mirza ...." Aku menunjuk ke sana, tanpa bisa berkata-kata. Hanya bisa menangis dalam bungkaman Ayu. Kami memerhatikan setiap detik bagaimana ibu dan suamiku menggandeng wanita itu. Terlihat kepayahan dengan perutnya yang membesar. "Aku mau melabrak mereka!" Aku menyentak tangan Ayu. Tak perduli dengan larangannya, aku menerobos masuk. "Mbak Mala jangan nekat!" Ayu meraih lenganku lagi. "Aku sudah gak sabar, Yu." "Mana tau itu tidak seperti pikiran buruk kita." "Bagaimana mungkin itu ... ah, sudah jelas begitu." Aku frustrasi sekali. "Tenang dulu, Mbak. Kita intip saja, jangan melabrak. Kalau sudah pasti perempuan itu ... anu, ada hubungannya sama mas Mirza, terserah Mbak Mala mau ngapain. Oke?" Ucapan Ayu sedikit menentramkan. Tak ada salahnya dicoba. Aku berjalan lebih dulu, Ayu masih saja memegang kuat lenganku. Kami berjalan mengendap-endap memasuki halaman, lalu berjalan ke samping. Rupanya wanita itu dan ibu masih bercakap-cakap di ruang tamu. Terlihat jelas, ibu sangat memperhatikannya. Mas Mirza tidak tampak di sana. Kemana dia? Aku menajamkan indera pendengaran demi mengetahui isi pembicaraan kedua wanita itu. Walaupun hanya samar-samar, tetapi terdengar jelas mereka membicarakan kehamilan wanita itu yang sudah mencapai sembilan bulan. Sebenarnya, siapa dia? Apakah dia benar-benar .... "Aku gak mau jauh-jauh dari mas Mirza, Bu." Tiba-tiba wanita itu menyebut suamiku. Dari ucapannya, aku bisa menyimpulkan kemana arah pembicaraannya. "Kan kamu di sini sekarang. Gak akan jauh dari Mirza." Aku membekap mulut sendiri mendengar ucapan ibu. Ayu yang duduk berjongkok di hadapanku berusaha menenangkan. Tangannya tak lepas memegangi lenganku sambil terus mengelusnya. "Tapi mbak Mala?" tanya wanita itu pada ibu. Dia mengenalku? "Ibu bicarakan nanti." Mas Mirza menyahut dari belakang. "Ibu sama Mas nanti yang akan ngomong sama Mala. Gak usah khawatir. Yang penting kamu lahiran dengan selamat." Aku tergugu mendengarnya. Apalagi saat netra ini menangkap sosok lelaki yang sangat aku kagumi memeluk wanita hamil itu, lalu mengecup keningnya di hadapan ibu. "Mala menjadi urusan ibu. Lagian, kalian sudah menikah, Mala pasti bisa menerimanya." Ibu terdengar bersuara. Aku sudah tidak sanggup lagi menatap ke dalam. Gorden putih yang menutupi kaca jendela, terasa seperti kobaran api. Mataku terasa panas, dadaku pun tiba-tiba sesak. Ayu menyeretku keluar. Aku menutup mulut, menahan isakan yang sebentar lagi ingin kuledakkan dalam bentuk makian. "Kita pulang saja ya, Mbak." Aku lunglai, bahkan Ayu terlihat kewalahan menopang tubuhku hingga sampai mendekati motor. "Mbak Mala kuat kan?" ucapnya lagi dengan khawatir. Aku tidak mengusap pipi, lalu berjalan sendiri mendekati motor yang tinggal beberapa langkah lagi. "Mbak." Ayu memanggil lagi. Kurasa ia sangat khawatir dengan keadaanku yang miris ini. "Jangan bilang siapa-siapa, Yu. Aku ingin menghadapinya sendiri." "Tenang, Mbak. Aku akan jaga rahasia ini." "Hanya sebentar saja kok, Yu." "Maksud Mbak Mala? Mbak gak berniat bunuh diri kan?" Aku menoleh menatap tetanggaku ini. Lucu sekali ucapannya. Bagaimana mungkin aku bunuh diri? Bukankah itu terlalu naif? Aku sudah bersamanya selama lima tahun. Menjadi menantu dari wanita yang sejak dulu tidak pernah berlaku adil. Aku tetap menyayanginya walaupun dia tidak menyukaiku. Aku bertahan, bekerja meninggalkan anak yang seharusnya aku peluk setiap detiknya. Demi apa? Demi siapa? Semuanya demi kecukupan, demi mas Mirza yang sangat aku sayangi. Namun sekarang, kesakitanku berbuah dendam. Lihat saja, akan kubuat kalian mengerti arti kesakitan setelah diam-diam menikamku dari belakang. : : : ****

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.8K
bc

My Secret Little Wife

read
98.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook