Positif Hamil
"Tante kok bisa hamil?"
"Ya bisalah."
"Tapi kan, Tante udah..."
"Udah apa maksud kamu? Tua?"
"Nah itu Tante tahu jawabannya."
Plak!
Kepala remaja itu mendapat pukulan. Ia mengaduh, dan mengusap-usapnya pelan.
"Ini itu salah kamu! Harusnya kamu pakek pengaman dong!" Kalut Algina. Wanita 35 tahun yang kini harus berhadapan dengan seorang brondong 17 tahun. Tuhan sungguh mencandainya, ia kini harus berurusan dengan cowok yang seumuran dengan adik laki-lakinya itu.
"Aku baru pemula, mana ngerti gitu-gituan. Tante yang harusnya membimbing aku," protes remaja itu. Lahel Junior Bramasta. Cowok yang masih duduk di bangku kelas 11 di SMA Panca.
Ia tak terima. Wanita itu tak bisa seratus persen menyalahkannya. Lagian itu terjadi karena mereka melakukannya secara sukarela. Ya, meski dalam keadaan mabuk. Namun, malam itu tante Gina lah yang menyeretnya ke apartemen dan terjadilah malam surga dunia itu.
Gina terdiam. Malam itu dia sungguh kehilangan akal dan melakukan hal gila bersama bocah SMA. Dia benar-benar tak sadar karena merasa sedang melakukannya bersama mantan kekasihnya. Sekarang sudah terlambat untuk menyesalinya. Nasi sudah menjadi bubur.
Dia positif hamil!
Mata Lahel basah dan memerah. Ia merasa takut. Bagaimana jika keluarganya tahu? Papa, mama, Dilan, dan Liam, bahkan kakek-neneknya. Ia memiliki keluar besar. Dan ia tak bisa bayangkan kalau dia ketahuan menghamili wanita, bahkan wanita itu jauh banget dari usianya. 18 tahun perbedaannya. Wanita itu mungkin tak jauh beda dengan usia mamanya.
Ini sungguh gila! Ia pasti sudah tak waras hingga tak memikirkan resikonya waktu malam kejadian itu. Mungkin karena itu perdana untuknya hingga tenggelam dalam rasa nikmat tanpa memikirkan dampaknya.
"Oh f**k," umpatnya sambil mengusap wajahnya dengan frustasi.
"Itu mungkin bukan anakku, Tante," katanya akhirnya. "Kita baru ngelakuinnya sekali, kan? Masa langsung hamil sih?"
Dahi Gina mengkerut. "Bukan?" Dia berdiri sambil berkacak pinggang "Dengar ya, saya sudah lama nggak berhubungan badan dengan siapapun. Dan 4 bulan terakhir ini cuma sama kamu doang!"
"Jangan pikir saya menipu kamu, saya bukan perempuan murah kayak gitu! Saya punya harga diri, tapi... sial ini kejadian ke saya..."
Kaki Lahel terus bergetar, menunjukkan kegelisahannya. Dia bahkan ingin mengompol di celana. "Tante... aku masih sekolah. Gimana aku harus tanggungjawab? Kalau keluarga aku tahu gimana reaksi mereka? Papaku mungkin akan membun*hku..."
"Itu bukan urusan saya. Kalau kamu kabur saya bakal lapor polisi!"
Lahel terdiam. Remaja yang tidak pernah aneh-aneh ini, dan selalu tertindas oleh saudara laki-lakinya kini harus menanggung masalah sebesar ini. Tuhan tidak sejahat itukan padanya?
Dia hanya anak bungsu yang selalu dibilang anak pungut oleh Liam dan Dilan. Dan sejak kecil sering dimasukan ke kardus dan dibuang di depan pintu. Bahkan sampai sebesar sekarang dia masih dianggap bocah ingusan yang cengeng. Masih dibully dan mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan lainnya. Entah kenapa saudaranya semenyebalkan itu.
Sekarang dia diterpa masalah yang langsung se—dahsyat ini? Astaga, dia tak tahu harus berkata apalagi.
"Terus Tante mau aku ngapain? Nikahin?" tanyanya akhirnya.
Gina kembali duduk. Jujur, ia juga bingung. "Hufffh..." Ia menghela napasnya.
Menikah tak segampang itu. Apalagi dengan brondong yang masih hidup di bawah ketek orang tua. Belum lagi sikap kekanak-kanakannya nanti, usia mereka terlalu jauh dan Lahel masih terhitung di bawah umur untuk menikah. Yang ada dia dikatakan p*****l nanti karena menikahi bocah SMA.
"Sialan, kenapa gue harus terjebak di situasi kayak gini sih?" batinnya.
FLASHBACK ON
Sudah empat bulan Gina tidak mensturasi. Awalnya dia pikir tubuhnya mungkin kelelahan dan banyak pikiran, biasalah drama karena stres kerja dan patah hati berat karena ditinggal nikah kekasihnya, hingga membuatnya kurang tidur dan tak jaga pola makan. Dalam empat bulan ini dia kebanyakan makan mie instan tengah malam. Tapi begitu sadar kalender makin penuh coretan diperhitungan jadwal menstruasinya, dia pun mulai panik.
"Jangan-jangan...gue... hamil?" Ia pun melototi perutnya. Merabanya dan merasakan perut rampingnya hilang dan menjadi sedikit berisi.
"Astaga Gina... lo nggak mungkin benaran hamil, kan?" tanyanya pada diri sendiri.
Tak banyak berpikir, Gina cepat ke minimarket yang tak jauh dari apartemennya. Setelah membeli alat tes kehamilan dia cepat kembali dan langsung mencobanya. Tak tanggung-tanggung, lima kali coba testpack—dengan lima merek berbeda—sialnya hasilnya tetap sama: dua garis merah yang artinya dia positif hamil!
“Gue... hamil?” Gina berbisik pelan. “HAMIL?!"
Dia terduduk lemas di lantai kamar mandi. Matanya basah. “Gue nggak mungkin hamil, kan? Ini pasti mimpi buruk, kan? Mana mungkin gue hamil hasil dari brondong itu...”
Dia pun meringis. Mengacak-acak rambutnya frustasi. Berteriak tak jelas sambil sesekali memandangi perutnya yang mulai buncit.
"Oh sial! Masa sih gue hamil? Bodoh! Bodoh! Bisa-bisanya malam itu gue nggak sadar tuh bocah nggak pakek pengaman! Seharusnya gue hamil anaknya Dirga bukan bocah ingusan itu!" teriaknya.
"Ginaaa! Kenapa sih suka banget bikin hidup lo susah? Udah ditinggal nikah eh sekarang dihamilin sama bocah..."
●●
Kejadian malam itu. 4 bulan lalu.
Lampu warna-warni berkedip gila. Musik jedag-jedug menyala. Gina, dalam kondisi setengah mabuk dan setengah patah hati, goyang sendiri di tengah kerumunan.
Hari ini kekasihnya menikah... dan mirisnya bukan dengannya. Padahal mereka sudah pacaran 4 tahun lebih dan cowok b******n itu janji akan menikahinya. Eh tahunya malah menikahi si anak atasan yang rupanya tidak cantik-cantik amat. Jadi malam itu, dia ingin melupakan segala ucapan-ucapan manis kekasihnya yang sudah jadi mantan.
Sementara di sisi lain lantai dansa, ada satu makhluk, remaja yang diselingkuhi beberapa jam lalu oleh pacarnya dan dimarahi sang Papa karena bertengkar dengan saudaranya. Dia baru pertama kali masuk klub karena merasa butuh hiburan di saat galau-galaunya putus cinta dan kesal pada papanya.
Mungkin semesta iseng. Seperti sedang mencabut undian takdir hingga nama mereka berdua terpilih untuk dipertemukan. Saat Gina dan Lahel asik menari dalam jarak setengah meter, mata mereka tak sengaja bertemu.
Lahel melemparkan senyum, sebagai sapaan. Senyuman itu pun mendapat balasan dari Gina.
Lahel menelan salivanya melihat wanita yang lebih matang darinya itu sudah berdiri dengan jarak yang sangat dekat, perempuan itu terlalu seksi, belahan payud*ranya terpampang jelas di depan matanya dan bentuknya yang besar membuat terpesona. Balum lagi wajah cantik dan senyuman manisnya. Dia merasa kesulitan bernapas. Sesak saat wanita itu menempelkan diri di tubuhnya. Dalam setengah mabuk ia pun lebih berani memandangi wanita itu. Bahkan tangannya sudah mendarat di lekukan pinggangnya. Entah dirinya dapat keberanian darimana sampai senakal itu.
Setelah lama bermain-main, dengan tarian dan tatapan saling menggoda. Lahel akhirnya ditarik oleh Gina, dibawa pergi dari klub dan masuk bersama ke dalam taksi, sepanjang mereka berciuman. Seperti sepasang kekasih yang lama tak bertemu dan akhirnya dapat melepas rindu. Hingga... tahu-tahu pagi harinya Gina terbangun di kamar apartemennya, dengan tubuh tanpa pakaian, seperti bayi yang baru lahir dan mendapati cowok terbaring di ranjang empuknya, dengan rupa yang terlihat sangat muda dan tampak sangat polos.
"Arrhhhhh!"
Teriakan itu membangunkan Lahel dan setelah kejadian itu mereka tidak pernah bertemu lagi. Mereka kembali ke hidup masing-masing, dan Gina menganggap malam itu tak lebih dari mimpi gilanya.
Sampai hari ini.
●●
4 bulan setelah kejadian.
Gina sudah berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya sejak pagi. Rambutnya awut-awutan, matanya sayu, dan tangan kirinya masih memegang testpack bekas yang belum juga dia buang. Bahkan dia sudah mengirimkan surat izinya ke kantor, beralasan sakit. Karena tidak mungkin dia masuk dalam kondisi yang setres seperti ini.
“Digugurin aja kali ya?” gumamnya sendiri lalu termenung seperkian detik. “Tapi... dosanya gedek, kan? Gue nggak mau jadi pembun*h. Gue takut. Tapi... masa gue punya anak di luar nikah sih? Mana bapaknya masih bocah. Aduh Ginaaa..." Ia memegang kepalanya yang rasanya berat.
"Apa yang bisa lo harepin dari bocah ingusan kayak gitu? Jangan-jangan belum lulus SMA lagi."
Ia mendaratkan bokongnya ke sofa setelah lelah mondar-mandir seperti setrikaan. Tangannya masih di kepala. "Astaga... gue harus gimana? Apa minta aja pertanggungjawaban sama tuh bocah? Tapi yang ada dia yang jadi tanggungan gue. Anjir... kenapa sih hidup gue gini amat?"
Ia mendesah panjang. “Oke. Langkah pertama, gue harus cari anak itu dulu. Harus!"
Tapi masalahnya? Gina bahkan tidak punya kontaknya. Mereka tidak tukaran IG, tidak ada jejak digital sedikitpun. Satu-satunya yang dia tahu cuma satu: Nama brondong itu Lahel. Dan mereka bertemu di klub minggu malam.
●●
Gina berdiri di sudut ruangan dengan hoodie besar dan sebotol mineral di tangan. Ini sudah malam ketujuh dia kembali ke tempat yang sama, dengan harapan bocah yang menghamilinya itu muncul.
Tapi hasilnya selalu sama:
NIHIL.
Bahkan bartender-nya sampai hafal wajahnya.
“Mbak... cari bocah yang namanya Lahel lagi? Yang rambutnya agak kecoklatan dan jogetnya kayak kejang-kejang itu?"
Gina hanya mengangguk malas.
"Emang kenapa sih Mbak, kok dicariin? Ada utang ya sama, Mbak?"
Gina hanya menggeleng.
"Bukan ya, atau dia adeknya, Mbak?"
Gina menggeleng lagi.
"Atau itu pacarnya adek, Mbak?"
Lelah dengan pertanyaan, Gina pun menoleh, menatap sinis pria yang mulutnya tak bisa diam itu. "Aduh, Mas. Jangan buat saya tambah pusing deh. Pokoknya saya ada urusan sama tuh bocah. Dia bakal saya cari sampe lubang semut juga saya masukin.”
Gina hampir nyerah. Hampir. Tapi akhirnya malam itu...
LAHEL...
Akhirnya brondong itu ketemu juga. Tapi, Lahel dengan... seorang gadis. Masih muda, imut, cantik, dan tampak lugu.
Gina berdiri. Darahnya naik ke ubun-ubun. "Oh, jadi bocah ini setelah nidurin gue, buat gue hamil, dan sekarang bawa cewek ke klub kayak nggak ada beban?"
"Sialan!"
Gina berjalan dengan cepat. Tanpa basa-basi...
Plak!
Satu tamparan mendarat di pipi Lahel.
...
#lanjut part 2