4. Shaka, Another Handsome Man

926 Words
“Tapi pah, mama tidak setuju ide itu. Santorini memang dikelola oleh Abhi, tapi kita juga ada andil dengan ikut memberi saham, mayoritas pula.” Lanny, mama Jessica, memberi penolakan pada ide suaminya untuk memberikan secara penuh Santorini pada Abhi. Saat ini Abhi memenuhi undangan makan malam dari Hendra dan Lanny, papa dan mama mertuanya, di rumah mewah mereka. Sejujurnya Abhi malas tapi tidak berdaya dengan alasan menjaga silaturahim dan hormat pada yang lebih tua. “Tapi mah, itu kan termasuk salah satu pasal yang kita janjikan pada Abhi jika dia menikahi Jessica. Dia sudah menikahi Jessica kan? Lalu apa masalahnya?” Hendra malah heran dengan penolakan Lanny. “Menurutmu gimana Jesse? Tumben kamu diam aja.” Lanny seperti minta dukungan dari Jesse, sang putri. “Euum..? Mama tanya aku? Kalau aku…,” Jesse, panggilan sayang gadis cantik itu, menoleh ke arah Abhi, berikan senyum kecil, “karena papa sudah berikan janji itu pada Abhi, ya mau gak mau harus ditepati. Apapun yang terjadi mah.” dengan santai, Jesse lanjutkan kembali makan malamnya yang terhenti sejenak. “Kamu bukannya bantu mama deh Jes! Santorini kan bisa untukmu.” suara Lanny terdengar sangat kesal. “Heuum mah, aku tidak berminat mengurusi perusahaan. Aku lebih suka mengajar. Mama dan papa sudah janji aku boleh menjadi dosen jika aku kuliah di kampus pilihan kalian berdua kan? Aku tidak mau itu ditarik loh ya.” Jesse letakkan sendok garpunya dengan sangat anggun, melihat dengan pandangan mata tajam ke arah Hendra dan Lanny. “Tapi jadi dosen itu duitnya dikit loh Jess!” tetap saja Lanny heran dengan pilihan profesi sang putri. “Mah, gajiku sebagai dosen memang tidak sebanyak jika aku bekerja sama papa, tapi itu passionku. Lagipula rekeningku selalu terisi penuh kok tiap awal bulan, terima kasih ya pah.” Lanny melirik ke arah Hendra dengan kesal, “papa sih, masih saja transfer bulanan ke Jesse, kan jadi keenakan tuh dia.” “Ya ampun maah, gini aja dibahas terus. Udah deh, mumpung hari Sabtu, aku mau hang out sama teman-teman. Bhi, aku duluan yaa. Tenang aja, mamah mah cuma belum ikhlas aja kok.” kedip Jesse, menepuk pundak Abhi dengan pelan kemudian meninggalkan meja makan. Dia tidak mau terjebak dalam pembicaraan yang dia sudah tahu pasti apa hasilnya, Abhi akan menolak ide mama dan mama tetap bersikukuh dengan idenya. “Pah, mah..,” Abhi menatap kedua orang tua itu dengan hormat, menangkupkan tangan di depan d**a, “saya tidak masalah jika Santorini tidak diberikan ke saya kok. Tapi saya mohon, mama jangan paksa saya untuk menerima ide mama. Sudah cukup saya singkirkan perasaan dan penuhi keinginan orang lain. Tapi sekarang, saya tidak punya tanggungan lagi kan? Saya juga berhak untuk bahagia. Ini hidup saya! Saya berhak pada hidup saya, tidak diatur oleh orang lain!” walau apa yang dikatakan oleh Abhi memang benar adanya, tetap saja Lanny tidak terima. “Tapi…” Lanny hendak menyanggah. “Mah, sudahlah! Lagipula kita hanya janjikan Santorini saja. Ini bukan berarti akhir dunia untuk kita kan? Kita sudah berjanji pada Abhi dan kita harus tepati itu.” “Saya pamit pah, mah. Sekali lagi saya tidak akan memaksa Santorini diberikan kepada saya. Permisi.” Abhi putuskan untuk segera pamit dari rumah yang terasa bagai neraka untuknya. Aku tidak peduli bahkan jika Santorini tidak diberikan padaku, asalkan kamu kembali ke sisiku, Aya. Aku juga tidak peduli jika mereka menentang keinginanku untuk mendapatkanmu kembali. Kamulah bahagiaku Aya! * “Akhirnya nduk, kamu di sini lagi. Udah yaa gak usah jauh-jauh lagi dari ibu, bapak dan eyang. Ibu tahu apa yang menyebabkan kamu nekat ke kerja di LSM temanmu itu selama empat tahun di pedalaman Sulawesi, supaya kamu bisa menghindari Abhi kan?” Atikah, perempuan berusia paruh baya, ibu Rayya, mengelus rambut anak keduanya penuh rindu. “Inggih bu.” jawab singkat Rayya, memeluk ibunya. “Kamu mau tahu kabar Abhi gak?” tanya Atika lagi, siapa tahu putrinya penasaran dengan kabar sang mantan. Tapi dibalas gelengan oleh Rayya, “mboten bu. Abhi sudah bahagia dengan perempuan lain. Rayya gak mau teringat lagi padanya, itu hanya akan membuka luka lama.” Wajah Rayya tampak sendu saat berkata itu. Jauh di sudut hatinya, nama Abhi Hafi Ihsan, tetap terukir indah. Entah kapan dia bisa mengukir nama lain di hatinya. “Tapi nduk, Abhi tuh sekarang…” “Bu, sudahlah. Rayya mau fokus cari pekerjaan aja daripada mikirin Abhi. Kalau Rayya kerja di Jakarta gak papa kan ya bu?” tanya Rayya manja, minta persetujuan dari sang ibu. Atikah tersenyum, mengangguk. Dia paham jika putrinya masih merasakan sakit hati teramat sangat pada Abhi. Luka yang ditorehkan Abhi cukup dalam. Sebagai seorang perempuan, dia bisa tahu kesakitan dan penderitaan yang dirasakan Rayya. Andai saja putrinya tahu kondisi Abhi, mungkin saja Rayya akan berubah pikiran. Sebenarnya ada suatu kenyataan yang Rayya harus tahu, tapi Atikah bisa paham jika Rayya selalu menolak info tentang Abhi. “Kalau di Jakarta boleh, ada banyak saudara kita juga.” akhirnya Atika menjawab pertanyaan Rayya. “Bu, kalau aku sudah mapan di Jakarta, aku ingin bersama Shaka. Aku kangen banget sama dia.” pinta Rayya pada Atika. “Kita akan bicarakan ini nanti ya nduk, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Terutama ijin bapakmu, kamu tahu sendiri bapak gimana kan?” jawab Atika, mengelus rambut Rayya dengan lembut. Dia sungguh rindu pada putri bungsunya yang sengaja melarikan diri dari sakit hati karena ditinggal Abhi menikah. “Huuft…” Rayya hembuskan nafas, “bapak masih saja kesal akan hal itu ya bu?” mata indahnya menerawang jauh. “Pada Shaka? Si ganteng itu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD