3. Abhi : Rayya, Dia, Milikku!

2048 Words
“Ray, kontrak kita selesai bulan depan. Saranku kamu pulang saja gih, cari kerjaan di kota kelahiranmu atau di Jakarta. Eyang dan ibumu kasian, aku jadi ikutan sedih kalau dengar mereka telpon kamu, tahu gak?!” Santi meletakkan pantatnya di sebelah Rayya yang sibuk mengaduk es jeruk kesukaannya. “Loh Rayya beneran gak akan perpanjang kontrak?” Rivan, sang ketua program, datang dengan membawa sepiring pisang goreng panas. Dia duduk di depan Rayya, mata tajamnya menatap wajah Rayya, membuat gadis itu menunduk malu-malu. “Iya Van. Elu patah hati ya?” Tanya Santi, tanpa tedeng aling-aling. Rayya mendelik ke arah Santi. "Lagian kenapa elu gak nanyain gue sih Van? Kan gue juga balik ke Solo bareng Rayya." Omel Santi, tidak terima diperlakukan berbeda. "Karena gue bakalan kangennya ama Rayya." Jawab Rivan, serius. "Tenang aja sih Van, kan ada gue ini." Terdengar suara kekehan tawa seorang gadis, anggota tim LSM yang dia ketuai. Annisa, sepupu jauhnya yang tomboi. Rivan meringis mendengarnya. Iya, dia memang menyukai Rayya. Tapi dia juga tahu jika Rayya tidak sesuai dengan pekerjaan ini. Rayya ikut mereka untuk melarikan diri dari kepedihan dan patah hati yang dia rasakan. Sebagai ketua program, dia harus bijak. Akan tidak baik bagi Rayya maupun untuk keberlangsungan program yang sudah mereka susun sedemikian rupa. “Kalau kamu memang tidak mau perpanjang kontrak, gak papa Rayya. Santi benar, jangan dipaksakan karena hasilnya gak akan baik. Lagipula, mungkin masa melarikan dirimu sudah usai kan? Sudah lebih dari tiga tahun loh kamu menghindar. Lukamu seharusnya sudah sembuh. Jadi, kembalilah ke kampung dengan d**a tegak.” Lanjut Rivan lagi. “Iya kak.” Kata Rayya pelan. Ini yang membuat Rivan semakin gemas pada Rayya. Dia suka Rayya karena lemah lembut. "Van, elu sok teu amat sih ama masalah hidupnya Rayya?" Sekali lagi Rivan mendelik mendengar apa yang dikatakan Annisa. “Van, jangan salah, Rayya tuh walau lemah lembut tapi keras kepala banget.” Santi berkata, seperti mengompori info yang diberikan Annisa. Rayya meringis, menyetujui apa kata Santi, “iya kak, tapi baik hati kok.” “Nanti, kalau program ini sudah selesai, aku boleh main ke rumahmu ya?” Tanya Rivan dengan sangat lembut. Tidak hanya mata Rayya yang membola, tapi Santi juga. Sedangkan Annisa, bola matanya malah berputar. “Boleh, silakan. Ibu juga ingin ketemu Kak Rivan, kata ibu terima kasih telah menjagaku.” "Nah dengar tuh Van, status elo tuh sebagai baby sitter Rayya doang! Jangan gede rasa aah." Celetuk Annisa tanpa rasa bersalah. "Buset deh elu Nis, tega banget ama saudara sendiri. Daripada elu merusak momen indah gue, mendingan beresin itu laporan kita buat Kemenkes." Titah Rivan pada sang sepupu, dijawab decihan kesal Annisa. "Untung kita sepupu Van, kalau enggak udah gue pites elu! Hiiih, " Annisa mendelik galak ke arah Rivan yang dibalas dengan kekehan tawa, "By the way Rayya, jangan termakan janji manis Rivan, jangan terbuai bujuk rayunya ya. Jeratan cintanya bikin cewek susah move on! Baiknya jangan dua kali terjatuh di lubang yang sama ya dik." Kedip Annisa pada Rayya, kemudian gadis tomboi bertubuh kurus itu segera meninggalkan mereka dan melanjutkan membuat laporan. "Abaikan Nisa ya Rayya, tuh sepupu satu itu emang kok. Euum, jadi aku boleh mampir ke rumahmu kan ya? Ketemu sama mama papamu juga?" desak Rivan. Rayya mengangguk, tidak masalah kan jika Rivan datang ke rumahnya untuk bertamu? Hening, hanya senyum dari bibir Rivan dan Rayya yang tercetak. Aah, tiba-tiba terdengar deheman disengaja dari orang ketiga di situ. “Kenapa gue berasa jadi syaiton ya di sini? Jika ada dua anak Adam berlainan jenis, maka yang ketiga adalah syaiton. Gue mah yakin banget Rayya gak akan mungkin dianggap jadi syaiton ama elu kan Van? Udah selesai kan sesi melownya? Yuk, buru makan Ray. Laper gue.” Celetuk Santi, nadanya kesal tapi juga bercanda. Santi dan Rayya berdiri, berniat ke dapur untuk mengambil makanan. Santi menepuk pundak Rivan dan berbisik, “perjuangan elu berat bro. Gue gak yakin Rayya sudah benar-benar lupa sama mantannya atau malah sudah, secara kan elu tahu sendiri, ada pengikat sangat kuat pada mereka.” “Iya San, gue akan sabar menunggu dia, sesabar gue ama kemajuan proyek ini.” Rivan memberikan satu jempol pada Santi dan tertawa kecil. Santi adalah teman satu program LSM yang mereka buat demi membantu masyarakat di desa terpencil terutama dalam hal sanitasi. * “Ray, aku gak bisa anterin kamu ya. Rivan masih butuh bantuanku untuk beberes surat-surat permohonan ke instansi terkait. Kamu tahu sendiri kan betapa ribetnya birokrasi kita. Salam buat bapak ibu ya, kabari aku jalan hidupmu selanjutnya.” Annisa memberikan cengiran khas, dia peluk erat Rayya sebagai tanda perpisahan. Rayya yang paham maksud teman satu LSM bahwa Rivan tidak bisa ditinggal sendirian, mengangguk saja, dia paham apa maksud Annisa. “Iya. Aku akan berusaha untuk menjalani hidupku lebih baik Nis, terima kasih." senyum Rayya, tulus. "Beneran ya Ray, awas aja kalau enggak!" bisik Santi, mengingatkan Rayya pada janjinya. Rayya menghela nafas, "Sudah hampir empat tahun ini aku sama sekali gak mau tahu apa yang terjadi padanya. Hidupnya sudah bahagia tanpa aku kan?” sebuah pertanyaan retoris Rayya yang membuat Santi yakin bahwa sahabatnya ini belum bisa melupakan Abhi sama sekali. Ray, ternyata dengan pelarian dirimu selama bertahun-tahun ke sini pun tidak mampu membuatmu melupakan Abhi, andai kamu tahu apa yang terjadi sebenarnya hingga Abhi tega meninggalkanmu dan menikahi gadis lain! Ini bukan hanya tentang uang dan jabatan, tapi banyak hal! Lagipula, kenapa aku terlibat pada kisah cinta segitiga ini sih? Batin Santi berteriak kesal pada dua sahabat terbaiknya, dia terjebak di tengah-tengah tanpa bisa berbuat banyak. Dengan memberikan senyum terbaik, Annisa mencium pipi Rayya kanan kiri. Saat Rivan hendak lakukan hal yang sama, tentu saja Annisa segera menarik t shirt sang sepupu hingga gagal sudah usaha Rivan beri kecupan kepada Rayya. “Dah Kak Rivan, terima kasih atas bantuannya selama ini. Salam buat teman-teman lain yang ada di base camp ya, maaf aku gak bisa ikut menuntaskan program LSM kita.” Rayya menggenggam erat tangan Rivan. Wajah lelaki berkulit coklat bertubuh tegap dan kekar itu tampak sendu. Sungguh dia tidak rela melepas Rayya, tapi dia sangat egois jika memaksa Rayya untuk memperpanjang kontrak kerjanya sementara keluarga Rayya sudah meminta gadis itu untuk segera pulang. Keluarga gadis itu lebih berhak dibanding dia. Ada seorang lelaki yang sangat membutuhkan kehadiran Rayya. Tanpa disangka-sangka, Rivan menarik tangan Rayya dan merengkuhnya, membawa tubuh itu ke pelukannya. Gadis manis berhati baik tapi keras kepala ini, sudah mencuri hatinya sejak mereka bertemu empat tahun lalu. Perlahan namun pasti, Rivan menyelipkan nama Rayya pada setiap doanya, berharap menjadikan gadis ini sebagai permaisuri hidupnya. Walau dia tahu status Rayya, apa yang terjadi di masa lalu antara dia dan mantan kekasihnya, tapi dia sudah jatuh hati pada gadis ini. Jika hatimu berbicara, maka logika akan menjadi tidak bermakna. “Tunggu aku ya Rayya. Aku akan berusaha untuk bisa menjadi seorang lelaki yang melindungimu, menjadikanmu satu-satunya dalam hidupku. Cup!” Sebuah kecupan singkat mampir di kening Rayya. Mata gadis itu membola mendapatkan kecupan Rivan yang tiba-tiba. Rayya terpaku, mendadak merasa bingung. “Hei, tidak usah bingung. Aku cuma minta untuk kamu menungguku.” tadi Rivan sudah merenggangkan pelukan, tapi melihat ekspresi menggemaskan Rayya, dia merengkuh tubuh itu kembali ke pelukannya. “Hadeuuh nih sejoli yaa, tolong deh tahu diri tahu lokasi, itu kalian udah jadi bintang pelem tahu gak sih? Ray, kita harus buruan check in, ntar ditinggal pesawat aja nangis-nangis tiket mahal.” Santi menarik bagian punggung kaos Rivan, agar bisa menjauh dari Rayya, "Nis, nih sepupu elu nih ya." “Eh iya hehe…, dadah semuanya! Aku sayang kalian!” Teriak Rayya, sambil berlari kecil menyusul Santi, dia melambaikan satu tangan ke Annisa dan Rivan. “I love you more, Rayya!” Balas Rivan, juga berteriak. Sayangnya Rayya mungkin sudah tidak mendengar lagi karena pintu kaca otomatis tertutup. Annisa menepuk kening, menutup wajahnya karena malu. “Ebuset deh elu Van, kagak malu ama umur apa? Elu yang teriak, kenapa gue yang malu ya. Jadi tontonan nih kita. Yuk, buru pulang. Ke desa kita butuh lima jam loh Van, gue gak mau bermalam di tengah hutan.” Annisa menarik tangan Rivan, memaksa lelaki itu untuk mengikutinya ke mobil operasional. Di mobil, sekali lagi Rivan mengorek informasi tentang Rayya pada Annisa. Dia harus bersikap baik pada Annisa jika ingin mendapatkan Rayya, karena setahunya, mereka cukup dekat, sebagai sesama perempuan satu LSM kan? “Nis, emang Rayya belum bisa lupain mantannya itu ya?” Tanya Rivan, tanpa mau menoleh ke sisi kirinya karena dia harus sangat fokus pada jalanan berlumpur dan sisi kirinya lembah yang cukup dalam. Salah sedikit saja, mereka bisa berada di dasar lembah. “Iya. Dia terlalu mencintai sang mantan, siapa itu namanya? Aah Abhi. Maklum aja, mereka menjalin hubungan selama enam tahun tapi Abhi menikahi gadis lain, gimana rasanya coba?” jawab Annisa, dengan mata terpejam, karena dia tahu bahwa Rivan lebih tertarik pada kondisi jalanan daripada melihatnya. “Pantas saja, dia cuma mau pulang kampung hanya pada saat Idul Fitri doang ya? Itupun hanya tiga hari. Tapi menurut elu, gue bisa dapetin hatinya gak sih Nis?” “Gue sih gak yakin Van, tapi kalau elu gak coba, gak akan tahu juga hasilnya. And by the way, yang elu lakuin tadi dengan meluk Rayya itu a nice move walau juga gak tahu malu sih.” kata Annisa dengan terselip nada kesal. "Awas aja kalau sampai viral, gue gak mau jadi juru bicara ya menghadapi tante." Gerutu Annisa. Apa yang diucapkan sang sepupu, mendapatkan respon tawa terbahak-bahak Rivan. Annisa orangnya ceplas-ceplos, sering tanpa saringan untuk berkata-kata. “Yah Nis, namanya juga usaha. Kali aja Rayya bakalan teringat pelukan hangat gue kan? Terus hatinya akan terbuka untuk menerima gue.” “You wish, Van! Mantannya Rayya itu high quality banget kalau kata Santi, elu mah gak ada apa-apanya dibanding dia. Elu tahu Kang Tae Oh gak? Coba deh selancar di dunia maya, tuh si mantannya Rayya mirip banget Kang Tae Oh. Udah ah gue mau tidur, elu nyetir yang bener yaa, gue masih mau lihat matahari besok pagi.” "Oouch, you hurt my heart Nis! Padahal gue kan juga high quality!" * Sementara itu di suatu sudut kota Jakarta, seorang lelaki muda gagah membaca pesan whatsapa dan sebuah senyum bahagia tercetak di bibirnya yang sedikit menghitam karena nikotin yang sempat akrab dengannya beberapa waktu terakhir ini. Dia berdiri, melihat dari kaca kantornya yang ada di lantai lima belas sebuah gedung bertingkat. Jalanan sudah lengang karena sudah malam, mungkin para pencari rupiah ini sudah beristirahat dan bercanda dengan anak istri. Sedangkan dia? Abaikan saja, dia harus menjalani hidupnya dengan hati yang penuh luka. Lelaki ini kemudian menekan nomer ponsel sang kakak, dia merasa lebih puas jika langsung berbicara, bukan menulis pesan. “Halo, Mbak, sebisa mungkin dia harus bekerja di kantor ini, entah gimana caranya nanti bisa diatur. Tapi aku butuh bantuan Mbak, tolooong aku ya mbak.” Setelah mendapatkan balasan bahwa si penelpon yang diujung sana berjanji akan membantu, lelaki muda ini mengakhiri panggilan telepon. Dibukanya galeri ponsel, dilihatnya sebuah foto seorang perempuan manis yang mempunyai satu lesung pipi. Hatinya bungah, dia rindu pada gadis ini. Tiga tahun lebih dia memendam semua rasa, dia simpan sendiri tanpa bisa bercerita pada orang lain demi menjaga perasaan istrinya. Tiga tahun lebih, dia hidup menderita demi menjaga marwah sang istri. Tiga tahun ini, dia hidup bagai robot, tanpa senyum, tanpa niat, hanya menjalani hidup sebagaimana sebelumnya. Mataharinya menjauh darinya. Rembulannya tidak mau menerangi gelapnya hidup. Pelanginya sudah hilang. Gemintangnya tidak pernah muncul di langit malam. Tiga tahun lebih, dia jalani hidup dengan d**a yang nyeri. Rasa sakit karena menyakiti gadis yang sungguh dia cintai, rasa sakit karena kehilangan cinta sang gadis, rasa putus asa karena diabaikan dan dibenci, di atas itu semua, rasa rindu yang membuncah ingin segera bertemu gadisnya. Gadisku? Bolehkah aku tetap mengklaim Rayya sebagai milikku? Setelah semua yang kulakukan padanya? Hanya luka yang aku berikan, bukan tawa bahagia. Abhi memukul tembok kantor dengan tangan terkepal. Sekarang ini, Abhi tidak peduli apa kata orang lain tentangnya, apa kata keluarga Jessica tentangnya. Ini hidupnya, dia yang menjalani hidup ini, bukan orang lain. Dia tidak peduli lagi dengan segala omongan orang, halangannya sudah tidak ada. Dia berhak pada kebahagiannya sendiri setelah selama ini berkorban untuk orang lain tanpa memikirkan dirinya. Sekarang, tujuannya satu, mendapatkan Rayya kembali ke pelukannya, dengan cara apapun! Dengan cara nista sekalipun!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD