Bab 1

664 Words
Langkah sepatu hak tinggi terdengar nyaring di lantai marmer restoran Arjuna Flame. Tidak terburu-buru, tapi cukup tegas untuk menunjukkan siapa yang datang. Aroma smoked garlic dan kaldu sapi berumur dua hari menyambutnya, seperti bariton yang memanggil dalam irama lambat dan dalam. Kana Maharani Gayatri. Ia berjalan lurus tidak melihat ke kanan atau kiri. Dengan gaun hitam terbuka yang membentuk tubuhnya, belahan d**a yang terlihat menyembul, dan lipstik merah yang sangat—sangat seksi, dia adalah definisi intimidasi yang dipoles mewah. Saat dia duduk di meja nomor tujuh—meja untuk satu orang yang menghadap dapur terbuka—seluruh restoran seolah menahan napas. Pelayan menyodorkan menu dengan tangan sedikit gemetar. Kana tidak menyentuhnya. “Saya pesan signature dish. Tanpa modifikasi. Tanpa improvisasi.” “Baik, Nyonya. Signature dish malam ini adalah—” “Chef-nya yang pilih. Biarkan dia bicara melalui makanannya.” Pelayan mengangguk dan segera berlalu. Di balik kaca dapur, seorang pria berambut sedikit acak dan kulit sawo matang terlihat sibuk dengan pisau dan api. Kemeja chef hitam membungkus tubuhnya seperti sarung tangan: pas, dan jelas menunjukkan definisi otot punggung yang bekerja keras di bawah tekanan. Dante Arjuna. Pemilik restoran Arjuna Flame, chef selebriti, dan... legenda urban di kalangan jurnalis kuliner. --- “Dia datang,” bisik salah satu sous-chef. Dante tidak berhenti mencacah bawang putih. “Siapa?” “Kana—si penulis yang pernah membuat restoran A tutup seminggu setelah review-nya keluar.” Dante mendengus. “Bagus. Aku suka tamu yang lidahnya lebih tajam dari pisauku.” --- Beberapa menit kemudian, piring berwarna putih gading mendarat di depan Kana. Pasta buatan tangan, dengan saus truffle buas dan udang bakar yang berkilau lembut oleh butter lemon. Di atasnya, taburan microgreens yang tampak seperti disusun dengan pinset surgawi. Kana mencicipi. Satu suapan. Hening. Bibirnya sedikit bergerak, seperti menyimpan rahasia. Matanya tidak menunjukkan kekaguman, tapi tidak juga jijik. Dia hanya... mengecap. Menganalisis. Menilai. Saat pelayan datang dan bertanya, “Bagaimana makanannya, Nyonya?” Kana mengangkat alis. “Menggiurkan di awal. Melelahkan di tengah. Dan di akhir... aku lupa rasanya. Seperti hubungan seks tanpa aftercare.” --- Kalimat itu masuk ke dapur seperti pisau dilempar dari meja eksekusi. Dante meletakkan pisaunya, mengusap tangannya pada celemek, dan berjalan keluar dari dapur. Suasana restoran berubah seperti adegan klimaks film noir. Semua mata tertuju padanya. Dia menghampiri Kana, berhenti tepat di seberang meja, lalu bersandar sedikit ke depan dengan lengan terlipat. “Aku jarang keluar dari dapur untuk kritik. Tapi kamu cukup spesial. Karena kamu tidak sedang menilai makanan, kamu sedang... menyulut perang.” Kana meneguk anggurnya. “Kalau rasa makananmu setangguh bahumu, mungkin aku sudah o*****e sejak suapan pertama.” Dante terkekeh. “Kalau kamu bisa o*****e dari makanan, berarti kamu belum pernah makan langsung dari tanganku.” Mereka saling menatap. Intens. Tegangan di udara lebih tebal daripada fondue keju. “Chef Arjuna, aku tidak datang ke sini untuk flirt battle. Aku datang untuk makan. Sayangnya, apa yang kamu sajikan... tidak cukup mengesankan.” Dante mendekat sedikit, suaranya lebih rendah. “Karena kamu belum pernah masuk ke dapurku. Belum pernah lihat bagaimana panasnya. Dan belum tahu... betapa intensnya aku memperlakukan bahan-bahanku.” Kana menyandarkan punggungnya ke kursi, tersenyum miring. “Oh ya? Sayang sekali. Aku tidak takut panas. Aku lahir dari api. Tapi kalau kamu cukup berani, undang aku ke dapurmu. Biar aku tahu, apakah kamu memang chef... atau hanya cowok dengan ego sebesar kompor industrial.” Dante menyipitkan mata. “Besok malam. Pukul delapan. Pakai sepatu yang nyaman. Karena kamu tidak hanya akan mencicipi. Kamu akan memasak bersamaku.” Kana berdiri, anggun dan mematikan. “Baik. Tapi satu hal, Chef...” “Apa?” “Jangan pakai celemekmu terlalu ketat. Aku tidak mau teralihkan dari sausmu oleh... bentuk yang lain.” Dante tersenyum tipis. “Kalau kamu kehilangan fokus hanya karena tubuhku, sebaiknya kamu jangan masuk dapur. Karena di sana, panasnya... tidak hanya dari kompor.” Mata mereka terkunci. Permainan baru saja dimulai. Dan tidak ada satu pun yang siap dengan rasa yang akan tercipta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD