Pukul delapan tepat. Kana Maharani Gayatri berdiri di depan pintu dapur Arjuna Flame, kali ini tanpa lipstik merah menyala, tapi dengan eyeliner tipis dan sepatu sneakers putih dari edisi terbatas. Rambut panjangnya diikat ke belakang dengan gaya santai, meskipun tidak ada yang santai dari tatapan matanya.
Dante membuka pintu dapur dengan satu tangan. “Tepat waktu. Suka.”
Kana mengangkat dagu. “Aku tidak datang untuk mencari pujian.”
“Dan aku tidak memberi pujian,” balas Dante sambil menyodorkan celemek hitam padanya. “Pakai ini.”
Kana mengambil celemek itu, memperhatikannya. “Warnanya seperti hati mantan: gelap, tidak transparan, dan meninggalkan noda.”
Dante tertawa kecil. “Hati-hati, Kana. Di sini, pisau-pisaunya tajam. Tidak hanya yang di mulutmu.”
Dapur itu berbeda dari apa pun yang pernah Kana lihat. Bukan sekadar profesional, tapi terasa hidup—seperti tubuh yang bergerak dengan ritme yang rumit. Api menyala, air mendidih, pisau beradu cepat. Tapi semua hening saat mereka berdua berdiri berhadapan di tengah.
“Langkah pertama?” tanya Kana.
“Cuci tangan. Aku tidak mau sausku tercemar oleh egomu,” jawab Dante sambil menunjuk wastafel.
Kana mencuci tangan. Lalu mereka mulai.
30 Menit Kemudian...
Tangan Kana memegang pisau, mencacah bawang bombay di atas talenan. Dante berdiri di belakangnya, tidak menyentuh, tapi terlalu dekat. Nafasnya terasa di tengkuk leher Kana.
“Potonganmu terlalu lembut,” bisiknya.
“Kalau aku terlalu kasar, kamu bilang aku tidak punya teknik,” balas Kana, tanpa menoleh.
Dante menyentuh pisau di tangan Kana, membetulkan sudutnya. Sentuhan itu terlalu singkat, terlalu dalam. “Bukan soal kasar. Ini soal kontrol. Sama seperti di tempat tidur—eh, maksudku—di dapur.”
“Freudian slip,” cibir Kana. “Tapi aku mengerti. Masak, seperti seks, butuh tempo. Terlalu cepat, semua rasa hilang. Terlalu lambat, semua jadi gosong.”
Mata mereka bertemu lagi.
Sekali lagi, terlalu dekat.
---
Malam terus berjalan.
Dante memperlihatkan cara mengolah foie gras. Kana menunjukkan teknik plating yang membuat sous-chef melongo.
“Aku tidak butuh kamu di sini untuk dilatih,” kata Dante tiba-tiba. “Kamu tahu apa yang kamu lakukan. Tapi kamu sengaja menyulut aku.”
Kana menoleh. “Dan kamu suka, kan?”
Dante tidak menjawab. Ia hanya mengambil panci panas, menuang saus ke piring.
Piring itu untuk Kana.
Dia mencicipi. Kali ini tanpa bicara. Hanya diam. Lalu satu kata keluar.
“Lebih baik.”
Dante menaikkan alis. “Hanya itu?”
Kana meletakkan sendok. “Hanya itu yang pantas.”
Saat mereka keluar dari dapur—satu jam lewat tengah malam—suasana restoran sudah sepi.
“Terima kasih,” kata Dante, akhirnya. “Karena kamu datang.”
Kana menoleh cepat. “Kamu bilang kamu tidak memberi pujian.”
“Ini bukan pujian. Ini... peringatan. Karena kalau kamu datang lagi, aku tidak akan menahan diri.”
Kana mendekat, satu langkah cukup untuk membuat jarak mereka kembali nyaris lenyap.
“Lucu. Karena aku juga tidak suka ditahan.”
Dan dengan itu, dia berbalik, melangkah pergi.
Dante berdiri di ambang pintu dapur, menyentuh bagian lehernya yang masih terasa hangat oleh kehadiran Kana.
Untuk pertama kalinya sejak lama, dia merasa lapar.
Bukan karena makanan.
Tapi karena wanita itu.
---
Dante tak bisa tidur malam itu. Tangannya memang tidak menyentuh Kana, tapi pikirannya—itu sudah menelanjangi perempuan itu lebih dari sekali. Ingatannya masih ingat tentang wangi shampo Kana yang lembut seperti vanila hangus. Dan suara tumit sneakers-nya yang menjauh... mengganggu.
Pagi itu, Dante datang ke Arjuna Flame lebih awal dari biasa. Ia tidak pernah menyukai hal-hal yang tidak bisa ia kendalikan. Dan perempuan bernama Kana Maharani Gayatri adalah hal paling tidak terkendali yang pernah menjejak dapurnya.
Sous-chef menyodorkan daftar belanja. Tapi Dante hanya menatap pintu dapur.
“Chef?”
“Hari ini,” katanya pelan, “jangan ada yang sentuh stasiun utama kecuali aku.”
Mereka tak bertanya. Karena semua tahu, Chef sedang tidak normal.
Ternyata...
Sore harinya Kana kembali. Tak seperti malam sebelumnya, kali ini dia masuk tanpa suara. Tanpa eyeliner. Tanpa kata-kata.
Hanya dengan ponytail sederhana dan kemeja hitam kebesaran yang terselip setengah ke dalam celana jeans high waist.
Bibinya mengunyah permen karet. Santai. Tapi mata itu—masih berbahaya.
“Apa kamu selalu seintens ini saat memasak?” tanya Kana, menyender ke meja stainless, menatap Dante yang sedang memotong daging.
“Tidak,” jawabnya tanpa menoleh. Seolah tahu itu Kana. “Hanya saat menyiapkan sesuatu yang bisa membakar mulut seseorang.”
“Dan kamu menganggap aku seseorang yang butuh dibakar?”
Dante menoleh. “Kamu butuh lebih dari itu, Kana. Kamu butuh dilumerkan. Perlahan. Seperti mentega. Supaya semua bagian dalammu keluar tanpa kamu sadar.”
Kana mendekat, mengambil sepotong kecil herbs dari talenan, dan mencicipinya langsung dari jari Dante.
“Aku tidak suka diproses lambat.”
“Sayangnya,” Dante menunduk, suaranya menukik ke dasar leher Kana, “rasa terbaik selalu keluar dari proses yang menyiksa.”
Malam semakin matang. Dapur kembali menjadi tempat dosa-dosa kecil berbentuk makanan.
Dante menunjukkan cara memasak duck breast dengan teknik sous vide. Kana membalas dengan plating yang bahkan membuat chef pastry mendengus kagum. Tapi bukan masakan mereka yang jadi pusat perhatian—melainkan percikan api di antara keduanya.
“Aku ingin tahu satu hal,” gumam Dante sambil menyeka pisau dengan handuk linen.
“Kamu ke sini karena masakanku... atau karena aku?”
Kana tertawa kecil. “Siapa bilang keduanya bukan alasan yang sama?”
Dante menaruh pisaunya. “Kalau begitu, anggap ini... menu spesial malam ini.”
Ia membuka oven kecil dan mengeluarkan satu ramekin mungil—crème brûlée beraroma espresso dan kayu manis, dibakar tepat di atas permukaan sampai karamel merekah.
Diberikannya kepada Kana, tanpa sendok.
“Lidahmu cukup tajam. Cicip ini dengan lidahmu."
Kana menatap crème brûlée itu sejenak. Kemudian menjilatnya perlahan, sensual, tanpa malu.
“Panas,” katanya.
“Ya... harusnya,” Dante menunduk, “seperti kamu.”
---
Mereka berdiri di belakang dapur. Tapi kali ini tanpa bumbu, tanpa piring.
Hanya dua orang dewasa, dengan rasa lapar yang belum terpuaskan dan luka masing-masing?
“Aku tidak suka pria yang mencoba mengendalikan segalanya,” kata Kana.
“Dan aku tidak suka wanita yang selalu lari setelah membuat kekacauan,” balas Dante.
Hening. Lalu...
“Kalau kita terus seperti ini, akan ada yang terbakar,” desah Kana.
Dante melangkah lebih dekat. “Mungkin itu yang kita butuhkan. Luka bakar yang tak bisa disembuhkan.”
Mulut mereka hanya sejengkal. Tapi belum bersentuhan.
Belum.
“Besok malam,” kata Kana. “Aku mau kamu siapkan menu paling panas yang pernah kamu buat.”
“Dengan tangan atau dengan tubuh?” tanya Dante setengah bercanda, setengah serius.
“Keduanya,” balas Kana. “Dan pastikan, kamu siap membakar semuanya.”
Dante tersenyum tipis.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia sadar:
Ini bukan sekadar wanita.
Ini bahaya yang membuatnya ketagihan.