Dante tidak pernah merasa gugup. Tidak ketika restoran pertamanya dibuka. Tidak saat Food & Wine Magazine menyebutnya Chef Tanpa Ampun. Tidak juga ketika mentornya sendiri pernah berkata dia memasak seperti pria yang sedang melampiaskan dendam.
Tapi malam itu, jam berdetik seperti bom waktu.
Restoran tetap buka. Pelanggan tetap ramai. Tapi dapur terasa seperti panggung yang hanya akan dihuni dua orang. Lagi.
Dia dan Kana.
Dan sesuatu yang lebih panas dari suhu oven 200 derajat.
Tepat pukul delapan lewat lima.
Dante sedang memoles saus demi-glace di pinggiran piring ketika suara langkah itu kembali terdengar.
Bukan langkah dengan sepatu hak tinggi kali ini.
Bukan juga sneakers putih edisi terbatas.
Tapi... boots hitam dari kulit asli, diseret perlahan. Dengan celana kulit ketat dan blouse merah marun tipis yang membuat suhu dapur melonjak tanpa bantuan kompor.
Dante tidak langsung menoleh. Dia hanya berkata, “Kamu datang telat.”
Kana menanggapi dari balik apron yang disampirkannya sendiri ke tubuh rampingnya. “Untuk sesuatu yang nikmat, selalu pantas ditunggu.”
Tatapan mereka bertemu di pantulan oven stainless steel.
Dan percikan itu kembali menyala.
Mereka tidak langsung menyentuh satu sama lain.
Bukan karena tak mau.
Tapi karena keduanya tahu, semakin lama ditahan, semakin panas api itu membakar.
Dante memberi Kana bahan utama malam itu: pasta segar, saffron, dan lobster hidup.
“Masakan terbaik,” kata Dante, “harus dimulai dengan sesuatu yang menolak mati.”
Kana menatap lobster itu, lalu menatap pria di depannya. “Jadi itu juga alasanmu mempertahankan egomu?”
Dante tertawa pelan. “Egoku akan mati malam ini. Kalau kamu tahu cara membunuhnya.”
Satu jam Kemudian, tepian meja dapur dipenuhi piring-piring kosong.
Satu demi satu mereka masak bersama—tapi tidak seperti guru dan murid. Bukan juga seperti pasangan.
Tapi seperti dua seniman kelaparan yang melukis dengan pisau dan rasa.
Di sela kerja mereka, tangan bersentuhan. Bahu menyenggol. Napas bersilangan.
“Potonganmu makin bagus,” bisik Dante.
“Karena kamu membuat aku lemas,” jawab Kana tanpa malu.
Dante memutar tubuhnya, cepat, seperti sedang mencuri ruang di antara mereka.
Kini hanya satu inci antara bibir mereka.
“Kamu terus menggodaku,” katanya.
Kana menatap matanya, lalu menurunkan pandangan ke mulut Dante.
“Siapa bilang aku menggoda? Mungkin aku cuma lapar.”
Dan kali ini, dia yang memulai ciuman.
Ciuman itu bukan ciuman biasa.
Bukan sapaan. Bukan rayuan.
Tapi ledakan rasa—panas, dalam, dan terlalu nyata untuk disebut sekadar hasrat.
Dante mencengkeram pinggang Kana, membawanya ke meja kerja.
Pisau dan sendok jatuh ke lantai saat tubuh Kana terdorong ke atas permukaan dingin stainless steel. Kontras dengan panas yang membakar kulit mereka di bawah lapisan pakaian.
Tangannya masuk ke rambut Kana, menarik pelan.
Kana menggigit bibir bawahnya. “Kamu berani sentuh aku di dapurmu sendiri?”
Dante menunduk. “Ini bukan dapur lagi. Ini altar.”
"Ahh..."
Desah Kana saat tangan Dante mulai naik ke p******a dan meremasnya.
Tapi mereka tak melangkah lebih jauh. Belum.
Karena suara denting bel restoran mengingatkan Dante bahwa dunia masih ada di luar ruang ini.
Mereka saling menatap. Nafas memburu. Tubuh tegang. Tapi belum dilampiaskan.
“Kalau kamu pikir ini akan selesai malam ini...” desah Kana, “kamu salah.”
Dante menyeka sudut bibirnya yang merah. “Kamu pikir aku suka yang cepat?”
“Tidak,” kata Kana sambil merapikan blouse-nya. “Tapi kamu suka yang sulit.”
Dia melangkah mundur, dengan sisa-sisa aroma pahit-manis di udara.
“Besok malam,” bisik Kana dari ambang pintu, “aku yang akan memimpin dapur.”
Dante tersenyum setengah. “Kalau begitu, semoga aku masih bisa bertahan hidup.”
---
Dapur Arjuna Flame malam itu tak seperti biasanya.
Sous-chef menunduk lebih dalam. Kompor menyala lebih cepat. Dan semua orang mencuri pandang ke arah satu sosok yang berjalan masuk dengan langkah pelan namun mengintimidasi.
Kana Maharani Gayatri.
Berbalut jumpsuit hitam terbuka di punggung, celemek yang diikat asal di pinggang rampingnya, dan sepatu hak pendek yang mengeluarkan bunyi nyaris tak terdengar—tapi tetap menggetarkan lantai.
Dante berdiri di sisi meja kerja, bersandar sambil memutar sendok kayu di tangannya.
“Hi, kamu datang,” katanya menyeringai.
Kana melemparkan sarung tangan ke atas meja. “Aku bilang aku akan memimpin dapur. Kamu pikir aku hanya bercanda?”
Dante tidak menjawab. Tapi tatapannya... tajam, dalam, dan nyaris tidak bisa dibaca.
Seperti wine merah yang terlalu tua untuk disajikan tanpa decanting.
Kana berdiri di depan meja tengah, memimpin satu brigade dapur seperti seorang jenderal yang baru saja mengambil alih pasukan.
“Aku mau beef wellington dalam satu jam. Sempurna. Tidak berdarah, tidak kering,” katanya, suaranya dingin tapi menghipnotis.
“Truffle mashed potatoes, dua konsistensi: creamy dan foamy. Dan plating-nya... harus seperti mimpi buruk yang terlalu cantik untuk ditolak.”
Semua anak dapur bergerak.
Termasuk Dante.
Dia tidak berkata apa-apa, tapi ikut mencincang bawang putih di sebelah Kana. Tangannya cepat, tekniknya nyaris seperti tarian.
Kana menoleh sedikit. “Kamu tahu kenapa aku suka aroma bawang putih dan mentega?”
Dante melirik. “Kenapa?”
“Karena mereka hanya bisa mengeluarkan rasa terbaik saat terbakar bersama.”
---
Mereka semua bekerja dalam diam yang memabukkan.
Sendok, pisau, suara oven yang menghembus... semua menyatu dalam satu simfoni.
Lalu, saat Kana sedang memoles mustard ke atas daging tenderloin, Dante berbicara pelan, nyaris seperti bisikan.
“Kalau kamu seorang hidangan... kamu pasti main course. Disajikan lambat, panas, dan bikin siapa pun lupa dessert.”
Kana tersenyum kecil. “Dan kamu... jelas bukan appetizer. Terlalu banyak ego untuk ukuran awal.”
Dante bergerak di belakangnya. Terlalu dekat.
“Hati-hati,” katanya. “Di dapur ini, aku tidak pernah jadi side dish.”
Satu Jam Kemudian. Sajian selesai. Ada empat piring sempurna, masing-masing seperti lukisan yang bisa disantap. Sous-chef yang biasanya tak pernah berkomentar hanya bisa menelan ludah.
Dante mendekat, mencicipi satu potongan.
Dia diam sejenak.
Lalu menatap Kana. “Sial. Ini lebih enak dari masakanku.”
Kana mencondongkan tubuh. “Tentu saja. Kamu hanya pakai teknik. Aku pakai emosi.”
Dante meletakkan garpu.
Langkahnya pelan, nyaris seperti predator.
Dia mencengkeram pinggang Kana dan membisikkan, “Emosi seperti apa yang kamu tuangkan ke sini? Marah? Nafsu? Rasa ingin menaklukkan?”
Kana tak mundur. Dia menempelkan bibir ke telinga Dante dan berbisik, “Rasa ingin... membuatmu kehilangan kendali.”
Dan kali ini, Dante yang kalah.
Tangannya meraih tengkuk Kana. Ciuman datang, panas dan mendesak. Tidak seperti malam sebelumnya—ini bukan hanya godaan. Ini tuntutan. Ini klaim.
Tangan Kana masuk ke dalam kemeja chef Dante, meraba otot punggung yang tegang. Dante membalas dengan dorongan lembut yang membawa Kana ke meja kerja mereka tadi.
Piring, serbet, dan sendok jatuh. Lagi.
Dunia mengecil menjadi titik panas antara tubuh mereka.
“Berhenti,” desah Kana, meskipun tangannya tetap mencengkeram kerah kemeja Dante.
“Kenapa?” napas Dante berat.
“Karena kita belum sampai dessert. Aku mau yang manis."