Apartemen Kana masih berantakan ketika Dante turun lift menuju parkiran. Tangannya bergetar. Bukan karena lelah—lelaki itu tidak pernah mengakui kelemahan begitu mudah—tapi karena sensasi yang masih tertinggal di kulitnya, di lidahnya, di kepala yang makin kacau. Dia buka pintu mobil, masuk, duduk, tapi tidak menyalakan mesin. Sesaat, Dante hanya memejam mata. Dan aroma Kana—wine merah, rokok vanilla, dan sesuatu yang lebih primal—masih menempel di hidungnya seperti dosa yang tidak bisa dicuci. “Aku harus berhenti,” gumamnya pelan. Tapi otaknya tertawa. Dan tubuhnya? Tubuhnya berdetak seperti ingin balik naik ke atas, mendobrak pintu, dan menenggelamkan diri di tubuh Kana sampai pagi. --- Kana berdiri lama di depan pintu apartemen yang baru saja tertutup. Rokok di jarinya hampir

