Keputusan Bodoh

1368 Words
"Tidak ada yang akan menikah! Pergi dari sini dan mulai detik ini kamu dipecat!" teriak Zavier marah. Pria itu bahkan melayangkan pemecatan tanpa bisa diganggu gugat lagi, keputusan yang diambil tanpa pikir panjang. Nayla berlalu tanpa kata setelah pamit, melangkah gontai menuruni tangga. Hari ini dia mendengar dua hal mengejutkan yang tidak pernah terbersit sama sekali dalam benaknya. Pertama permintaan Elsa dan kedua pemecatan tepat di tiga bulan pertama dia bekerja. Perlahan pandangannya berembun dan hampir gelap. Nayla menghentikan langkahnya di bordes tangga, pelat datar di antara anak tangga yang berfungsi meminimalkan resiko terjatuh. Dia memegangi tembok dengan satu tangan untuk menopang berat badan yang mulai tak seimbang. Memaksakan diri untuk tetap turun dengan sedikit kesadaran yang tersisa. Keringat dingin mulai memenuhi dahinya. Tubuh gemetar pun wajah yang pucat. Pekikkan bi Karti memenuhi ruangan bersamaan dengan tubuh Nayla yang limbung saat langkahnya hampir mencapai lantai dasar, dengan sigap Syam menangkapnya. Beruntung dokter itu masih ada di sana dan melihat gerak-gerik yang janggal dari gadis yang baru dilihatnya ini. Tubuh Nayla dibopong untuk direbahkan di sofa ruang tengah. Bi Karti yang panik akhirnya tersadar oleh panggilan Syam yang memintanya untuk mengambil air putih. Sigap asisten rumah tangga itu sedikit berlari ke dapur dan kembali secepatnya dengan segelas bening air putih juga minyak angin yang diambil dari kotak obat. "Ini, Dok. Air putih dan minyaknya," katanya dengan logat Jawa yang khas, menyerahkan gelas dan botol minyak pada Syam. Pria itu lantas membuka penutup botol dan mendekatkannya pada hidung Nayla. Seketika gadis itu menggulirkan bola matanya ke kanan-kiri tanda jika kesadarannya mulai kembali. Di saat yang bersamaan, terdengar beberapa langkah kaki dari arah tangga. Zavier dan Elsa turun ke lantai dasar karena mendengar teriakan dari bi Karti yang membuat mereka panik dan ingin mencari tahu apa yang terjadi. "Nay! Dokter, Nayla kenapa?" tanya Elsa panik. Dia mengambil duduk di sisi tubuh Nayla yang terbaring lemah dengan wajah pucat. "Nay." Zavier hanya diam menatap dingin pada wajah pucat itu. Sementara Syam pamit ke luar untuk mengambil peralatan periksanya di mobil. "Za, apa nggak sebaiknya kita bawa Nayla ke rumah sakit?" Elsa meminta saran karena benar-benar merasa khawatir pada Nayla. "Jangan percaya pada gadis itu. Mungkin saja sekarang dia sedang berusaha membodohi kita," ucapnya sarkas. Setelahnya Zavier berlalu begitu saja tanpa kata, meninggalkan Elsa dan bi Karti yang saling pandang dengan mulut menganga. Sementara Nayla, dia bisa mendengar apa yang Zavier ucapkan saat kesadarannya sudah sedikit kembali. Ucapan itu benar-benar menyakitinya, membuatnya kecewa. Mengingat hal itu, membawa Nayla pada ingatan kejadian tiga tahun lalu di mana semua bahagianya lepas dan menimbulkan luka teramat dalam baginya, juga bagi Zavier. *** Berawal dari sakitnya ibu Nayla yang harus segera dioperasi, membawa gadis malang itu pada dua pilihan yang sulit. "Bagaimana? Kamu setuju? Kesempatan ini hanya akan datang satu kali." Wanita paruh baya itu berkata dengan penuh percaya diri dan mengangkat dagu. Memperlihatkan kekuasaan yang dia punya dan itu berhasil membuat Nayla yang bersimpuh di depannya dengan wajah basah semakin merasa kecil tak berdaya. Melihat gadis di depannya yang bingung, ibu dari Zavier--yang tak lain adalah kekasih Nayla itu--semakin gencar menghasut dan membuat pertahanan cinta Nayla pada putranya goyah. Padma menarik satu sudut bibirnya membentuk senyum sinis. "Jangan terlalu banyak berpikir. Apa kamu ingin ibumu tidak operasi dan meninggal karena lebih memilih mempertahankan cintamu pada Zavier?" Padma mengatakannya dengan raut wajah penuh tipu daya. Nayla gamang, teramat bingung. Ibu dari kekasihnya benar-benar memberikan dua pilihan berat. Dia datang ke rumah ini ingin bertemu Zavier dan meminta tolong padanya untuk meminjamkan uang yang harus segera dibayarkan untuk operasi tumor otak ibunya. Setelah sampai di sini yang dia temui adalah Padma. Nayla memberi tahu segalanya, tapi yang dia dapat bukan pertolongan melainkan dua pilihan mustahil. Yang pertama, Padma akan membantunya membayar biaya operasi bahkan membiayai sampai ibunya pulih asalkan Nayla meninggalkan Zavier dan berpura-pura selingkuh dengan Ezra, sahabat mereka. Kedua, Padma mengizinkan Nayla bicara pada Zavier tentang hal ini, tapi dia juga meyakinkan gadis polos itu jika keuangan Zavier seluruhnya ada di bawah genggamannya. Semua transaksi akan berjalan mulus hanya dengan izin darinya selaku nyonya rumah ini dan ia juga memastikan jika Nayla tidak akan mendapatkan apa-apa jika memilih untuk tetap bertahan dengan Zavier. Nayla terisak dengan menunduk, masih bersimpuh di lantai memegang kedua kaki Padma yang duduk dengan angkuh di sofa mahal nan berkelas, benar-benar memohon belas kasihnya sedikit saja. Dia tidak ingin kehilangan Zavier dan sangat membutuhkan uang itu untuk biaya operasi tumor otak ibunya. Berulang kali dia menjelaskan agar Padma mengerti jika baik Zavier maupun ibunya adalah dua orang yang sangat dia butuhkan dalam hidup. Jika salah satunya tidak ada, entah akan bagaimana kehidupan yang akan dia jalani ke depannya. "Kumohon, Nyonya. Aku akan membayar semua hutangku dan tidak akan kabur. Aku janji. Tolong jangan seperti ini. Aku benar-benar tidak bisa memilih," jelasnya ditengah isak dan derai air mata yang telah menganak sungai. Padma menarik napas dalam, tak bisa sabar lagi menghadapi gadis keras kepala semacam Nayla. Dia menekan kedua pipi gadis rapuh itu dengan satu tangannya, membawa wajah yang sedari tadi menunduk untuk menengadah menatap wajahnya yang cantik terawat namun terlihat menyeramkan jika marah. Terlebih dengan kedua mata yang melebar pun menatapnya tajam. "Aku tidak membutuhkan penjelaskan konyol darimu! Intinya sekarang kamu harus memilih, Zavier ... atau ibumu?" Tetap gelengan pelan yang Padma dapatkan dari semua penawaran yang dia lakukan. Murka. Padma mendorong kedua pipi Nayla hingga pegangan tangan gadis itu di kakinya terlepas. Dia berdiri dan menunjuk merendahkan Nayla. "Dasar gadis tidak tahu diri! Aku sudah berbaik hati ingin membantumu! Kamu pikir gadis tidak berpendidikan sepertimu, bahkan dengan latar belakang miskin bisa diterima di keluarga terhormat seperti kami? Itu akan terjadi, hanya dalam mimpimu saja!" Padma bahkan menyentuhkan jari telunjuknya pada pelipis Nayla. Seakan menyiratkan jika gadis itu harus menggunakan pikirannya dengan benar dan jangan berkhayal untuk bisa menikah dengan putranya. Dari arah luar terdengar deru mesin mobil yang tak asing. Padma melipat tangannya di depan perut. Menarik bibirnya tersenyum senang. Gadis bodoh yang masih menangis di depannya harus segera mengambil keputusan, suka ataupun tidak suka. "Hey, hapus air matamu! Berdiri dan segera ambil keputusan. Zavier kekasihmu sudah sampai." Kedua matanya membesar, seketika semakin melebarkan senyum saat netranya menangkap suatu kebetulan yang menurutnya adalah izin Tuhan untuk melancarkan rencana gila itu. Zavier datang di waktu yang tepat, juga membawa orang yang tepat. Seperti pucuk dicinta, ulam pun tiba. "Putuskan segera detik ini juga. Kamu memilih Zavier atau ibumu," bisik Padma karena kedua pria itu sudah berada di teras, terlihat dari jendela kaca. Nayla bangun saat mendengar beberapa langkah kaki mendekati ruang tamu. Dia menyeka wajahnya yang sangat basah dengan kedua tangan. Masih dengan sisa isaknya dia berpikir keras untuk mengambil keputusan gila apa yang akan dia pilih. Tanpa menoleh, Nayla tahu dari suaranya jika orang yang baru datang itu adalah Zavier dan Ezra, dua orang yang akan dia sakiti sekaligus dalam satu waktu jika keputusan bodoh pertama yang dia ambil. "Mami, ada tamu?" tanya Zavier setelah berada di belakang Nayla. Mengeryitkan dahi seperti sangat mengenal punggung gadis yang membelakanginya. Setelah melihat tas yang melingkar di tubuh wanita muda di depan, dia melebarkan senyum karena sang kekasih datang ke rumah dan memberi kejutan. "Oh. Ini ... Nayla datang. Dia ingin memberi tahu tentang hal penting katanya. Benar, 'kan, Nay?" Dengan penuh drama, Padma mengusap lembut kepala Nayla agar putranya terkesan. "Benarkah?" Kedua mata Zavier melebar memancar binar bahagia. Pasalnya beberapa minggu lalu dia sudah meminta izin pada ibu Nayla untuk melaksanakan pertunangan dan tadi maminya bilang jika Nayla membawa kabar penting? Apakah kabar yang dia harapkan selama ini? "Kenapa tidak menelponku? Aku akan menjemputmu ke rumah sekalian bertemu ibu. Tidak biasanya. Apa ini kejutan?" Nayla membalik dan berhadapan langsung dengan kekasihnya. Mencoba tersenyum meski hatinya teramat sakit. "Aku ... ingin memberitahu sesuatu." Senyum Zavier luntur dan menatap kekasihnya bingung. "Nay, kamu menangis? Ada apa? Apa hal yang buruk terjadi?" Kedua mata Zavier melebar mengingat sesuatu. "Bagaimana dengan ibu? Ibu--" "Kita akan bertunangan," sambarnya cepat. Tidak ingin berlama lagi karena waktu semakin menipis. Kedua netra Padma mendelik kesal tak percaya jika gadis di depannya malah memilih opsi kedua. Dia bersumpah tidak akan membiarkan Zavier dan Nayla bersama meski sedetik pun mulai sekarang, karena sudah mengambil keputusan bodoh yang sama sekali tidak dia harapkan. Bersambung…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD