Petaka Untuk Zian

809 Words
                Menyimpan mobil di garasi, Zian bergegas menuju kamarnya untuk mandi. Namun sayang belum juga naik tangga, sang Bunda sudah memanggilnya untuk duduk di ruang tamu bersama Ayah. Zian heran menatap Ayahnya, pasalnya biasa jam segini Ayah masih di kantor. Jarang-jarang Ayahnya sudah ada di rumah jam empat sore. Yah maklum saja, Ayah Zian bukanlah CEO perusahaan besar ala cerita internet. Ayahnya hanya seorang manajer di perusahaan jaringan provider terkenal di Indonesia yang terkadang harus dinas keluar kota dan jarang memiliki waktu keluarga, apalagi pulang lebih awal.               Menghampiri kedua orangtuanya, Zian menyalami kedua tangan Bunda dan Ayah lalu duduk di depan mereka.               “You look tired,”Ucap Bunda mengamati anak satu-satunya dengan penuh sayang.               Zian menggakruk tengkuknya mengingat kejadian hari ini yang begitu melelahkan ketika Renata memaksanya untuk membersihkan kelas sepulang sekolah, jelas-jelas hari ini bukan jadwal piketnya. Memang gadis kecil itu selalu saja mencari kesempatan untuk lebih lama bersamanya. “Today is more tiring. What is wrong? Rarely did I see Dad come home early.”               Bunda dan Ayah saling menatap lama, membuat Zian merasa jengah. “Kalau Ayah dan Bunda mau bermesraan, aku lebih baik masuk ke dalam kamar.”               “Zi, kamu inget enggakk sama Tante Tita? Temen Bunda sama Ayah waktu kuliah?”Tanya Bunda.               Zian mengangguk. “Sahabat Bunda yang nikah sama dosennya sendiri ya?”               “Iya yang itu,”Timpal Ayah.               “Is there a problem with aunty Tita?”               “Yes, aunty Tita there is a problem and she needs our help especially you.”Jawab Ayah pelan-pelan.               Zian menatap bingung Ayahnya. “Need my help? How can I help aunty Tita?”               “Tante Tita, sahabat Bunda satu-satunya sakit,”Kini giliran Bunda yang berbicara. Mata Bunda berkaca-kaca membuat Ayah merangkul istri tersayangnya itu dengan penuh cinta. “Tante Tita divonis mengidap kanker hati stadium empat.”               “Innalilahi.. apa yang bisa aku bantu, Bunda?”               “Pernikahan Tante Tita dan suaminya sejak awal tidak direstui oleh keluarga Tante Tita dan itu membuat keluarga mereka dijauhi oleh sanak saudara. Tante Tita hanya memiliki anak satu-satunya, sama seperti Bunda cuma punya Zian.”               “Bunda mau mengadopsi anak Tante Tita?”               “Tentu saja tidak, dia masih memiliki Ayahnya.”Sergah Ayah cepat.               “Lalu?”               “Kami ingin menjadikannya menantu kami.”               Zian menatap kedua orangtuanya terkejut. “Bunda mau aku menikah sama anak tante Tita? Jangan bercanda Bunda, jangankan menikah, untuk pacaran saja aku tidak ada niatan sampai aku merasa dewasa dan mapan.”               Bunda meneteskan air matanya dan menatap anak satu-satunya dengan penuh harapan. “Ini permintaan dari tante Tita dan Bunda juga merasa lebih baik menyatukan kita sebagai keluarga. Berbeda dengan kamu yang masih memiliki saudara yang mau merawat kamu, anak tante Tita hanya punya Mama dan Papanya. Sekarang Mamanya sudah divonis kanker, lalu kepada siapa tante Tita meminta tolong selain ke kita?”               “Bukannya begitu Bunda. Pernikahan bukan hal yang bisa begitu mudah di putuskan. Aku masih sekolah, bahkan fitrahku masih di nafkahin Ayah Bunda. Menikah, memiliki istri itu artinya aku harus siap bertanggung jawab di hadapan Tuhan. Bagaimana aku bisa bertanggung jawab sementara bertanggung jawab pada diri sendiri sering aku lalaikan?”               “We understand what you think. But is not God giving a chance to learn?”               “Aku bahkan tidak tahu siapa anak tante Tita, bagaimana bisa aku menjadikannya istri?”gumam Zian merasa geli ketika menyebut “istri”.               “Dia satu sekolah sama kamu bahkan kalian seangkatan,”Ujar Bunda menghapus air matanya.               Zian mengangkat sebelah alisnya. “I do’nt really know the woman in my school. Siapa namanya biar aku bisa cari tahu siapa dia?”               “Namanya Renata.. Renata Mariana Fa.. siapa ya Bun?”               “Fahira?”Tanya Bunda balik.               “Bukan deh, Fa.. siapa ya? Aduh Ayah lupa!”               Mendengar nama Renata disebut membuat bulu kuduknya seketika merinding dan menggeliat tidak nyaman. “Fazira. Namanya Renata Mariana Fazira?”Tanya Zian hampir berbisik.               Bunda mengangguk semangat. “Iya namanya Renata Mariana Fazira! Kamu kenal Zi?”               Zian menyandarkan tubuhnya lemas ke sandaran sofa. “Ini namanya tragedi.”Gumam Zian.               “Kenapa Zi?”Tanya Ayah bingung.               Zian menatap kedua orangtuanya datar seraya menegakkan tubuhnya. “Aku bakalan mikirin ini asalkan besok aku di ijinin liburan ke Paman Rasya di Bali dua minggu.”Tegas Zian.               “Lalu sekolah kamu?”Tanya Bunda.               Zian mengangkat bahunya tidak peduli.               Bunda dan Ayah terdiam lama, hingga akhirnya Ayah berkata. “Besok Ayah ke sekolah buat ijin ke wali kelas kamu. Tapi dengan syarat setelah dua minggu kamu liburan, kamu harus mau menikah.”               “Dengan syarat asal si Renata itu juga mau menikah, bukan paksaan.”               Ayah mengangguk begitu pun Bunda.               Namun, Zian tahu jika gadis itu mungkin 80% akan langsung menerima pernikahan ini, tapi bisakah Zian berharap pada angka 20%? Jika Renata akan menolaknya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD