Aku tak menjawab. Kutengok jendela di samping ranjangku tidur saat ini. Ternyata hari sudah mulai senja. Warna langit perlahan menguning dan hitam. Aku terisak kembali. Mengingat beberapa kenangan saat masa-masa kami saling malu-malu dan mengirimkan surat di pondok pesantren saat kami masih sama-sama menjadi santri.
Hubungan kami, tidak hanya satu dua tahun. Hubungan kami telah tercipta sejak kami sekolah menengah. Ada sekitar sepuluh tahun bersama.
Apa dia sengaja mengkhianati sebuah kepercayaan yang aku berikan untuknya. Tidakkah dia mengingat sebuah janji yang pernah terucap.
Ohh, nyatanya memang sakit, nyatanya memang kecewa.
Aku adalah wanita yang malang. Di saat aku sedang jatuh cinta, kenapa harus merasakan kecewanya. Mungkin inilah yang dinamakan, kecewanya orang jatuh cinta.
#
Malam itu juga, aku langsung meminta izin kepada Umi dan Abi untuk merantau dan mondok di salah satu pondok pesantren yang terletak di Jawa Tengah. Alasanya hanya satu, aku sangat ingin menjauh dari luka yang sangat sakit untukku rasakan. Ketika aku masih berada di dalam lingkungan yang akan membahas sebuah masa lalu dan berikut sakitnya. Maka aku bisa pastikan jika aku akan merasakan luka itu berkali-kali.
Hanya sesuap nasi yang masuk ke dalam mulut, tak terasa begitu baik pada indera perasa.
“Apa tidak terlalu terburu-buru Nduk?” tanya Abi kepadaku. Aku hanya bisa menunduk dalam, sembari menyembunyikan air mataku yang kembali mengalir.
“Ketika seseorang tersakiti hatinya, maka berpindah ke suatu tempat adalah pilihan yang bijak bukan Bi,” ujarku dengan meremas ert ujung jilbabku.
Abi meletakkan sendoknya. Menyingkirkan piring yang ada di kehadapannya.
“Akan lebih bijak jika seseorang itu mampu menyelesaikan masalahnya tanpa harus melarikan diri dari masalah itu,” ujar Abi dengan nada tenangnya. Hati dan pikiranku sama sekali tak tenang.
Kedua bahuku naik turun terisak. Tak mampu lagi membendung air mata kesedihan. Umi memelukku dari samping dengan erat. Perasaan seorang Ibu akan mudah mengena dan lebih mengerti dari seorang Ayah yang selalu mengandalkan logikanya.
“Abi, tidak tahu apa yang dirasakan Syafa. Dia terluka, malu, sedih karena dikhianati. Biarkan dia menyembuhkan lukanya dengan mondok Bi, dari sana Insya Allah dia akan mendapatkan ketenangan dengan mendekatkan diri kepada sang empu hidup,” ujar Umi membela apa yang akan inginkan.
Rasanya memang berdosa, jika aku ke pondok pesantren hanya untuk menyembuhkan luka dan melarikan diri dari rasa malu. Niat ke majelis ilmu hanyalah untuk memberantas kebodohan, bukan yang lain. Semoga memang terniat dalam hati, aku bisa membuat setidaknya diriku lebih sibuk dengan perkara akhirat daripada dunia.
“Jelas-jelas Syafa ini ke sana karena malunya, perasaan kesalnya, kecewanya, patah hatinya. Untuk apa ke jauh-jauh tempat Umi, jika kita bisa untuk membuatnya lebih baik di sini. kepergiannya ke jauh tempat akan membuat semua orang semakin curiga. Membuat orang akan semakin bersuudzon terhadap putri kita. Kita berada di dalam kondisi yang sangat sulit saat ini,” ujar Abi masih dengan kukuhnya melarang apa yang menjadi keputusanku.
“Syafa ke pondok bukan hanya karena ini Bi. Syafa ke pondok dengan niat untuk mencari kegiatan yang sekiranya bisa membuat hati Syafa lebih tenang dengan mendekatkan diri kepada Allah. Di sini, di desa ini, di kota ini. Siapa yang tidak mengenal dirinya, dan kabar tentang lamaran yang dulu pernah terjadi sudah tersebar luas ke seluruh pelosok. Nama Syafa ada di sana, nama Syafa sudah terlanjur dikenal banyak orang juga,” kataku.
Abi memijat keningnya sebentar. Sebelum akhirnya menghembuskan nafas pasrah. “Baiklah kalau itu kemauanmu Nduk, Abi bisa ap ajika tidak memberi restu. Pergilah, kejar akhiratmu, Abi merestuimu,” kata Abi dengan sangat dalam. Membuatku menangis karena sebuah kelegaan yang ada.
Bismillahirrahmanirrahim, semoga di tempat baruku aku menemukan hal yang bisa membuat pikiranku melupakan semuanya yang terjadi hari ini.
Aku mengemasi semua barang-barang yang sekiranya penting untukku bawa. Dengan tas seadanya dan dengan uang saku sisa dari persiapan pernikahanku. Aku membantu Umi, memberikan sedikit uang yang kupunya untuk persiapan pernikahanku. sekadar memberikan uang untuk membeli bahan jajanan tradisional, dan sebagiannya lagi, sudah habis aku gunakan untuk biaya lamaran kami. Tidak enak meminta kepada orang tua sebuah biaya pernikahan, meskipun sebenarnya kedua orang tua mampu namun aku tidak sanggup untuk meminta mereka.
Pernikahan adalah kebutuhanku.
Klunting,
Kudengar ponselku berdering. Kulihat siapa yang menelponku. Kuharap berita kali ini belum tersebar kemanapun.
“Assalamu’alaikum anak manis, bagaimana kabar kamu?” kudengar suara nyaring itu menyapaku. Terlebih dahulu sebelum menjawab aku menenangkan diriku.
“Waalaikumsalam Ma, alhamdulillah kabar Syafa di sini baik. Bagaimana kabar Mama di sana?” tanyaku.
Dia adalah Mamaku. Orang yang mengangkat diriku sebagai seorang anak, di saat dirinya sampai saat ini belum diamanahi seorang anak. Di saat aku masih kecil dan keluarga kami yang dulu sangat kekurangan. Mama Lydias yang membawaku untuk mengenyam bangku pendidikan yang lebih baik. Aku pun bisa menghafal Al Quran sampai mengenyam pendidikan hingga pendidikan tinggi karena beliau. Hanya saja saat ini beliau tinggal di Surabaya, sedang aku di pinggiran kota perbatasan dengan Jawa Tengah. Sebuah kebupaten kecil berjuluk bumi Angkling Darma.
“Mama baik anak manis, hanya saja. Mama rasa, ada sebuah rasa yang tidak enak. Entah ada apa itu, yang jelas Mama hanya berdoa semoga Allah memberikan kemudahan kepadamu untuk melangkah ke jenjang pernikahan yang sakral,” doa Mama yang memuat sebuah arti yang sangat mendalam. Mama bukan orang asli Indonesia, pun dengan Papa. Keduanya berasal dari negeri kanguru. Berpindah ke Indonesia untuk sebuah pekerjaan. Sebelum akhirnya menetap dan menjadi warga negara di sini. Pun dengan agama mereka yang awalnya Kristen, menjadi Islam. Semua kembali kepada hidayah dan anugerah.
“Syafa, mengapa kamu tidak menjawab pertanyaan Mama anak manis,” ujar Mama sekali lagi yang membuat aku langsung menghembuskan nafas besar.
“Syafa akan mondok kembali Ma, ke Jawa Tengah. apa Mama merestui dengan apa yang Syafa putuskan?”
“Tentu saja. Akan tetapi, Mama sekali lagi bertanya kepadamu anak manis, ini tidak ada hubungannya dengan pernikahanmu bukan? Semuanya baik-baik saja kan?” tanya Mama.
“Syafa akan menceritakannya kepada Mama, nanti. Syafa mau bersiap-siap dulu,” ujarku dengan menahan isak.
Ada banyak orang yang sayang kepadaku. Untuk apa aku terus menangis. Ada mereka yang dengan tanpa diberi tahu oleh siapapun akan merasakan perasaam yang tidak enak. Tidak kah aku berdosa jika membuat mereka bersedih atas apa yang aku rasakan sat ini. Ohh itu adalah sebuah hal yang memalukan. Menebar benih kesedihan kepada orang lain bukanlah suatu hal yang bijaksana.