Hati yang Dipaksa Ikhlas

1117 Words
Hati yang bisa mengikhlaskan adalah hati yang paling beruntung. Malam itu juga. Aku meminta Gus Azizi untuk mengantarkanku. Beliau adalah salah satu keluarga yang cukup jauh silsilahnya, tapi tetap kami dalam satu ikatan mahram. Karena banyaknya keluarga di pesantren, kadang menyulitkan kami untuk mengetahui silsilah satu dengan yang lain. “Hati yang bisa mengikhlaskan adalah hati yang paling beruntung,” ujarnya ketika aku selesai menutup pintu. Tanganku yang belum memakai sabuk pengaman, terhenti dan melihat wajahnya yang senantiasa tampak bersinar. “Gus. Sudahlah, sekarang Syafa hanya ingin melupakannya saja,” jawabku dengan helaan nafas Panjang. Gus Azizi tersenyum ke arahku dan langsung menyalakan musik untuk menemani perjalanan kami. “Jangan Ya Habibal Qolbi,” sahutku sesaat Gus Azizi akan memilih sebuah lagu dari Youtube yang ada di ponselnya. “Kan, lagu itu tidak hanya untuk kamu Ning. Tapi buat Gus juga. Jangan terlalu ge er kalau masalah lagu mah. Hahaha,” masih sempat-sempatnya dirinya tertawa di saat luka dalam hatiku masih menganga seperti ini. Alangkah malangnya nasibku. Bukannya dilipur dengan nada-nada yang lebih menggembirakan, tetap saja Gusku satu ini menyetel lagu dengan nada-nada sendu beraroma cinta. Meski dalam Bahasa Arab, aku bisa mengartikannya dengan baik. Karena yang memang Tarikh dan Shorof adalah ilmu yang aku pelajari dengan baik. Ohh, tidak bisakah orang di sampingku ini mengetahui tentang galaunya rasa hatiku. “Gus, jangan membuat Syafa malah jadi sedih dong. Senang sekali bahagia di atas penderitaan orang lain,” sahutku dengan kesal. Lagi dan lagi Gus Azizi tertawa mendengar apa yang aku katakan. “Dik Syafa. Coba dengarkan saya. Cinta dan luka adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Jika kamu berani untuk jatuh cinta, maka kamu juga harus siap jatuh dalam luka. Sampai sini paham dengan apa yang Gus katakan?” Hatiku seolah mendapatkan sentilan dari seseorang yang bijak dalam tutur katanya ini. Bulir air mataku lalu menetes dengan deras. “Kau taaruf saja dengan Gus Siroj, saya lihat-lihat dirinya terlihat yang sangat patah hati saat Asyfi akan menikahimu,” kembali lagi Gus Azizi menyerukan suaranya. Aku hanya menghela nafas Panjang. Masih basah air mataku. Sesungguhnya cinta dan luka memang tidak bisa untuk dipisahkan. Namun, mencintai orang lain lagi untuk mengobati luka yang karena cinta tak semudah kita mengucapkannya. Ada ribuan kenangan yang harus untuk dilupakan. Ada berjuta bayangan akan wajahnya ketika aku akan melangkah kemana pun. Sedahsyat itu cinta memabukkan, dan sedahsyat cinta itu juga membuat hati sulit untuk menerima kenyataan. “Syafa hanya ingin sendiri dulu Gus. Tidak mau yang aneh-aneh,” tukasku. Gus Azizi mengerti. Dan dirinya lalu kembali focus mengendarai kendaraannya. Di sepanjang jalan, aku hanya melihat kea rah kiri jendela. Melihat berbagai kehidupan malam yang sejenak gelap, sejenak temaram, dan sejenak terang benderang. Memang tidak seterang siang. Namun, cahayanya yang lebih terang dari pada yang lain menandakan jika aku saat ini melintasi jalan di mana tempat pengeboran minyak yang ada di Bojonegoro. Malam ini adalah malam yang indah. Bintang bersemburat di langit angkasa. Namun tidak dengan hatiku yang seperti mendapatkan badai dengan tiba-tiba. Hujan dengan deras, lalu menyisakan genangan yang amat meresahkan hati. Barang kali memang ini untuk yang pertama kali, sehingga aku merasakan ini adalah hal yang paling berat. “Dik Syafa, bangun Dik. Sudah sampai,” sebuah suara membuat mataku yang sembab dengan mau tidak mau harus terbuka. Sampai di sini aku baru sadar jika suasana yang ada sudah berbeda. Terakhir aku melihat bintang di angkasa, dan saat ini, aku telah berada di antara halaman pondok pesantren yang luas. “Loh sudah sampai Gus. Sejak kapan?” tanyaku bingung. Aku langsung membenarkan kerudungku dengan cepat. Secepat kilat. Mengecek niqabku apakah sudah rapi atau belum. Sehingga, setelahnya aku memastikan diri jika semuanya aman. Gus Azizi mengantarkanku sampai ke ndalem. Ndalem adalah sebutan untuk rumah Pak Kyai. Sang pemilik pondok pesantren. Kebetulan sekali, pondok yang berada di Rembang ini merupakan salah satu pondok yang dulu ditempati oleh Gus Azizi tinggal. Karena silsilah dari Ibunya yang merupakan satu keluarga dengan pemilik pondok. Sedang hubunganku dengan Gus Azizi hanyalah dari garis keturunan Abinya. Maka dari itu, pondok pesantren ini tetap lah hal yang baru untukku. “Assalamu’alaikum, Abah, Ummah.” Tentu saja Gus Azizi yang masuk terlebih dahulu. Aku mengikutinya di belakang. Sembari menunduk penuh takdzim. Di pukul yang menunjukkan jam 3 pagi, Abah dan Ummah sepertinya memang sengaja menunggu kami. Aku mengambil duduk, tatkala mereka mempersilakan diriku untuk duduk. “Ini putrinya Kyai Sholeh nggeh?” tanya Abah. Dan aku menunduk dalam sembari mengangguk kecil. “Lho bukannya yang mau menikah itu ya Bah?” tanya Ummah. Aku terkesiap mendengarnya. “Nggih Ummah,” jawabku langsung. Keadaan seketika menjadi awkward. Semua mata saling pandang memandang. Hingga pada akhirnya Gus Azizi yang menjadi penengahnya. “Ampun Abah, Ummah. Memang Syafa ke sini ingin lebih menentramkan hati. Pernikahan mereka batal karena sebuah hal. Dan Azizi harap, Syafa bisa diterima di pondok ini dengan baik, agar lukanya cepat kering,” ujar Gus Azizi yang sebenarnya tidak perlu untuk diungkapkan. Aku menyesalinya saja, karena yang pasti aku di sini akan jauh lebih tenang ketika permasalahanku ini tidak diungkit kembali. Mengingatnya saja masih sakit rasanya hati ini. “Nggeh Cung, Abah tahu. Tidak apa-apa Nduk. Soal jodoh dan segala sesuatunya memang sudah ada yang mengatur. Nggak perlu khawatir nanti tidak bisa menghilangkan rasa malu atau pedihnya karena luka cinta itu. mendekatlah kepada Allah, dan semuanya akan baik-baik saja pastinya,” amanah Abah kepadaku. Jauh lebih menentramkan. Aku mengambil nafas Panjang. “Nggeh Bah,” ujarku selanjutnya. “Sudah, antarkan Syafa ke pondok putri Ummah. Biar nanti bisa langsung berbaur dengan yang lain. Nanti Azizi biar nginap di sini dulu. Pasti capek nyetir mobil tiga jam. Pulang besok saja ya Zi,” ujar Abah kepada Gus Azizi. Sebelum aku diantar oleh Ummah. Aku di ajak keluar dulu oleh Gus Azizi. Dirinya seperti ingin memberikan sebuah pesan atau nasihat terlebih dahulu. Seperti halnya anak pondok lain sebelum berpisah dengan orang tuanya. “Jangan lupa, hati yang paling beruntung adalah hati yang bisa ikhlas. Ikhlas dan menyerahkan diri semuanya kepada Allah SWT Dik Syafa. Jangan selalu dalam kesedihan. Sungguh di dalam kesedihan itu ada setan yang mudah masuk ke dalam raga Dik Syafa. Yakinlah, Allah akan bersama orang-orang yang sabar. Ya Dik.” Gus Azizi mengusap air mataku. Beliau juga memelukku dengan hangat. Aku memang tidka punya kakak laki-laki, namun Gus Azizi inilah yang senantiasa memberikan bahunya untuk merangkulku di saat aku berada dalam masalah. “Soal dekor, terop, undangan, biar Gus yang mengurus. Nggak usah dipikirin ya,” tukasnya dengan mengusap pucuk kepalaku seperti kegemarannya dahulu-dahulu. Ummah datang dan membuat aku dan Gus Azizi tersenyum. “Salam buat Budhe dan Pak Dhe nggeh Gus, Assalamu’alaikum,” kataku. “Iya, tenang. Waalaikumsalam.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD