Zya

1047 Words
Tiada yang mampu menguasai hati kecuali diri sendiri. Ketika hati tak mampu merasakan sakitnya lagi, maka itulah yang dinamakan, sudah terbiasa akan segala luka dan laranya. Assyafa PERCUMA. Meski telah aku tutup mataku dengan rapat-rapat. Meski aku telah diam dan berjanji tidak akan menangis lagi, sungguh luka yang ada tidak dapat dipungkiri rasa sakitnya. Terkungkung dalam sebuah tangis telah aku ketahui tidak bisa untuk terus dilakukan. Setan berada di antara tangis itu. namun, aku tak bisa untuk bangkit kembali, merelakan cinta yang ada harus untuk ditinggalkan itu sungguh sebuah perjuangan yang tidak mudah. Aku harus bercucuran air mata setelahnya. Tak terasa, sayup-sayup suara merdu yang mengalun itu membuat mataku terbuka, segera aku mengelap wajahku yang basah kuyup oleh air mata. Aku bangun, dan langsung untuk beranjak. Aku tak ingin dibedakan di sini. Dengan santri-santri lain yang meski usianya jauh lebih muda dariku. Aku dengan niat yang sama seperti mereka. Yakni belajar untuk selalu bisa mengerti tentang akhirat dan bagaimana kekalnya kehidupan di sana. Andai aku bisa membawa cinta dunia ini kekal seperti halnya keabadian di akhirat, pasti telah hancur akan segala hal yang ada. Ku ketahui, dunia ini adalah kefanaan. Dan cinta kepada dunia adalah sebuah hal yang sia-sia. Itulah salahku. membawa cinta itu dalam lubuk hati. padahal, yang harus aku lakukan adalah, menaruh dunia dan segala hal yang berhubungan dengan kefanaan adalah di tangan. Agar lukanya tidak terlalu dalam jika memang harus mendapatkan luka itu. Gagal adalah hal yang bisa digunakan untuk pengalaman untuk kedepannya. Begitu pun pula dengan diriku. Tak ada yang boleh untuk menyalah di saat orang-orang di sekitarku seperti enggan mengalah. Itulah hidup, kadang terasa manis, kadang terasa pahit, semuanya adalah tentang rasa. Yang bisa merasa, itulah yang bisa untuk mendapatkan segalanya. Yang tahu asam dan manis kehidupan seperti apa persisnya. Dinginnya air yang mengalir dari keran, adalah sepanas api yang ada di neraka. Aku segera mandi dan mengambil wudhu. Segarnya air wudhu menuntunku untuk langsung melaksanakan sholat Isya. “Loh, Ning Shella?” tanya seseorang dengan menepuk punggungku. Aku berjingkat melihat perempuan itu yang tidak asing. Tangannya lalu menyelinapkan kerudung ke belakang leher. Tangan yang satunya langsung menyahut tanganku untuk dikecup. Aku mengecupnya kembali. “Saya Zya Ning,” ujar perempuan itu dengan nadanya yang mengalun penuh kelembutan. Aku mengingat nama itu, sembari melhat wajahnya yang tidak asing. “Kita dulu pernah sama-sama menimba ilmu di Manyar Gresik,” ujarnya. Sungguh, aku masih tidak mengenalnya. Aku hanya terkekeh kecil. “Aku lupa. Maafkan aku, kelas berapa to?” tanyaku lembut. “Saya adik kelas Ning tiga tahun. Baru lulus kemarin, kamar Al Fatimah samping Ning dulu,” ujarnya kembali. “Astagfirullah, Zyadatul Mamluah?” tanyaku kemudian dengan menyebutkan nama lengkapnya. Perempuan itu mengangguk dengan semangat. “Nggih Ning, Nggih, leres.” Aku langsung memeluk wanita itu. mukena yang aku gunakan tak menghalangi untuk itu. “Gimana kabar kamu Zy?” tanyaku kemudian. Kami duduk setelah itu. “Alhamdulillah baik Ning. Selesai dari Pondok Suci saya langsung ke sini. Ibu Bapak tidak punya uang buat melanjutkan kuliah. Ngabdi di sini,” katanya menceritakan. Aku mengangguk, “Mau kemana-mana, mau ngabdi di mana pun, kalau sudah pilihan biasanya adalah takdir dari Tuhan kan?” ujar ku dengan membelai punggungnya. Perempuan itu banyak mengangguk. Terlebih lagi banyak menunduk. “Nggak usah sungkan sama saya. Kan saya bukan kakak kelas mu lagi. Sudah berapa lama kamu di sini?” “Baru saja Ning. Satu tahun yang lalu. Ning sendiri. Kok bisa sampai di sini? Bukannya Ning mau menikah ya sama Kang Asyfi?" tanya perempuan itu. "Ada apa sebenarnya Ning?" Ning Zahra ternyata berada di antara kami. Aku tidak bisa untuk melanjutkan perkataan ku sebenarnya. Namun, hal yang ditutupi, akan segera terbongkar. Perempuan bermata sayu itu pun menarik tanganku. Aku diajak ke sebuah tempat. Meninggalkan Zya yang masih banyak tanya di dalam lubuk hatinya. Seharusnya aku tidak terkejut dengan pertanyaan dirinya. Namun, aku tetap cukup harus berusaha terlihat baik-baik saja di depan Perempuan itu. bibirku melebar mendengar apa yang dikatakan oleh perempuan itu. Segaris senyuman begitu saja terlukis. Aku menutupi segala hal yang ada dengan senyuman. Itulah yang akan membuatku kuat nanti. Bukan yang lain. "Kami ditakdirkan oleh Allah tidak berjodoh Ning," kataku kemudian. Ning Zahra tidak menjawab. Wajahnya terperangah beberapa detik. "Maksudmu?" tanyanya kemudian. "Sebentar, sebentar. Sebenarnya ada apa? tidak mungkin kan langsung tiba-tiba tidak dilangsungkan. Ini nggak masuk akal. ada apa sebenarnya Syafa?" tanya perempuan itu dengan rautnya yang tidak bisa dipungkiri kali ini berusaha untuk lebih terlihat tenang di depanku. "Saya tidak bisa menjelaskannya dengan lebih detail. Nanti juga Ning akan tahu kebenarannya," ujar ku kemudian dengan masih menundukkan wajah. Aku berusaha menepis sebuah bulir bening yang akan menetes. lagi dan lagi, kembali dan lagi, tidak bisa dipungkiri rasa berat itu masih kian ada. Masih selalu membuat diri merasakan kesedihan yang mendera-dera. Tak bisa untuk dielakkan perihnya. "Ya sudah kalau begitu. Saya bisa apa kan. Cuma apa berita ini nggak terus meledak seperti halnya bom yang langsung akan memekakkan telinga masyarakat. Entahlah, saya hanya yakin saja dengan teknologi yang begitu canggih sekarang. Pasti semuanya akan segera terungkap." Aku mengangguk. Tangan ku memilih ujung jilbab. Hingga tangan lembut dari wanita penyayang itu mengambil tanganku. melihatku dengan tatapannya yang begitu dalam. Seolah dirinya memberikan sebuah kekuatan yang begitu besar kepadaku. Kekuatan yang tak ditampik bagaimana dirinya bisa untuk memberikan bahu sebagai sandarannya. "Orang yang baik, akan disandingkan dengan yang baik. Begitu pun sebaliknya. Kita sebagai manusia hanya bisa untuk berdoa. Kau akan mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari pria itu. Wanita dan segala kehormatan yang dipunyai adalah sesuatu hal yang perlu diperjuangkan. Kau tak ingin mengambil jalur hukum? atau keluarga?" tanya Ning Zahra yang merupakan anak dari Abah Kyai. Aku menggeleng. "Tidak ada yang perlu untuk dilaporkan ke pihak terkait Ning. Nhawong kedua nya sudah suka sama suka. Mau gimana pun, yang salah yang laki-laki. sebesar-besarnya nafsu yang diberikan oleh Gusti Allah kepada perempuan, laki-laki ditakdirkan punya akal yang jauh lebih besar dari pada wanita, ya seharusnya bisa untuk melindungi wanitanya. Logikanya seperti itu. Tapi, dunia sekarang kadang orang-orang banyak yang berakal, tapi tak berhati. Seperti ya percuma saja kita berjuang, ketika orang lain berusaha untuk mematahkan." "Kau tak berhak untuk bersedih. Dia telah zolim kepadamu. Ia akan diberikan balasan dari Allah. Ikhlaskan ya Ning," "Injih Ning. Dengan doa dari Njenengan dan saudara-saudara di pondok."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD