Ning Zahra dan Kebaikannya

1010 Words
Semua orang sibuk. Mungkin itu adalah sebuah kalimat yang menggambarkan kondisi pondok hari ini. Aku yang masih menjadi orang baru, masih belum bisa beradaptasi dengan baik. Ohh sungguh, sejujurnya masih ada banyak yang perlu untuk aku sesuaikan, tidak hanya dengan tubuhku saja, namun juga dengan mental dan psikisku. Orang yang mondok itu tidak hanya fisiknya saja, namun, hati mental psikis dan segala hal harus selalu bisa disesuaikan dengan keadaan. Alhamdulillah, aku mempunyai Zya yang bisa untuk aku jadikan teman. Sekadar berjalan-jalan atau pun mengerti soal tempat. Dua jam sebelumnya aku juga diajak untuk melihat ruangan kamar putri yang ada. Sampai ke lantai empat. Namun kali ini, memang dirinya yang dipanggil oleh Umi, jadi aku cukup duduk di kamar sembari membawa Al Quran di tanganku untuk aku lalar. Juz satu telah selesai aku lalar. Aku menghafalkan Al Quran lima belas juz sebelumnya. Aku datang ke tempat ini adalah untuk meneruskan hafalanku. Bismillah semoga bisa. “Assalamu’alaikum Ning, mau bantu saya ke ndalem?” tanya Ning Zya yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Aku menutup Al Quran kecil yang ada di tanganku, lalu aku menciumnya, dan menempatkan di rak yang lebih tinggi. Lebih tinggi dari aku menempatkan barang-barang yang lain. Letak Al Quran pantas di atas segalanya, karena mushaf itulah yang nanti akan membawa manusia ke jalan yang penuh akan keberkahan di dunia dan di akhirat. Mahkota bagi siapa saja yang istiqomah untuk menjaganya. “Waalaikumsalam. Ohh baik Zy,” jawabku dengan penuh semangat. Aku langsung mengambil sebuah niqab dari dalam lemari, memakainya dengan kilat dan langsung pergi dengan Zya. Terop terpasang dengan rapi. Entah sejak kapan panggung yang ada di sana dibangun. Semuanya telah terlihat megah dengan dekorasi bunga-bunga di atasnya. Perjalanan ke ndalem kami tempuh dnegan menyeberang sebuah jalan raya. Aku dan Zya harus menyeberang dari jembatan atas. Karena memang sudah peraturannya seperti itu. Beberapa kendaraan yang melintas terlihat begitu indah, karena di atas kami juga ada banyak pohon trembesi. Itu sangat hijau dan sejuk. Aku tiba-tiba menyukai jembatan ini. “Assalamu’alaikum,” salam kami yang mencoba untuk masuk ke dalam dengan menundukkan tubuh kami bersamaan. Tidak bisa untuk berdiri dengan tegak, jika telah berada di ndalem. Bahkan kami jalan jongkok dari depan pintu. “Mlebet Mbak,” ujar Bu Kyai yang kemarin memberikan diriku tempat itu. Aku dan Zya saling pandang sebentar, sebelum akhirnya Zya membawa tanganku untuk diseret. Masuk ke dalam. Seperti pondok-pondok yang lain, kalau ada acara besar. Semua santrinya ikut serta menyukseskan acara itu. Semua hal yang tiba-tiba pun kadang itu bukan karena santri memiliki ilmu yang diturunkan oleh Bandung Bondowoso yang mampu membuah candri Prambanan dalam satu malam. Kami melakukan dengan bersama-sama dan dengan sebuah rasa bahagia. Itulah yang membuat semuanya bisa terlaksana dengan begitu baik dan cepat. “Lho, ini Ning Syafa kan? Bukannya?” seorang perempuan yang tak lain adalah putri dari Bu Kyai itu mengenalku. Aku menunduk sembari tersenyum. “Nggih Ning. Ada suatu hal besar yang menimpa saya,” ujarku kemudian. Ning Zahra yang pastinya dirinya kenal dengan Kang Asyfi sudah tidak bisa aku sangkal. Karena mereka dulu memang satu pondok. Tiba-tiba saja, tanganku dicekal olehnya. Dibawa pergi ke kamar milik perempuan itu. “Ada apa Ning?” tanyanya kemudian dengan tegas dan berani. Aku hanya bisa menunduk ketika dua mata bening itu menatap mataku dengan sangat serius. Tangannya lalu mengambil sebuah undangan yang ada di salah satu arsip miliknya. Iya, sebuah undangan berwarna biru muda dengan tali pita satin di atasnya berwarna senada itu. Masih begitu membawa rasa sakit yang ada di dalam d**a. Sehingga rasa sedih itu menyeruap kembali. Mengikis rasa cintaku yang berubah menjadi benci. “Coba jelaskan Ning. Ada apa? Bukannya pernikahan akan dilangsungkan dalam lima belas hari? Ini kami di sini, karena ada banyak keluarga yang diundang sudah mau nyater bus,” katanya dengan nadanya yang ringan. Deg... Hatiku riuh. Semua orang akan bertanya tentang hal ini. Banyak dengan berbagai variasi. Aku tak tahu harus menjawab seperti apa. Hingga angin malam berhembus, membuat diriku yakin, jika apa saja yang menjadi jawabanku adalah sebuah kebenaran. Kebenaran untuk mendapatkan keadilan di semua mata orang. Yang berat memang mempertahankan emosi, mengelolanya dengan bijaksana dan disampaikan dengan tanpa berapi-api. “Ada musibah besar yang ndak bisa saya ungkapkan. Saya hanya meminta doa Ning. Jalan yang terbaik untuk Syafa dan Kang Asyfi. Kalau pun kami tidak bisa disatukan dalam pernikahan, itu bukan semua salah aku atau salah Kang Asyfinya, mungkin sudah karena kehendak dari Gusti Allah belum jodohnya.” “Nah terus sama undangan ini?” “Kami membatalkan pernikahan itu. Secepatnya akan diberitahu sama keluarga.” Aku hanya bisa menunduk dengan dalam. Tidak bisa menyembunyikan air mataku yang berada di antara kelopak. Pertahananku akan jebol. Namun segera aku mmbaca istighfar berkali-kali, agar semuanya terlihat baik-baik saja. “Kamu harus mengatakan ini ke Umi,” ujar Ning Zahra. Ning Zahra mencekal tanganku akan diajak pergi. “Umi sudah mengetahui semuanya, Gus Azizi kemarin yang menjelaskan.” “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Kok bisa semuanya jadi begini. Kamu yang sabar ya. nanti aku korek informasi dari temen-temen hadrahnya.” “Jangan berlebihan Ning. Semuanya sudah tidak perlu dibahas lagi.” “Ini bukan perkara yang kecil. Ini perkara yang besar.” “Semua perkara itu semua soal diri kita kan Ning. Soal bagaimana membesarkan masalah atau mengecilkan. Syafa yakin kalau nanti Syafa bisa mengikhlaskan, semuanya bisa menjadi hal yang begitu mudah untuk dilewati. Bismillah, doakan Syafa bisa nggeh Ning.” ujarku kemudian dengan menatap mata Ning Zahra. “Aku hanya bisa berdoa buat kamu Ning. Semoga bisa mendapatkan jodoh yang terbaik.” "Aamiin Ning. Doa baik akan kembali kepada yang mendoakan," ujarku. Ning Zahra lalu memelukku dengan hangat. Ia memberikan penyemangat untuk diriku yang sedang rapuh. Tak banyak orang sepertinya, yang mampu membuat orang yang sedih menjadi terhibur bahagia. Namun, itulah kehidupan. Semua orang yang baik, akan mendapat kebaikan dari orang lain. Dan semu orang yang mempunyai niat buruk akan mendapatkan karmanya. Aku tak punya tupoksi untuk mendoakan hak buruk untuk seseorang yang mendzolimi diriku. Biarkan, Allah saja yang menghukumi makhluknya yang Badung. Yang menyakiti hati seorang perempuan yang sebening kaca.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD