Bab 1: Awal dari Semua
Siapa namanya?
Mandy? Lusi? Irina? Sialan, aku lupa! Dia tersenyum manja dari meja seberang dan memutar jari di bibir cangkir kopinya. Gambar hati itu pasti sudah berhasil meluluhkan hatinya. Atau mungkin dari awal wanita itu sudah luluh dan berusaha meluluhkanku. Apapun itu, sebutan Barista Penakluk Wanita memang pantas untukku sandang. Malam ini, kira-kira apa yang akan wanita itu berikan.
“Anda mulai lagi, Pak!”
Saat bayangan-bayang indah menari di kepalaku, suara bass menjengkelkan itu langsung merusak semuanya. Dari arah suara itu, asistenku, menatap sinis sambil membawa beberapa cangkir bersih dari arah dapur. Anak ini masih muda, tapi mulutnya sedikit menyebalkan untukku. Bahkan kadangkala terlalu menyebalkan. Mungkin itu karena negara asalnya yang terbiasa untuk bicara terbuka, tapi tetap saja bagiku menyebalkan. Seharusnya sudah kupecat saja dia dari dulu, sayangnya kerjasama dengan keluarga anak ini membuat itu tidak memungkinkan.
“Max, sini!” perintahku memangil anak kurang ajar itu. Dia terlihat patuh dan segera mendatangiku. “Berapa umurmu? 18…19…”
“20 tahun, Pak!” jawabnya sedikit sebal.
Kuraih wajahnya dengan tangan kanan dan dia terlihat sedikit ketakutan. Selain kerjasama dengan keluarganya, ada satu hal lagi dari dirinya yang bisa kumanfaatkan untuk menarik pelanggan. “Wajahmu tampan, terutama muka bule-mu itu bisa bikin banyak cewek suka, badanmu juga bagus…”
“Pak, saya masih normal…”
“Jangan besar kepala!” aku memukul dahinya dengan punggung tangan kiriku, sementara tangan kananku masih memegang erat dagunya. Dagu Max terasa lebih keras, menegang karena dia mengatupkan erat gigi-giginya. Entah karena kesakitan atau karena kesal denganku. “Dengan semua kelebihan itu, seharusnya kamu bisa menjadi pria yang jauh lebih hebat daripada aku dalam hal merayu wanita!”
“Saya tipe yang setia, Pak!”
“Jangan sombong!” sekali lagi punggung tanganku menepuk keras dahi Max. “Setia itu kata lain dari ketidak mampuan diri mengatasi ketakutan di hatimu!”
“Maka saya siap menerima sebutan itu, Pak!”
Aku mengernyitkan alisku, menatap heran anak di depanku ini. Seorang pria dengan bakat menggaet wanita, tapi lebih memilih untuk setia. Perlahan kulepas tanganku dari dagunya dan sedikit melangkah mundur. Menatap Max dari bawah sampai atas.
“Kamu…gay?”
“Apa? Tidak, Pak! Saya pria normal, saya…”
“Ya...ya…ya…, terserah kamu aja! Sekarang jaga bar sementara aku bertemu dengan wanita kesepian di sana!” jawabku sambil meninggalkan Max sendiri di Bar, melangkah ringan ke wanita yang langsung tersenyum saat aku mendekatinya. Sementara itu, aura kesal dari Max terasa di punggungku saat aku semakin mendekat ke arah wanita yang sedari tadi menungguku di meja itu. Wanita itu tersenyum semakin lebar ketika aku berdiri di sebelahnya. Akhirnya aku ingat namanya, Samantha.
“Hai cantik, bagaimana kopinya?” tanyaku sembari mencium pipinya. Nanti malam giliran bibirmu dan juga tubuhmu, Sayang.
“Enak, seperti biasa!” jawabnya senang. Dia menggeser kursi seakan memberikanku tempat untuk duduk di dekatnya.
Aku mengambil kursi lain di seberang meja tempatnya duduk dan membuat posisi duduk kami terpisahkan meja. Jangan langsung mendekat dan memungkinkan kami terlalu banyak bersentuhan. Cukup berikan sentuhan-sentuhan menggeliti di tangannya yang terkulai di atas meja. Minimalisirkan kontak fisk dan buat dia meminta lebih. Itu taktik untuk membuatnya penasaran. Semakin penasaran wanita ini, semakin garang tingkahnya di ranjang nanti. Api gejolak di dalam tubuhku mulai menggelegak. Hari ini, kejutan apa yang akan dia berikan untukku? Aku tak sabar menunggu itu semua.
“Jadi, kenapa baru menghubungiku?” tanyaku merayu. Tanganku mulai menjelajah dan meraih jemarinya, membuatnya tertawa geli.
“Bukannya kamu yang terus sibuk? Aku beberapa kali mengubungimu dan anak yang sedang mengelap gelas di sana mengatakan kalau kamu masih ada urusan, tidak bisa ditemui, bahkan nomermu juga sulit untuk dihubungi.”
Begitulah, aku sibuk.
Selain cafe ini, aku juga harus mengurus perkebunan kopi, juga tempat pengolahan kopi pribadi. Belum lagi usaha ekspor biji kopi yang sedang kujalani beberapa saat ini. Cafe ini hanya sebagian kecil usahaku, Bung. Para wanita memuja kekayaanku selain ketampananku. Menurutmu, apalagi yang bisa membuat seorang wanita berusaha mengejarku mati-matian meskipun mereka sangat tahu bahwa aku hanya menerimanya saat butuh saja?
“Kamu kesepian, Cantik?” tanyaku menggoda dan Samantha pasti tahu ke arah mana pertanyaan ini bermuara.
“Sangat…” bisiknya perlahan dengan nada suara mendesah. Aku suka setiap kali dia melakukan hal itu. Seperti embusan oksigen yang membuat api gairah di dalam tubuhkan semakin terbakar.
“Ini awal video porno?”
Aku dan Samantha terperanjat mendengar pertanyaan barusan. Di depan kami tiba-tiba muncul seorang wanita dengan kacamata hitam dan riasan lengkap. Wanita yang sepertinya tidak asing bagiku. Entah dimana, tapi sepertinya aku pernah melihatnya. Wanita itu bahkan dengan tidak tahu malunya duduk di meja yang sama denganku dan Samantha.
“Ya?” tanyaku berusaha ramah, bagaimanapun juga dia adalah pelangganku.
“Aku mencari papaku,” ujarnya.
“Baik, silahkan menunggu di meja kosong,” ujarku sedikit mengusir, tapi berusaha dengan nada yang jauh lebih ramah.
“Dia pemilik Cafe ini,” lanjutnya tenang seakan tahu siapa yang dia cari. Aku menoleh tajam ke arahnya.
“Sepertinya aku sudah ada di meja yang tepat.” Sebuah seringai muncul di sudut bibirnya. Saat dia melepas kacamatanya, dua bola mata berwarna coklat terlihat berkilat. “Halo, Papa!”
****
Tanganku bergetar memegang hasil tes itu. Selama hampir dua minggu menunggu, akhirnya bukti ini muncul. Sebuah tes yang menyatakan bahwa anak perempuan di depanku ini benar-benar anak kandungku. Angin dingin yang berhembus dari mesin AC bahkan tidak mampu membuat keringat berhenti mengucur dari dahiku. Masih di lobi laboratorium klinik, aku membolak-balik kertas hasil tes, berusaha memastikan kembali dan berharap ini hanyalah kesalahan. Sementara anak itu sibuk mematut kuku-kukunya dan sesekali melirik ke arahku. Dia tersenyum puas seakan sudah membuktikan bahwa semua perkataannya dua minggu lalu adalah sebuah kebenaran. Aku meringis mengusap pipiku ketika mengingat lagi kejadian dua minggu yang lalu.
Masih teringat jelas wajah Max yang berusaha menahan tawa melihatku yang sibuk mengompres pipi dengan air dingin. Sebuah tamparan keras mampir dari tangan Samantha ketika bocah k*****t itu seenaknya mengaku sebagai anakku. Saat itu bocah ini duduk dengan tenangnya di hadapanku. Dia datang di saat yang cukup tepat untuknya, saat Cafe akan tutup dan wanita yang akan menghangatkan ranjangku datang.
“Dengar, aku tidak punya anak…”
“Tidak mau tahu siapa namaku?”
Bagus, sekarang dia memotong omonganku.
“Siapa namamu?” tanyaku sebal.
Dia membuka kacamata hitamnya dan terlihat mata lebar yang penuh riasan.
“Senia, Senia Pradipta,” ujarnya tenang.
“Aku tahu kamu! Kamu artis yang sering muncul di televisi itu!” serobot Max tiba-tiba sembari membawakan seplastik es lagi.
Kuperhatikan lagi wajah gadis itu dan benar saja pernah melihatnya di televisi. Pantas ada perasaan pernah melihat gadis ini sebelumnya. Senia tersenyum mendengar ucapan Max. tapi itu bukan urusanku karena ada hal yang jauh lebih penting yang harus ditanyakan. “Kamu tahu, aku tidak…”
“Tidak mau tahu siapa nama ibuku?”
Sekali lagi dia memotong ucapanku. Mirip siapa anak ini? Aku mempersilahkannya bicara.
“Nadia Prameswari, masih ingat?”
Aku tercekat mendengar nama itu. Banyak nama wanita yang silih berganti datang dalam hidupku, tapi nama itu tidak akan kulupakan. Nama wanita yang meninggalkan bekas di hatiku. Wanita yang kupikir akan menjadi wanita terakhir di hatiku dan ternyata pergi. Membuatku frustasi sendiri dan berpikir semua wanita sama saja. Hanya menginginkan uang dan juga seks.
“Nadia dan aku memang…”
“Tidak mau tahu berapa umurku?”
“Demi Tuhan, bisakah kamu berhenti memotong semua ucapanku?” sentakku sebal.
“Lima belas tahun! Ini akte lahirku yang tercatat nama Mama dan tanggal lahirku, dan kalau Papa butuh bukti lebih, aku siap melakukan tes DNA.”
Dan inilah yang terjadi ketika hasil tes DNA itu keluar. Semua ucapannya terbukti dan dia kembali muncul di hadapanku. Aku kembali teringat akan Nadia, pacarku saat kami masih duduk di awal bangku kuliah. Dia wanita pertama yang pernah menghangatkan ranjangku dan wanita terakhir yang kutiduri tanpa pengaman. Jadi kejadian ini sebenarnya bukan sebuah kejutan bagiku. Ini memang bisa saja terjadi, tapi kenapa setelah sekian lama?
Tapi tidak mungkin bicara di sini.
Pertama, pembicaraan kami akan di dengar orang lain. Aku melihat pegawai di konter informasi sudah saling berbisik sambil melihat ke arah kami. Terutama ke arah Senia. Akan sangat berbahaya kalau sampai orang lain tahu masalah ini. Popularitas Senia sebagai seorang aktris akan dengan cepat menyebarkan informasi ini dan membuat statusku sebagai pengusaha tampan yang masih berstatus bujang terguncang. Itu tidak boleh terjadi. Walaupun rasanya sangat disayangkan karena salah satu pegawai cantik di konter itu sedari tadi melihat malu-malu ke arahku. Kalau saja...
“Pa?” suara Senia memutuskan semua khayalan indahku dengan pegawai itu. Membuatku dengan cepat mendesis, menghentikannya memanggilku seperti itu. Sambil berdiri, kuayunkan tangan sebagai kode untuknya mengikutiku.
Senia langsung mengerti dan berusaha mengikutiku sambil menarik koper besar di sebelahnya. Untuk apa dia membawa koper kemana-mana? Apa seorang aktris harus serepot ini saat akan bepergian? Tapi apa peduliku. Yang penting aku langsung membawanya ke mobilku supaya kami bisa bicara di dalamnya. Setidaknya, ini tempat teraman saat ini. Dengan susah payah Senia memasukkan kopernya di bangku belakang kemudian duduk bersamaku di depan.
Untuk apa dia memasukkan koper itu ke dalam mobilku?
“Jadi apa maumu sekarang?” tanyaku.
Dia menunjukkan kedua jarinya kepadaku, kemudian tersenyum.
“Dua bulan tinggal bersama Papa, itu saja! Setelah itu aku nggak akan pernah muncul lagi,” jawabnya tenang.
Apa?
Tinggal bersamaku selama dua bulan?
“Itu tidak bisa! Dengar, pertama aku tinggal dengan Max dan aku tidak bisa menerima orang lain di rumahku.” Bahkan kehadiran Max di rumah saja sudah membuat suasana tidak terlalu kondusif saat aku mengundang wanita untuk bermalam. Bagaimana bisa aku menambah satu orang lagi, seorang gadis, dan dia anakku.
ANAKKU!
“Termasuk anakmu sendiri, Pa?”
“Ya!” jawabku tegas.
Aku melihat bola matanya yang indah berkaca-kaca. Oh tolong, jangan menangis!
Di dunia ini aku paling benci harus melihat tangisan seorang wanita. Entah bagaimana bulir-bulir air mata itu seakan membuat hatiku tersayat-sayat. Meninggalkan rasa tidak nyaman, tidak enak, bahkan menyakitkan. Entah sihir apa yang dimiliki bulir-bulir air mata itu yang bisa membuatku merasa demikian.
“Aku nggak minta sedikitpun uang ataupun pengakuan ke seluruh dunia. Aku hanya minta 2 bulan dari seluruh hidupku untuk bersamamu dan Papa menolaknya.” Anak itu mulai menangis dan itu membuat dadaku terasa nyeri. Ini tidak boleh dibiarkan.
“Kita bahkan baru bertemu dan bagaimana bisa kamu minta untuk tinggal bersamaku?”
“Karena kita baru ketemu setelah sekian tahun. Aku selalu berharap untuk bisa menemui Papa dan merasakan punya Papa. Di saat teman-temanku...papa mereka...aku...” Isakan dari gadis itu sudah berubah menjadi sebuah tangisan. Tangisan yang benar-benar mengiris hatiku. Aku melirik ke bangku belakang dan melirik koper besar milik Senia. Dia sudah merancanakan ini dari lama dan sudah jelas aku harus menerimanya.
Sialan!
“Baiklah! Cuma dua bulan, setelah itu tinggalkan aku!”
Dia tersenyum bahagia dan meringsek memelukku.
Perasaanku sama sekali tidak enak dengan semua keputusan ini.
****