3. Keputusan Berat

1016 Words
Dalam pergulatan jiwa yang kurasakan berhari-hari, akhirnya aku memutuskan untuk berpasrah. Aku akan menuruti keinginan ibuku tentang perjodohan itu. Aku tak ingin mengecewakan ibuku. Aku ingin menjadi mentari di hatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku sendiri. Aku akan menerima wanita pilihan ibu untuk menjadi istriku. Dengan langkah yang terasa begitu berat dan perasaan yang sebenarnya masih ragu-ragu, aku menghampiri ibuku yang sedang duduk di ruang tengah sambil menikmati acara-acara TV yang sedang berlangsung. Ibu menyadari kedatangku. "Eshan, kenapa belum tidur?" “Eshan belum bisa tidur bu." Aku duduk di samping ibuku. "Ibu sendiri kok belum tidur? Ini sudah larut malam bu." "Ibu lagi menonton acara kesukaan ibu." "Ibu?" Aku menghela nafas panjang untuk memantapkan hati. "Iya sayang, ada apa?" "Eshan ingin memberi keputusan sekarang." "Keputusan apa?" "Tentang perjodohan itu bu." "Ahh, benarkah? Jadi apa keputusanmu?" "Eshan akan menerima perjodohan itu bu." Dengan sangat-sangat berat hati aku berkata seperti itu. "Benarkah? Apa kamu serius Eshan." Raut wajah ibu seketika bersinar. "Iya bu. Eshan serius. Setelah Eshan memikirkannya berhai-hari, Insya Allah Eshan mau menikah dan menerima perjodohan ini." "Alhamdulillah. Ibu sangat senang dengan keputusanmu nak. Semoga Allah selalu melindungimu dan diberikan kemudahan segala urusanmu." Ibu mengecup keningku. “Aaamiin ya Rabb.” Aku melihat senyum bahagia terukir di wajah ibuku ketika mendengar pernyataanku. Aku merasa senang, namun juga aku merasa sangat bersalah pada ibuku. Aku harap ini adalah keputusan yang terbaik untuk semuanya. Ibu, Durhakakah aku? Jika dalam diriku, tak kau temui inginmu. Ibu, Durhakakah aku? Jika dalam diriku, tak kau temui legamu. Maafkan aku ibu. Mungkin dengan menerima perjodohan ini, aku bisa membuat ibu bahagia. Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibuku. Meskipun dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan aku pun juga tak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Yaitu, seorang wanita berkulit putih, mancung, wajah simetri, kaki yang jenjang, mata yang indah, dan tubuh yang indah. “Kalau begitu ibu akan menghubungi keluarga nak Aqila dulu. Nanti kita atur waktu pertemuaannya.” “Iya bu. Eshan ikut ibu saja.” “Sekali lagi terima kasih nak. Kau telah memberikan keputusan yang terbaik. Ibu yakin kau akan menyukai nak Aqila nantinya.” “Iya bu.” Ibuku pun beranjak dari duduknya dan menuju kamarnya untuk mengambil ponsel dan menghubungi keluarga Aqila. Setiap langkah ibu diiringi dengan senyum bahagia di bibirnya. Melihat kebahagian terukir di wajah ibuku, aku merasa senang, namun juga bersalah. Aku harap ini adalah keputusan yang terbaik. ***** Keesokan harinya. Seperti biasa, kami sedang berkumpul di meja makan menikmati masakan yang selalu lezat dan enak yaitu masakan ibuku, masakan yang tiada duanya. Masakan terlezat di dunia menurutku. “Eshan, semalam ibu sudah menghubungi keluarga nak Aqila. Insya Allah kita akan melakukan pertemuan hari minggu nanti.” “Ahh iya bu. Eshan ikut aja.” “Jadi mas Eshan sudah menerima mbak Aqila?” Tanya Bella. “Iya Bel.” Jawab ibu dengan senyuman yang terukir manis di bibirnya. “Yeeee… akhirnya aku akan mempunyai kakak perempuan.” Aku melihat wajah kedua orang yang aku sayang, terlihat sinar kebahagaian yang terpancar. Aku ikut senang jika keputusanku ini bisa membuat mereka bahagia. “Apakah kamu sesenang itu?” tanyaku pada Bella. “Iya pastinya dong. Sudah lama sekali aku ingin memiliki kakak perempuan yang bisa diajak berbagi cerita. Ahh, aku sudah tak sabar.” “Kenapa harus kakak perempuan? Berbagi cerita sama mas kan juga bisa?” “Nggak ah, mas aja orangnya nggak pekaan. Lagian mas kalau aku ajak cerita paling malah ngledekin aku.” “Hahhaha. Tau aja kamu.” “Emang mau cerita masalah apa? Pasti masalah cowok ya? Hayo kamu udah punya pacar ya?” “Ah mas Eshan sok tahu. Udah ah, aku mau berangkat sekolah dulu.” “Nggak bareng mas aja?” “Nggak ah, Bella mau naik angkutan umum aja bareng temen-temen.” “Ya udah hati-hati.” Bella beranjak dari kursinya, menghampiri ibu dan juga menghampiriku untuk bersalaman dan berpamitan. Setelah menyelesaikan sarapannya, Aku pun juga berpamitan kepada ibu untuk berangkat ke kampus. Seperti biasa, aku berangkat ke kampus dengan mengendarai sepeda motor lamaku. Yah meskipun aku telah menjadi seorang dosen, aku masih menggunakan motor lamaku dan belum ada niat untuk membeli sepeda motor baru ataupun mobil, selain aku memang suka hal yang sederhana, untuk saat ini aku menggunakan uangku untuk kehidupan keluargaku sehari-hari, membiayai sekolah adikku dan tentunya sebagian aku tabung. Aku telah sampai di kampusku. Hari ini aku mengajar di jam ke 2, jadi aku masih ada waktu untuk besantai dan mempersiapkan materi. Aku melihat sedang berjalana memasuki ruangan dosen yang sama sepertiku. Aku memanggilnya dan menyapanya. “Hai pak Gibran.” Kalau di kampus kami memang saling menyapa dan memanggil dengan formal. “Hai pak Eshan. Kamu terlihat agak sedikit bersinar hari ini.” “Benarkah?” “Iya. Apa kamu telah bisa memecahkan masalahmu?” “Kok kamu tahu sih?” “Apakah kamu lupa pak Eshan, kalau saya adalah dosen psikologi.” “Ahh iya. Wah saya jadi takut.” “Takut kenapa?” “Takut, jangan-jangan kamu bisa membaca semua yang ada dipikiranku?” “Ya, nggak gitu juga kali. Saya hanya bisa menebak-nebak dari raut wajah dan ekspresi wajah saja. Nggak bisa baca pikiran orang lain.” “Tapi itu juga menakutkan. Berarti saya nggak bisa berbohong, karena pasti akan ketahuan. Iya kan?” “Hahaha. Bisa jadi sih. Jadi masalah apa yang telah kamu pecahkan? Apakah masalah perjodohan itu?” “Wah… benar sekali.” “Jadi apa keputusanmu?” “Aku menerima perjodohan itu.” “Lalu apa perasaanmu saat ini setelah membuat keputusan itu?” “Untuk saat ini aku merasa senang karena melihat ibu dan adikku bahagia dengan keputusanku ini.” “Aku yakin pasti Allah akan memberikan yang terbaik untukmu karena kau bisa membahagiakan ibumu.” “Aku harap begitu. Hari minggu nanti keluarga kami berencana untuk bertemu.” “Aku doakan semuanya berjalan dengan lancar.” “Terima kasih teman.” “Sama-sama. Kalau gitu aku kembali ke mejaku dulu. Aku ada kelas jam pertama.” “Siap.” TBC *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD